Der panzer

Jakarta (Metrobali.com)-

Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa Jerman adalah penguasa sepak bola dunia pada saat ini seusai “Der Panzer” (julukan timnas Jerman) sukses merengkuh gelar Juara Dunia 2014 di Brazil.

Jerman menancapkan tonggak sejarah baru sebagai tim Eropa pertama yang sukses merengkuh gelar juara dunia di daratan Amerika Latin. Padahal sebelumnya banyak yang meramal berdasarkan catatan sejarah bahwa dari dulu tidak akan ada tim Eropa yang mampu berbicara banyak di benua Amerika, apalagi menjadi juara.

Namun faktanya saat laga final Piala Dunia 2014 yang digelar di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, 13 Juli lalu tim asuhan pelatih Joachim Loew tersebut justru sukses mempecundangi Argentina yang dimotori “anak ajaib” Lionel Messi dengan skor tipis 1-0.

Kala itu, satu-satunya gol yang dicetak pemain pengganti Mario Goetze tersebut tercipta hanya dalam tempo delapan detik sejak umpan panjang pemain belakang kepada Andre Schuerrle di sayap kiri. Goetze lalu menyelesaikannya dengan gol cantik yang membuat Stadion Maracana bergemuruh oleh teriakan pendukung Jerman, termasuk pula orang-orang Brazil yang enggan mendukung Argentina, rival abadi tim Samba itu.

Jika melongok perjalanan Jerman menuju grand final kompetisi paling akbar sejagat itu, terkuak pula torehan-torehan rekor baru yang semakin meneguhkan supremasi Jerman di pentas sepak bola dunia tahun 2014.

Hingga Piala Dunia 2014, timnas Jerman telah tampil di final Piala Dunia sebanyak delapan kali, atau terbanyak dari negara manapun sepanjang sejarah.

Tatkala menghadapi tuan rumah Brazil di semifinal, Jerman mampu membukukan lima gol hanya dalam waktu 29 menit. Sebelumnya tidak pernah ada tim lain dalam sejarah yang mampu unggul lima gol dalam waktu secepat itu, apalagi di kompetisi sekelas Piala Dunia.

Kekalahan 1-7 yang diderita tim Samba saat meladeni Der Panzer itu juga menyamai selisih gol terbesar yang pernah dialami Brazil, tidak hanya di Piala Dunia saja, tetapi juga sepanjang masa. Kekalahan telak Brazil sebelumnya tercatat ketika mereka dipermalukan Uruguay dengan skor 0-6 pada tahun 1920.

Kemenangan fenomenal 7-1 yang diraih Jerman ketika mempecundangi Brazil itu juga bakal tercatat dalam sejarah sebagai kemenangan dengan selisih gol terbesar yang pernah tercipta dalam sebuah pertandingan semifinal Piala Dunia. Jerman merupakan tim pertama yang sukses dengan pesta tujuh gol di babak semifinal.

Selain itu, jumlah gol yang dicetak Der Panzer ke gawang Brazil dalam satu pertandingan ternyata masih berselisih dua gol lebih banyak ketimbang jumlah gol yang berhasil dicetak Inggris (negara dengan liga terbaik di dunia) dalam dua Piala Dunia terakhir.

Secara keseluruhan, Jerman berhasil mencetak rekor 18 gol di Piala Dunia 2014, termasuk gol tunggal ke gawang Argentina dalam laga grand final. Negara lain yang berhasil menyamai jumlah tersebut adalah Brazil pada Piala Dunia tahun 2002.

Revolusi DFB Buah manis prestasi Der Pazer ini tentunya tidak hadir begitu saja secara mudah. Butuh waktu, ketekunan dan kerja keras semua stakeholder sepak bola Jerman untuk bangkit dari keterpurukannya setelah krisis menghampiri Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) pada 10 tahun silam.

Dunia sepak bola Jerman sempat mengalami krisis pada tahun 2000 dan 2004. Saat itu, Der Panzer gagal lolos dari penyisihan grup di Piala Eropa 2000 dan 2004, walaupun krisis itu sempat tersamarkan oleh pencapaian Jerman di final Piala Dunia 2002.

Menghadapi krisis tersebut, revolusi segera dilakukan dengan menata ulang konsep dan model pembinaan sepak bola di Jerman. “Pada 2000 dan 2004, sepak bola Jerman berada di posisi paling bawah. Namun, kami mengambil tindakan dengan berinvestasi di pelatihan supaya kemampuan teknik lebih baik. Bundesliga berperan besar dengan pusat-pusat latihan,” demikian pelatih timnas Jerman Joachim Loew menuturkan.

Tata ulang sepak bola Jerman itu dilakukan dengan menjalin sinergis antara pemerintah, klub, dan federasi. Mereka mulai membina pemain-pemain muda, memperbanyak pelatih, sekaligus memperbaiki kualitasnya.

Pada saat yang sama, klub-klub yang berkompetisi di Liga Jerman (Bundesliga) bersepakat memangkas belanja pemain asing dan mempromosikan pemain muda ke tim-tim utama. Sejak 2010, sebagian besar klub Jerman diperkuat pemain binaan akademi sepak bola lokal dan saat ini merekalah yang mendominasi skuad Der Panzer.

Tanda-tanda suksesnya revolusi sepak bola Jerman itu mulai terlihat tatkala klub-klub Bundesliga, terutama Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund, menggemparkan Liga Champions 2012/2013 tatkala keduanya tampil di final kompetisi paling bergengsi klub-klub papan atas Eropa tersebut.

Kedua klub Bundesliga itu menghancurkan mimpi dua raksasa Spanyol, Real Madrid dan Barcelona. Pada titik itu Jerman mulai menggerogoti dominasi Spanyol, yang masih menyandang gelar Juara Dunia, melalui ciri-ciri permainan agresif, cepat, dan fisikal.

Selepas merajai kompetisi Piala Dunia, Jerman pun memastikan posisinya yang kokoh memuncaki peringkat FIFA hingga akhir tahun 2014. FIFA merilis peringkat akhir negara-negara untuk tahun 2014 pada tanggal 18 Desember yang lalu.

Jerman bertengger di urutan teratas dengan 1.725 poin, disusul oleh Argentina dan Kolombia yang membuntuti masing-masing dengan 1.538 poin dan 1.450 poin. Sementara posisi keempat dan kelima diduduki oleh Belgia (1.417 poin) serta Belanda (1.374 poin). Brazil menguntit Belanda dengan raihan 1.316 poin dan berada di posisi keenam peringkat FIFA.

Kisah sukses Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) menjalankan revolusinya itu antara lain didukung dengan adanya regenerasi yang berjalan lancar serta dikombinasikan dengan figur-figur pemain senior berpengalaman.

Mulusnya mengkombinasikan suntikan pemain muda dengan senior-senior sarat pengalaman dalam timnas Jerman itu terbukti telah membawa Der Panzer menjadi tim yang disegani untuk beberapa tahun ke depan. Dengan stok pemain-pemain berusia emas itu, pelatih Joachim Loew pun dapat terus membangun Der Panzer yang segar sekaligus solid.

“Saya pikir gelar juara ini akan memberi kami dorongan untuk masa depan. Kami tidak memiliki banyak pemain di atas 30 tahun di skuad ini. Lihatlah Goetze, (Thomas) Mueller, (Mesut) Oezil, dan (Marco) Reus, yang belum 30 tahun. Mereka adalah para pemain yang masih bisa meraih banyak pencapaian di dalam karier mereka,” ujar Loew.

Saat ini, Mueller masih berusia 24 tahun, Goetze berusia 22 tahun, gelandang Toni Kroos (24 tahun), Julian Draxler (20 tahun), dan bek Mats Hummels (25 tahun). Selain itu, Jerman juga masih memiliki Marco Reus yang berusia 25 tahun dan Ilkay Gundogan (23 tahun) yang tidak dibawa ke Brasil lantaran mengalami cedera.

Bagi salah satu punggawa skuad Der Panzer, Bastian Schweinsteiger, raihan Juara Dunia 2014 masih belum mencukupi bagi tim Jerman. Pemain yang kini mengenakan ban kapten di lengan menggantikan Philipp Lahm yang mengundurkan diri tak lama seusai Piala Dunia itu mengaku masih “rakus” dengan gelar-gelar selanjutnya.

“Dengan gelar itu saya tak akan bosan untuk mencapai gelar-gelar lainnya,” kata pemilik tinggi badan 1,83 meter ini.

Pada Piala Dunia musim panas silam di Brasil, Schweinsteiger ikut mengalami pertandingan final melawan Argentina. Jerman menang 1-0 lewat gol Mario Gotze di menit ke-113.

Schweinsteiger bersama pelatih Joahim Loew masih punya kesempatan memimpin Der Panzer mewujudkan penantian selama 20 tahun untuk merengkuh gelar Juara Eropa pada tahun 2016 di Prancis. Jerman terakhir kali menjadi juara di kompetisi bergengsi Piala Eropa itu pada tahun 1996.

Sukses Der Panzer menggeser kiblat sepak bola dunia ke Deutschland pada tahun 2014 ini tampaknya masih akan terus berlanjut, mengingat saat ini Jerman memiliki pemain-pemain muda yang akan menjadi andalannya dalam Piala Eropa di Perancis tahun 2016 dan Piala Dunia di Rusia pada tahun 2018.

Untuk saat ini, Der Panzer telah sukses membawa Jerman sebagai kiblat baru sepak bola dunia dengan memainkan gaya menyerang, mengalirkan bola melalui umpan pendek, dan kemudian “membunuh” dalam satu-dua sentuhan akhir strikernya.

Dengan gaya permainan memikat seperti itu, anak-anak asuh Joachim Loew juga telah membuktikan bahwa Der Panzer ternyata “lebih latin” ketimbang tim-tim Amerika Latin. AN-MB 

activate javascript