Oleh: I Gde Sudibya

Jumlah kasus positif pandemi Covid- 19 terus naik, per 4 Juli 2020, kasus secara nasional berjumlah 62,142, bertambah 1,447 kasus, Jawa Post  (5/7). Sedangkan untuk Bali, jumlah kasus positif 1,797, Radar Bali (5/7).

Curve pandemi secara nasional terus naik, Bali mengalami hal sama, bahkan trend pertumbuhan dalam 2 minggu terakhir, paling tinggi dibandingkan dengan trend waktu sebelumnya. Tidak terdapat tanda-tanda dilakukan troboson besar dalam penanggulangan pandemi, seperti: test massif besar-besaran, RDT dan PCL melalui penyediaan alat test dalam jumlah besar dan distribusinya, semestinya dana  tersedia untuk itu.
Langkah-langkah massif untuk penegakan protokol kesehatan, dengan aturan sanksi yang lebih tegas juga tidak terlalu tampak di lapangan, sehingga kerumunan terutama di pasar-pasar tradisional masih kerap terjadi. Sebagian masyarakat mewacanakan dan mengambil ancang-ancang untuk memasuki era New Normal, dengan pengertian tereduksi era kehidupan baru tanpa risiko pandemi.
Era kehidupan baru, terutama dalam ekonomi untuk memulihkan segera perekonomian seperti sebelumnya. Padahal era baru ekonomi dengan paragdima barunya pasca pandemi, belum tentu sama dengan paragdima ekonomi sebelum pandemi. Singkatnya, pandemi ini melahirkan risiko kehidupan pada banyak demensinya, dan juga paradigma baru yang dilahirkannya.
Misalnya, paradigma baru dalam perawatan kesehatan, dan di industri pariwisata muncul apa yang disebut sebagai gelembung pariwisata, hasil pariwisata berbasis G to G, berangkat dari kondisi riil pandemi di masing-masing negara dan kesepakatan yang berkaitan dengan itu, bersifat sementara tergantung kepada persepsi rasa aman dari perspektif pandemi dan perkembangan kasus yang terjadi.
Risiko politisasi pandemi
Banyak pengamat bertanya: setelah diterbitkannya Perpu No.: 1 tentang Penyelamatan Keuangan Negara Akibat Pandemi Covid-19, dan aturan turunannya dalam Perpres no.72/2020 tanggal 25/6/2020 dengan total anggaran pembrantasan pandemi sebesar Rp.692,5 triliun, dan anggaran kesehatan untuk penanggulangan pandemi Rp.87,55 triliun, semestinya penanggulan pandemi berjalan lebih optimal.
Sesungguhnya, dengan dana sebesar itu, jumlah test massif dapat dilakukan, seluruh peralatan kesehatan untuk menunjang sistem pelayanan RS dan pelayanan kesehatan  tersedia lebih cepat dalam jumlah lebih memadai.
Pertanyaan menggantung para pengamat ini, sedikit relatif terjawab dengan pernyataan sangat keras Presiden akibat kelambanan kebijakan dalam menangani pandemi, dan keterlambatan penyaluran dana, sebagai akibat dari keruwetan dan kerumitan birokrasi. Tampaknya belum ada trobosan birokrasi untuk mempercepat upaya penanggulan pandemi.
Di sisi lain terbersit pertanyaan di sementara pengamat, tidakkah kelambanan ini sebagai akibat langsung atau tidak langsung masuknya pertimbangan politik praktis menjelang laga politik pilkada serentak 9 Desember 2020 yang akan datang.
Pertimbangan politik dari sisi pengumpulan dana logistik, penciptaan citra dan kegiatan lain untuk kapitalisasi politik untuk memenangkan pertarungan.
Dalam konteks ini menarik untuk disimak Kolom Jati Diri, Jawa Post ( 4/7) bertajuk Politisasi Mitigasi Pandemi. Dalam ulasannya, mengambil contoh kasus pandemi di Jawa Timur, faktor politik menjadi faktor penghambat  penanggulangan pandemi. Terjadinya polarisasi politik di Jawa Timur di menjelang pilkada serentak 9 Desember 2020, melahirkan oportunis politik untuk pengumpulan modal dan juga akses politik. Politisasi ini menurut analisis kolom di atas menjadi faktor penghambat penanggulangan pandemi tidak saja di Jawa Timur, tetapi juga di tempat-tempat lainnya.
Tantangan untuk Bali
Bali yang perekonomiannya sangat tergantung industri pariwisata, menikmati  zona nyaman dari kinerja industri ini dalam kurun waktu 40 – 50 tahun terakhir, industri yang  menuntut persyaratan tanpa kompromi untuk image dan trust di dukung oleh lembaga budaya dan adat, Desa Adat yang mampu mengkapitalisasi secara cepat kebijakan negara untuk kemaslahatan krama, dengan tolok ukur moralitas, budaya yang amat sangat jelas, semestinya elite pengambil kebijakan tidak “bermain” politik dalam penanggulangan pandemi. Risikonya, pemulihan industri pariwisata menjadi terlambat dan bahkan terancam gagal. Pada sisinya yang bisa menurunkan citra dan kemudian kepercayaan dari Desa Adat yang jumlahnya ribuan di Bali.
Persaingan politik di menjelang pilkada 9 Desember 2020 tidak sesengit dan sekeras di Jawa Timur, sehingga elit pengambil kebijakan semestinya bisa lebih fokus merumuskan kebijakan teknokratis dengan implementadi kuat sejalan dengan tuntutan keadaan: Desa, Kala, Patra.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kebijakan publik.