Sitor Situmorang

Kabar duka tiba di Indonesia, Minggu pagi (21/12), saat penulis dan sejarawan JJ Rizal mengunggah kabar kematian salah seorang sastrawan besar Indonesia Sitor Situmorang dalam usia 91 tahun.

“Saya memang sangat dekat dengan Sitor dan saya merasa sangat sedih. Dia adalah sastrawan besar Indonesia dari angkatan 45 (1945) yang terakhir,” kata Rizal dalam wawancara melalui telepon.

Sitor Situmorang yang bagi banyak penyuka puisi di Indonesia sangat dikenal melalui karyanya “Malam Lebaran”, lahir di Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, pada 2 Oktober 1923 dan tutup usia pada 21 Desember 2014 di rumahnya, Apeldoom, Belanda.

Menurut Rizal, sosok Sitor Situmorang sangat penting dalam kebudayaan Indonesia karena pemikiran dan karya-karyanya yang mewakili sastrawan sezamannya.

Sitor tidak pernah membedakan Barat dan Timur seperti sastrawan angkatan 45 yang lain, tetapi justru membuktikan melalui karyanya bahwa Barat dan Timur tidak berjarak.

Sebagai generasi yang lahir pada masa revolusi, Sitor adalah orang yang sadar betul bahwa sastra tidak akan bisa dipisahkan dari politik dan persoalan bangsa.

“Ia tidak mengalami keterbelahan,” katanya.

Rizal yang meneliti karya-larya Sitor dan sudah membukukan enam judul buku hasil penelitian itu mengatakan, bila berbicara mengenai kebudayaan Indonesia, tidak mungkin bisa mengabaikan nama Sitor Situmorang dan Pramoedya Ananta Toer.

Ia menyesalkan politik pemerintahan di Indonesia, khususnya ketika masa Orde Baru yang telah dengan sengaja meniadakan nama beberapa sastrawan Indonesia, antara lain Sitor Situmorang karena dianggap berhaluan kiri.

Sitor Situmorang pernah menjadi wartawan di berbagai harian di Sumatra dan juga pegawai di Jawatan Kebudayaan Departemen P & K serta menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mewakili kalangan seniman.

Ia dipenjarakan pada masa pemerintahan Orde Baru sebagai tahanan politik sejak 1967 sampai 1974.

Orang boleh suka atau tidak suka tetapi Sitor adalah tonggak sastra dan politik Indonesia, seperti “batu tapal” yang bisa menjadi penanda perjalanan sastra dan politik Indonesia, kata sastrawan Martin Aleida.

Martin melihat bahwa dalam berkarya Sitor sangat terlihat setia, tulus membela bangsa dan tanah airnya.

“Bagi Sitor negeri itu ada tiga, Tanah Batak tempat ia dilahirkan, Indonesia sebagai negaranya dan Belanda yang menjadi kampung halaman kedua pada masa tuanya,” ujar Martin.

Karya-karya Sitor, menurutnya, mudah dipahami, memakai pilihan kata yang kuat dan bukan hanya puitik tetapi juga musikal.

“Indah, misalnya ketika ia menulis tentang Danau Toba,” katanya.

Dalam bukunya berjudul “Toba Na sae” Sitor mengkritik penulis-penulis Barat yang sering mengatakan bahwa Orang Batak suka perang hanya dengan melihat di halaman rumah Batak sering ada tumpukan batu.

“Sitor adalah pengagum Bung Karno yang setia, baik ketika masa dia berjaya maupun pada saat runtuh. Sitor juga romantis seperti Soekarno,” kata Martin yang pernah mempunyai pengalaman menarik saat menjadi moderator dalam suatu peluncuran buku di Jakarta.

Sitor menjadi salah seorang pembahas dan dia sempat “ngambek” karena ada tamu yang ngobrol terus, sehingga Sitor berdiri dan berniat meninggalkan ruang.

“Saya berhasil membujuk dan menenangkan Sitor, dan akhirnya dia beruntung karena Megawati yang memberi kata sambutan pada acara itu kemudian memberinya kenang-kenangan berharga,” kata Martin dengan tawa, mengenang kejadian tersebut.

JJ Rizal yang masih menyelesaikan dua buku lain mengenai Sitor mengaggumi sosok budayawan yang menurutnya sangat lincah berberak di panggung seni drama, film, menulis puisi dan cerpen juga menulis banyak esai dan kritik seni sejak tahun 1970-an ketika orang lain belum banyak melakukannya.

“Dia sangat produktif dan yang penting lagi, karyanya berkualitas, mempunyai kekayaan referensi, penguasaan landskap dan terutama mengenai pemakaian bahasa Indonesia.” Sitor sangat mampu memilih kata-kata dalam bahasa Indonesia secara tepat untuk mengungkapkan perasaan yang paling dalam.

Martin Aleida juga melihat bahwa Sitor sering membawa-bawa buku kumpulan puisi Hamzah Fansuri dan menyukainya karena puisi berbahasa Melayu yang dianggap indah.

“Kita sudah lama durhaka dan berhutang pada Sitor. Sayang sekali negara kita kurang memperhatikan kebudayaan,” kata Rizal yang sudah sejak lama gigih memperjuangkan nama Sitor agar bisa kembali masuk dalam catatan sejarah Indonesia.

Menurutnya, Sitor, putra seorang panglima perang asal Batak pada masa kolonial itu, meninggalkan warisan budaya yang sangat kaya bagi Indonesia.

Karya Sitor berjudul “Pasar Senen” termasuk salah satu yang disukai Rizal, orang Betawi yang merasa dihargai oleh pendatang dari Batak yang menulis keindahan Pasar Senen pada waktu lalu.

“Banyak karyanya yang saya sukai dengan catatan-catatan alasannya sehingga sulit untuk menentukan satu atau dua judul yang paling saya sukai,” kata Rizal yang sedang mencari cara menerbitkan kumpulan esai Sitor Situmorang setebal 2.000 halaman.

“Penyair besar telah pergi dan tidak kembali. Kita ingat puisinya yang bikin gempar, ‘Malam Lebaran, Bulan di atas Kuburan’. Penyair Toba yang perkasa,” kata budayawan M. Sobary ketika mendengar kabar duka kematiannya.

Puisi Karya Sitor Berikut ini karya Sitor mengenai makam berjudul “Batu Nisan” berbicara soal kematian dan karya lain berjudul “Apa yang tak Dapat Kau Hancurkan”, dikutip dari kumpulan buku puisi berjudul Paris La Nuit, Forum Jakarta Paris, penerbit Komunitas Bambu, 2002.

“Batu Nisan” Di sini tempat berkubur hati yang menyala cinta terlena kedinginan bila aku juga tiba di sini nafsu terbujur mati jauhkan warana mayat kemboja mawar merah biar cerita pada manusia lalu tentang suatu cinta mawar kupetik di pagi hari sekali kucium kubelai jadi kenangan di sunyi mati .

“Apa Yang Tak Dapat Kau Hancurkan” Apa yang tak dapat kau hancurkan dengan tangan hancurkan dengan sajak tapi demikian kau membangun lagi dinding waktu Sitor mendapat penghargaan sastra Nasional tahun 1955 atas kumpulan cerpen berjudul Salju di Paris, sedangkan kumpulan sajak Peta Perjalanan memperoleh hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta pada 1976. AN-MB 

activate javascript