Ketua APRINDO Bali I Gusti Ketut Sumardayasa,  didampingi Sekretaris I Made Abdi Negara

Denpasar (Metrobali.com)-

Penutupan 5 outlet dari 9 outlet Hardys yang diambil alih oleh PT. Arta Sedana Retailindo mengejutkan masyarakat. Berita yang hampir ada di semua media massa ini disikapi oleh Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Bali.

Ditemui di Denpasar Rabu (10/01), Ketua APRINDO Bali I Gusti Ketut Sumardayasa,  didampingi Sekretaris I Made Abdi Negara menyatakan dugaan penutupan ini adalah karena masalah internal manajemen yang sangat pelik.

Dirinya menampik anggapan bahwa penutupan ini karena pengaruh perlambatan ekonomi serta dampak dari meningkatnya belanja online. Menurut Sumardayasa, pertumbuhan ekonomi di Bali justru berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional yakni 6,01% di triwulan ke-3 berbanding nasional yang hanya 5,06%.

Selain itu, konsumsi masyarakat cukup baik walaupun sempat mengalami penurunan di akhir tahun akibat dari pengaruh erupsi Gunung Agung yang juga betimbas pada pendapatan masyarakat  yang dominan ditunjang dari sektor pariwisata.

Sumardaya juga menjelaskan, gejala-gejala permasalahan di internal Hardys, sebenarnya sudah mulai terlihat sejak pertengahan  tahun 2016 baik dari sisi kelengkapan barang dan permasalahan dengan pihak supplier dan perbankan.

“Tampaknya permasalahan ini tidak bisa diselesaikan oleh manajemen baru”, ungkapnya sembari mengaku belum bisa menghubungi pemilik baru Hardys.

Pihaknya berharap Peritel Bali tidak panik menyikapi kondisi ini. Demikian pula, pemerintah diharapkan segera turun tangan dan segera melakukan koordinasi dan komunikasi dengan para pihak terkait, termasuk APRINDO Bali untuk menyikapi efek domino yang bisa saja terjadi.

“Ini harus dilihat sebagai sebuah kejadian luar biasa, karena penutupan ini termasuk skala besar”, jelasnya. Dirinya setuju, bahwa masalah internal manajemen yang menyebabkan kondisi Hardys seperti saat ini.

Kondisi penurunan daya beli masyarakat yang sempat terjadi di akhir tahun tidak serta merta dapat menimbulkan permasalahan skala besar dengan serta merta jika di internal manajemen dapat mengelola dengan baik. Sektor online yang juga sering dituding sebagai biang keroknya, menurutnya tidak bisa dikambinghitamkan karena secara nasional omzetnya tidak lebih dari 1,6% dari total omzet ritel nasional.

“Apalagi di Bali dan dengan segmentasi menengah ke bawah yang masih awam berbelanja online pada barang-barang grocery”, katanya. Pihaknya mengaku siap untuk melakukan pendampingan dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait untuk sama-sama menyikapi persoalan ini. ”Dalam kondisi seperti ini baiknya kita bergandengan tangan, saling mendukung untuk kemudian bisa bangkit bersama”pungkasnya. GA-MB