Keterangan  poto : Putra Bali Gede Putu Wiranegara Jadi Doktor Dokumenter Pertama di Indonesia

Kisah kehidupan Raja Kasunanan Surakarta, Susuhunan Paku Buwono (PB) XII pada masa-masa akhirnya diangkat oleh Gede Putu Wiranegara sebagai kajian disertasi doktoralnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Kisah tersebut menjadi jalan bagi Wira untuk menjadi doktor di bidang dokumenter pada kampus tersebut. Wiralah doktor pertama di Indonesia untuk jurusan film dokumenter.

Ujian dengan penguji yang terdiri dari Prof. Dr. Rahayu Supanggah, Prof. Sardono W. Kusumo, Garin Nugroho, Prof. Dr. Sri Richana W, Dr. I Nyoman Murtana, Prof. Dr. Pande Made Sukerta, Dr. Seno Gumira Ajidharma, Prof. Dr. Sri Hastanto, dan Dr. R.B. Armantono, Wira mempertahankan karya film berdurasi sekitar satu jam itu diselenggarakan di Ndalem Joyokusuman, Gajahan, Pasar Kliwon, Solo, Senin (16/9/2019) malam.

Menjawab pertanyaan penguji Wira mengatakan perbedaan antara versi lama dengan versi baru dalam karya ini adalah banyak informasi yang belum dimasukkan.

“Versi yang sekarang ini menampilkan banyak informasi yang belum pernah didengar sebelumnya, bahakan oleh keluarga Sinuhun sendiri,” terang Wira.

Dalam film tersebut Wira menggambarkan kegundahan besar Sang Raja yang ingin melestarikan tradisi keraton tanpa didukung sumber dana yang memadai. Dalam film tersebut terselip juga pemikiran Sang Raja tentang suksesi setelah dia mangkat. Namun hingga kini suksesi tersebut belum terlaksana.

Lebih dari 75 persen isi film adalah penuturan langsung yang disampaikan PB XII kepada Wira. Hal yang paling menjadi perhatian PB XII adalah hal-hal terkait beban pribadinya sebagai raja yang harus terus menghidupi tradisi keraton yang berbiaya mahal. Sementara seluruh aset sumber dana kerajaan telah ia serahkan kepada negara semenjak kemerdekaan RI tahun 1945 sebagai bentuk pengakuan terhadap kedaulatan NKRI.

Dalam beberapa segmen tergambar bahwa Sang Raja sudah kehabisan jalan untuk mencari sumber dana, namun demikian bukan berarti Susuhunan menjadi terlalu gampang membuka pintu bantuan. “Aku ra pengin kratonku kopen nanging ra kajen (aku tak ingin keratonnya terawat namun kehilangan martabat,” ujar Sinuhun.

Setelah 15 tahun Sinuhun Wafat, Wira merasa saat inilah waktu yang tepat untuk mengungkan informasi yang selama ini dia pendam.

“Ya, saat inilah saya merasa dipanggil dan mendapat tugas dari Sinuhun untuk menyampaikan pesan beliau kepada putra-putri dan cucu Sinuhun,” tandas Wira. (AB)

Editor : Hana Sutiawati