Foto: Dunia sepak bola Indonesia kembali berduka pasca meninggalnya Haringga Sirla, suporter Persija yang menjadi korban pengeroyokan bobotoh, suporter Persib Bandung Minggu (23/9/2018).

 

Denpasar (Metrobali.com)-

Dunia sepak bola Indonesia kembali berduka pasca meninggalnya Haringga Sirla, suporter Persija yang menjadi korban pengeroyokan bobotoh, suporter Persib Bandung Minggu (23/9/2018). Jika bentrok antar suporter yang berujung maut ini terus berlarut dan kembali terus berulang, ini menjadi preseden buruk bagi sepak bola Indonesia.

 

“Hal itu akan menghambat kemajuan sepak bola tanah air,” kata pecinta sepak bola yang juga Pengurus KONI Bali Bidang Hubungan Luar Negeri dan Sport Tourism I Dewa Putu Susila di Denpasar, Sabtu (29/9/2018).

 

Dewa Susila menegaskan fanatisme sempit dan membabi buta bukan cerminan sportivitas dan persaudaraan dalam olahraga. Hal itu malah mencederai nilai-nilai positif olahraga. Hal tersebut juga akan menjadi hambatan sepak bola tanah air.

 

Ia  pun merasa prihatin dalam beberapa bulan terakhir banyak kasus bentrok suporter yang hingga berujung maut. Sebab ajang sepak bola seharusnya menjadi suka cita, ajang menguatkan persaudaraan dan sportivitas.

 

“Bukan malah berikut duka cita, ajang merenggut nyawa dan menggali kubur untuk suporter,” kata pria yang juga getol memperjuangkan pengembangan sport tourism di Bali itu.

 

Untuk itu Dewa Susila edukasi kepada suporter harus terus dilakukan dengan berbagai metode. Acara kumpul bersama lintas suporter dari klub berbeda juga bisa dimaksimalkan untuk menjalin kedekatan antar suporter.

 

“Suporter harus ditanamkan kesadaran bahwa mereka ada bagian penting bagi kemajuan sepak bola Indonesia melalui prilaku yang tertib, menjaga kenyamanan dan kondusivitas baik di dalam maupun di luar lapangan,” tegas Dewa Susila yang juga Sekretaris Umum (Sekum) Persatuan Gateball Seluruh Indonesia (Pergatsi) Bali itu.

 

Untuk mencegah kasus kematian suporter dan membenahi tata kelola suporter di tanah air, Dewa Susila berharap pihak terkait seperti Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia(PSSI), klub sepak bol dan kelompok-kelompok suporter untuk duduk bersama merumuskan  langkah antisipasi.

 

“Indonesia perlu mengacu dan belajar pada sejumlah klub-klub negara Eropa dalam menangani kasus suporter,” ungkap Dewa Susila yang caleg DPRD Bali dapil Tabanan dari partai NasDem nomor urut 2 itu.

 

Misalnya, Inggris pernah menjadi satu-satunya negara yang pernah menerima larangan mengirim klub di turnamen resmi internasional yang berlaku sejak 1985 hingga 199 pasca tragedi Heysel yang menewaskan 39 suporter dalam final Piala Champions antara Liverpool dan Juventus.

 

Sanksi keras ini membuat Inggris melakukan pembenahan total untuk mengatasi keamanan para suporter sepak bola dan mencegah kerusuhan yang mungkin disebabkan pendukung garis keras yang sering disebut Hooligan.

 

Berbagai upaya dilakukan mulai dari perbaikan sistem pengamanan stadion, metode pengamanan infiltrasi dimana polisi berpakaian seperti warga sipil menyusup di tengah suporter. Pembenahan desain kursi stadion untuk memastikan jumlah penonton hingga  perlakuan terhadap suporter.

 

Termasuk pembuatan regulasi baru untuk pendukung sepakbola dilakukan sebagai upaya mengikis keberadaan hooligan. CCTV dan sejumlah teknologi canggih juga digunakan untuk mempermudah pengawasan terhadap suporter di stadion.

 

Terakhir  sebuah regulasi khusus untuk suporter diterapkan bernama FootballSpectatorsAct (FSA). Regulasi ini mewajibkan seluruh suporter di Inggris memiliki kartu keanggotaan  atau kartu identitas dari klub yang mereka dukung.

 

Kartu ini juga berfungsi  mencegah adanya provokator yang masuk ke stadion kala pertandingan tengah berlangsung. Akhirnya aksi-aksi brutal hooligan mulai berkurang sejak periode 1990-an silam.

 

Pewarta: Widana Daud

Editor : Whraspati Radha