air

Seperti negara tropis lainnya, Indonesia sebenarnya mempunyai potensi ketersediaan air yang melimpah, baik air tanah maupun air permukaan.

Namun seiring tingkat kebutuhan yang meningkat akibat pertumbuhan penduduk dan industri maka kerap kali menjadi langka dan berpotensi memunculkan konflik.

Anugerah kontur alam Indonesia yang mempunyai banyak gunung dengan aliran sungai menuju muara menjadikan air permukaan berpotensi dikembangkan untuk cadangan musim kemarau dengan pembangunan waduk serta sumber energi listrik. Kesadaran itu mulai muncul saat Pemerintahan baru pimpinan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla bertekad untuk membangun banyak waduk dan bendungan untuk memanfaatkan potensi itu.

Tentu saja pembangunan itu akan terintegrasi dengan sistem distribusi melalui saluran irigasi yang bisa memungkinkan petani mampu bertanam di musim kemarau. Selanjutnya kegunaan lain cadangan air untuk konsumsi rumah tangga yang dikelola Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan pemanfaatan air waduk untuk pariwisata dan budi daya ikan.

Multiplier efek dari pembangunan waduk dan bendungan sungguh luar biasa, namun semua itu perlu diatur agar negara bisa mewujudkan “hak atas air” bagi warganya melalui berbagai regulasi seperti keluarnya UU Pokok Agraria, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA).

UU SDA Pasal 5 mewajibkan negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari termasuk di dalamnya adalah kebutuhan masyarakat yang menggantungkan kepada sungai, sumur, irigasi dan saluran distribusi melalui badan usaha.

Hal itu merupakan bentuk penghormatan dan perlindungan negara terhadap hak asasi atas air setiap orang. Kebijakan yang selama ini berjalan menegaskan bahwa jaminan hak guna pakai air untuk irigasi pertanian rakyat akan diberikan setelah pemenuhan air untuk kebutuhan pokok sehari-hari terpenuhi.

Untuk mengatur lebih lanjut hak atas air maka dikeluarkan turunan UU SDA, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 2014 tentang Hak Guna Air yang diundangkan di Jakarta tanggal 15 September 2014.

PP itu menegaskan bahwa negara bertindak sebagai regulator agar kelestarian hidrologi air tetap terjaga seperti menjaga daerah resapan air, aliran sungai, serta tingkat sedimentasi di waduk, bendungan serta sungai dan saluran irigasi.

Negara juga mengatur pemanfaatan air seperti air tanah, air permukaan agar semua sektor bisa mendapatkan akses air secara adil dan bertanggungjawab.

Sektor pertanian memerlukan air untuk mencapai ketahanan pangan yang ditargetkan Jokowi akan dicapai tiga tahun ke depan. Sektor pemukiman juga memerlukan ketersediaan air untuk kebutuhan sehari-hari serta sektor industri dan perdagangan. Munculnya bisnis air mineral yang makin marak di sejumlah daerah juga memerlukan pasokan air baik dari air tanah maupun air permukaan.

Saat ini kebutuhan air yang lebih banyak justru air untuk budi daya pertanian modern khususnya di Pulau Jawa. Pulau terpadat itu luasnya hanya 7 persen dari daratan Indonesia, namun hanya tersedia sekitar 4,5 persen dari potensi air tawar nasional.

Jumlah air tawar itu harus menopang sekitar 65 persen jumlah penduduk Indonesia sehingga mengalami tekanan penyediaan air yang demikian tinggi.

Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum, jika dilihat dari Angka Indeks Penggunaan Air (IPA), yaitu rasio antara kebutuhan air dibanding ketersediaan alami maka beberapa wilayah sungai di Jawa angka IPA-nya sudah demikian tinggi.

Semakin tinggi angka IPA, maka potensi konflik penggunaan air antara wilayah hulu dan hilir, antar sektor maupun antar individu akan semakin meningkat.

Makna Kata “hak” dalam Hak Guna Air (HGA) sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia mempunyai makna tersendiri yaitu berbagi air untuk kemaslahatan komunitas. Sedangkan proses penetapan besarnya hak itu harus dilandasi atas dasar semangat kebersamaan (gotong royong) dan musyawarah untuk mencapai kata sepakat.

HGA di Indonesia sebelumnya masih merupakan konsepsi yang belum cukup terjabarkan ketatalaksanaannya secara mendetail. Istilah “hak atas air” sudah cukup lama dikenal setidaknya lebih dari 54 tahun yang lalu yaitu di dalam salah satu pasal dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan PP Nomor 22 Tahun 1982 Tentang Tata Pengaturan Air.

Kemudian istilah hak atas air mulai mencuat ke perwacanaan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, yang menyatakan antara lain bahwa akses air untuk keperluan pokok hidup sehari-hari bagi setiap orang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang perlu dijamin perlindungannya oleh negara.

Karena itu saat pembahasan terhadap rancangan Undang-Undang tentang sumber daya air, menjadi sorotan semua sektor yang berkepentingan dengan air.

Bahkan, HGA sempat diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi yang akhirnya menyatakan bahwa konsepsi HGA yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air tidak bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 termasuk amandemennya.

Pengaturan mengenai HGA di dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air itu sebenarnya dilatarbelakangi mendesaknya kebutuhan untuk memperkuat hak masyarakat atas air mengingat konflik dalam penggunaan air cenderung meningkat seiring makin langkanya air dan adanya pelimpahan kewenangan soal air itu setelah era otonomi daerah.

Berbagi Air Setiap daerah berkepentingan menjaga cadangan airnya, padahal sumber air tidak merata di setiap daerah sehingga perlu ada regulasi agar daerah yang kaya air bisa memberikan suplai air kepada daerah yang kekurangan air.

Contoh kasus itu terlihat pada kerja sama Pemkab Kuningan dan Pemkot Cirebon, Jawa Barat, karena PDAM Kota Cirebon menggunakan suplai dari mata air di Cipaniis, Kuningan, untuk kebutuhan warga kota. Kerja sama serupa juga terjadi di daerah lain karena tidak bisa satu daerah bersikeras memonopoli sumber air yang ada hanya untuk daerahnya sendiri.

Karena keluarnya PP Hak Guna Air menjadi bagian penting karena sudah mengatur penjabaran operasional atas hak guna air itu termasuk juga tentang konservasi agar cadangan air bisa tetap dipertahankan. Sebelumnya substansi pengaturan HGA ada baru menyentuh konsepsi filosofis dan pokok-pokok pengaturannya saja.

Adanya PP tersebut merupakan jaminan kepastian hukum bagi pemegang hak untuk menggunakan air sekaligus mengatur volume yang digunakan dan waktu penggunaan untuk mencegah munculnya hal-hal yang merugikan masyarakat.

Pada PP itu ada pasal tentang pengakuan Hak Guna Pemakaian Air yang sebelumnya sudah ada, seperti hak-hak tradisional masyarakat yang telah memakai air secara turun temurun untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat berdasarkan norma dan kearifan lokal.

Mereka diberikan penghormatan dengan menempatkannya sebagai pemakai terdahulu.

Pada masa mendatang air akan menjadi barang ekonomi yang tak ternilai, sehingga negara harus hadir untuk mengatur hak guna air agar hak rakyat atas air tidak tereduksi kepentingan ekonomi. AN-MB 

activate javascript