SEJATINYA perjuangan panjang sejarah heroik kemerdekaan bangsa telah memberikan pembelajaran yang cukup berarti bagi kehidupan kekinian dengan gemerlap kemajuan peradaban teknologi serba canggih. Tapi, rupanya belum cukup mampu mengelitik sekaligus menyadarkan kita semua sebagai generasi penerus bangsa, terutama para elite politik penguasa pemangku kebijakan dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengabdian serta pengayoman dari integritas dirinya sebagai pribadi maupun kelompok atau golongan terhadap kepentingan kemaslahatan publik yang lebih baik dan menyejahterakan.

Marilah kita semua menyimak sejenak beragam praktik kekerasan dalam dunia pendidikan sekaligus praktik korupsi dalam beragam aspek kehidupan yang dapat menyengsarakan secara sistemik dan sedang mengemuka di tengah gejolak sosial media global terkini. Sebut saja tragedi yang menghebohkan dunia pendidikan dengan meninggalnya mahasiswa (Fikri Dolas Mantia) saat mengikuti kegiatan orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek) Institut Teknologi Nasional, Malang, tepatnya saat kemah bakti desa dan temu akbar Jurusan Planologi di kawasan Goa Cina, kecamatan Sumbermanjing Wetan, Malang, 12 Oktober 2013. Ini tentunya semakin menambah catatan suram dari sejarah kekerasan dalam dunia pendidikan yang telah ditasbihkan sebagai barometer pembentukan karakter bangsa.

Begitu juga, halnya dengan kecelakaan maut kereta api dengan truck pengangkut bahan bakar minyak (BBM) pada 9 Desember 2013 di daerah Pondok Betung Bintaro, Jakarta Selatan. Ini tentunya mengingatkan kembali khalayak publik akan tragedi memilukan dari kecelakaan kereta api dengan kereta api yang mahadsyat pada 19 Oktober 1987 silam, yang dikenang dalam film berjudul tragedi Bintaro serta lagu berjudul 1910 karya cipta Iwan Fals. Ini berarti upaya penegakan supremasi hukum secara berkeadilan tanpa pandang bulu selama ini masih belum sepenuhnya tercapai seiring pergolakan proses reformasi demokrasi politik nasional dalam birokrasi pemerintahan.

Dalam konteks ini, artinya carut-marut dunia pendidikan serta dunia transformasi (kereta api) selama ini telah terjadi praktik budaya pembiaran secara terstruktur dan tersistematis sebagai tradisi cacat moral dan salah kaprah dalam kehidupan lembaga birokrasi pemerintahan. Jika hal ini dibiarkan terjadi secara terus menerus dan berkelanjutan tentunya dapat merendah derajat nilai kemanusiaan dari karakter bangsa di masa depan. Terutama terciptanya individualisme perilaku intelektual yang sangat feodalistik dan budaya premanisme secara masif. Artinya, rendahnya kesadaran kita semua secara bersama-sama untuk membenahi integritas diri yang lebih baik, bermartabat dan berkeadaban tanpa budaya pencitraan.

 Reformasi dan Sanksi Tegas

Di tengah kehidupan dari peradaban dunia yang serba cepat secara ekonomi maupun pengetahuan dan inovasi informasi tentunya kita semua dituntut untuk dapat memadukan kecerdasan pikiran dengan gejolak perasaan emosional secara berimbang. Dan, hal ini hanya dapat dicapai melalui proses pembelajaran dalam dunia pendidikan secara berkelanjutan. Makanya, dunia pendidikan dianggap sebagai kawah candradimuka dalam mencetak generasi penerus bangsa, yang memiliki karakter intelektualitas tinggi, moralitas dengan tatanan perilaku dan nilai kemanusiaan bagi terwujudnya pemberdayaan potensi kehidupan humanisme yang demokratis. Sehingga segala bentuk perilaku kekerasan, praktik feodalisme, dan premanisme di lingkungan lembaga pendidikan tidak semestinya dibiarkan terus menerus berkembang sebagai budaya cacat moral dan salah kaprah/tradisi pembodohan.

Tragisnya, antara apa yang diidealkan (das solen) dangan realitasnya (das sein) sering berbeda. Di mana dalam realitasnya upaya pembentukan karakter dan kepribadian bangsa dalam dunia pendidikan rupanya senantiasa dinodai oleh tindakan kekerasan yang jauh dari kesadaran hati nurani dan nilai kemanusiaan dalam proses awal masuk sekolah, masuk kampus atau semasa belajar, terutama dalam kegiatan masa orientasi siswa (MOS), dan orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek), ataupun yang sejenisnya. Bahkan, tindakan kekerasan ini telah melembaga dalam mengkultuskan perilaku intelektual yang foedalistik dan budaya premanisme secara sistemik.

Menyikapi realitas tersebut, seharusnya kita semua, terutama para elite politik penguasa pemangku kebijakan dituntut harus lebih berani dalam mengambil sikap tegas untuk melakukan upaya perlawanan terhadap praktik kekerasan di dunia pendidikan secara konsisten dengan melakukan gerakan reformasi menyeluruh terhadap aturan hukum dan fungsional dari proses pembelajaran yang diterapkan di sekolah ataupun kampus/universitas baik negeri maupun swasta ke depannya. Sehingga tindakan bejat yang dilakukan oleh para senioritas terhadap para junioritas dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, maupun kampus terkait kegiatan MOS dan Ospek dapat dicegah dan tidak terjadi terus menerus secara berkelanjutan.

Dalam konteks ini, berarti sanksi tegas terhadap pelaku harus perlu ditegakkan secara berkeadilan terutama harus ada keberanian untuk mencopot pimpinan tertinggi dari sekolah (kepala sekolah) ataupun perguruan tinggi (rektor) bersangkutan jika memang masih menerapkan kegiatan MOS dan Ospek yang menyimpang dan sangat jauh dari nilai normatif ideal, norma, etika dan tradisi akademik dalam pembentukan karakter bangsa yang berbudaya tinggi, berbudi halus, toleran, tepaselira, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan nilai kebebasan berdemokrasi.

Terlebih lagi, kegiatan tersebut memang sudah tidak sejalan dengan semangat Keputusan Dirjen Dikti Nomor 38/DIKTI/Kep/2000 tentang Pengaturan Kegiatan Penerimaan Mahasiswa Baru di Perguruan Tinggi. Jangan sampai dunia pendidikan dicap sebagai wadah untuk mereproduksi kekerasan yang terorganisir secara terstruktur dan sistematis.

Di penghujung tahun 2013 ini dalam rangka menyongsong matahari di tahun baru 2014 sudah semestinya kita semua dengan rasa tanggungjawab tinggi berupaya lebih serius lagi untuk merefleksi kembali segala bentuk tindakan dan perbuatan selama ini dengan jujur sebagai proses reformasi integritas diri menuju kehidupan yang lebih baik dan menyejahterakan di masa datang. Intinya, mulai detik ini juga segala bentuk tindakan kekerasan apapun baik di lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat harus dihentikan. 

Marilah secara bersama-sama ciptakan budaya santun, dan sopan, berbudi halus, sikap toleran dan tepaseliro bagi terwujudnya karakter bangsa yang humanis, berbudaya, berbudi, bermoral, dan berakhlak mulia demi perdamaian dunia. Bangun paradigma dari suasana pembelajaran yang memberdayakan potensi humanisme secara menyenangkan dan memanusiakan melalui keteladanan yang lebih bersifat aplikatif.

Pada dasarnya, yang paling penting dan cukup strategis adalah para pekerja dari sosial media baik cetak maupun elektronik dituntut harus berani dan mampu tampil terdepan dalam melakukan pengawasan dan sekaligus pencegahan terhadap terjadinya tindakan kekerasan apapun, termasuk praktik korupsi di berbagai aspek kehidupan yang dapat merusak upaya pencetakan karakter bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan secara demokratis. WB-MB