media massa

Media adalah sumber informasi tercepat yang bisa dijangkau oleh masyarakat. Dengan semakin menjamurnya media online (daring), semakin mudah orang mendapatkan akses informasi dan tidak jarang menjadikan satu sumber informasi atau satu media saja sebagai acuan satu-satunya dalam berpikir dan berkesimpulan atas kasus yang terjadi.

Peran media dalam penguraian kasus kekerasan seksual sering dipikir sebagai salah satu cara agar mendapat perhatian publik dan kala publik sudah bergerak maka aparat penegak hukum dan pemerintah akan turut bergerak, sebaliknya jika tidak ada perhatian publik suatu kasus akan dianggap ‘tidak penting’.

Anggapan ini tidaklah keliru dan dengan mentalitas aparat penegak hukum dan pemerintah, serta pola pikir masyarakat, menjadikan suatu kasus itu booming masih menjadi cara yang dipilih agar korban bisa mengakses keadilan.

Namun, hal ini dimanfaatkan oleh media-media yang tidak tahu dan tidak peduli akan kode etik jurnalistik sehingga bukanlah keadilan yang didapatkan oleh korban, melainkan eksploitasi hal-hal yang bersifat pribadi, stigma dan pada akhirnya membuat korban bukan saja kehilangan akses keadilan, korban pun menjadi korban untuk kedua kalinya.

Identitas Korban

Ada tiga hak korban, yaitu keadilan, perlindungan dan pemulihan. Ketiga hal ini harus terpenuhi dahulu agar bisa menyelesaikan suatu kasus dan yang wajib untuk memenuhinya adalah masyarakat dan pemerintah. Salah satu haknya yaitu perlindungan, sesungguhnya juga diatur dalam kode etik jurnalistik di pasal 5 yaitu tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.

Identitas yang dimaksud sering kali dianggap hanyalah sebatas nama, padahal dalam penjelasannya, identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.

Banyak media yang merasa sudah cukup dengan memberikan inisial tetapi abai untuk melindungi identitas korban dengan mencantumkan nama lengkap orangtua atau nama anggota keluarga korban, alamat tempat tinggal atau komunitas korban, sekolah korban, atau untuk di daerah yang terpencil dengan menyebut inisial dan desanya saja, masyarakat akan tahu identitas korban.

Lebih buruk dari itu ada media yang jelas-jelas tidak peduli pada perlindungan identitas korban dan menyebar semuanya bahkan sampai ke nama lengkap korban. Tidak ada yang baik dari membongkar identitas korban karena dari sana stigma akan muncul dan penghakiman mengikuti, sehingga masyarakat bisa berbalik menyerang korban.

Media yang bertujuan bukan untuk mengawal kasus, melainkan hanya ingin klik dan oplahnya naik bisa dilihat dengan jelas dari bagaimana ia mengeksploitasi habis-habisan korban dan keluarganya. Berita-berita yang tidak ada hubungannya dengan jalannya kasus dinaikkan dan diulang-ulang, sering kali hanya ditambah satu paragraf baru di berita berikutnya dengan isi sama persis dengan berita sebelumnya.

Profesi korban, profesi keluarga korban, kebiasaan korban, pakaian korban, dan lain sebagainya. Masyarakat kita harus diakui masih berpikir bahwa kekerasan seksual adalah kekerasan yang ada kontribusi korban dalam kejadiannya.

Berbeda dengan kejahatan lainnya yang jelas pelaku adalah pelaku dan korban adalah korban, untuk kekerasan seksual, terutama untuk perempuan dewasa atau perempuan remaja, masyarakat, aparat penegak hukum bahkan pemerintah masih berpikir bahwa ini terjadi juga atas kesalahan korban.

Dengan mekesploitasi hal-hal pribadi korban, misal dalam kasus E, yang dikatakan bahwa ia sering berjanji ke banyak laki-laki sehingga akhirnya pelaku dendam, media yang memberitakan hal tersebut sudah membuat penghakiman sendiri bahwa kasus E terjadi karena salah E dan masyarakat -dengan pola fikir tadi- akhirnya turut menyalahkan E, lupa betapa kejinya E mengalami penyiksaan seksual.

Penggiringan Opini

Dalam kasus YY, media memberitakan bagaimana YY pulang sendirian padahal jalanannya sepi. Selain itu, ada juga kasus pelecehan seksual di tahun 2015 lalu yang pelakunya adalah seorang guru dan korbannya murid SMP. Media melakukan penggiringan opini dimulai dari judul beritanya yaitu, Gara-gara Pakai Celana Ketat Siswi SMP Dilecehkan Guru.

Penggiringan opni semacam ini tujuannya jelas, dengan apa pun media itu berkilah, bahwa korban adalah penyebab terjadinya pelecehan tersebut. Selain di dalam judul, isi berita juga sama saja. Contoh masih perkosaan antara guru-siswa kali ini korbannya adalah siswi SD.

Dalam isi beritanya, media menuliskan bahwa korban dan pelaku terpergok melakukan hubungan seks dan di kalimat lain awalnya terpaksa, hubungan guru dan murid itu dilakukan atas dasar suka sama sukaMedia itu jelas-jelas menganggap perkosaan di bawah umur tersebut bukanlah sebagai perkosaan melainkan suatu hubungan, seperti manusia dewasa yang melakukan hubungan secara sadar.

Media itu sudah berkontribusi besar atas stigma yang akan dihadapi oleh korban dan pelaku yang bisa bebas dengan alasan seperti yang dituliskan media itu. Penyalahan-penyalahan dan penghakiman seperti itu digelar habis-habisan di media.

Satu media akan mengutip media lainnya, terutama jika media-media tersebut berada dalam satu payung. Masyarakat semakin dibuat untuk menghakimi korban, semua hanya demi klik dan oplah. Tidak ada sangkut pautnya pada pengawalan kasus sama sekali.

Budaya Perkosaan

Dengan media yang tidak peduli dan masyarakat yang semakin berpikir secara hitam putih, tidak aneh kalau kasus perkosaan akan semakin tinggi sebagaimanapun mengerikannya ancaman hukuman yang ditawarkan. Bahkan, ada di antara yang mengutuk perkosaan dan setuju kebiri, mengancam akan memperkosa lawannya atau mendoakan agar keluarga yang tidak setuju hukuman kebiri diperkosa.

Perkosaan menjadi alat atas kekuasaan seseorang atas orang lainnya. Siapa yang mengekalkan dan semakin mensahihkan itu kalau bukan media yang menuliskan berita dengan tidak memiliki perspektif korban dan kepedulian sama sekali?

Berlomba-lomba media menjadi yang pertama membeberkan kehidupan pribadi korban, berlomba-lomba menjadi yang selalu paling update mengenai kasus, tanpa memedulikan bahwa ada suatu perilaku yang terbentuk akibat lomba-lomba itu semua. Perilaku memberi stigma, menyalahkan korban dan pada akhirnya tidak aneh kalau pelaku akan dibela dan dibenarkan tindak tanduknya.

Dengan media online berbasis jurnalisme warga yang mudah dibuat dan siapa pun bisa menulis, jika kesadaran ini tidak segera dibangkitkan, Indonesia akan berakhir menjadi negara yang melindungi pelaku dan menyalahkan korban, penjara akan penuh dengan korban dan jalanan akan penuh dengan pelaku yang bebas merdeka. Semua masyarakat yang sudah sadar akan hal ini wajib melakukan edukasi dimulai dari mana saja, kapan saja.

Bisa dengan menyurati media tersebut, melaporkan ke Dewan Pers atau bersama-sama mengajukan petisi. Banyak sekali yang bisa dilakukan agar media-media kembali ke jalurnya, menjadi kawan bagi korban untuk mendapatkan hak atas keadilan, perlindungan dan pemulihan.  RED-MB