Foto: Anggota komisi VI DPR-RI dari Fraksi Partai Golkar, Gde Sumarjaya Linggih yang akrab disapa Demer.

Denpasar (Metrobali.com)-

Anggota komisi VI DPR-RI dari Fraksi Partai Golkar, Gde Sumarjaya Linggih menyatakan mengapresiasi langkah Kejaksaan Tinggi Bali dalam melakukan operasi tangkap tangan terhadap segala bentuk perilaku koruptif yang melibatkan pemangku kebijakan di tingkat desa khususnya yang berkaitan dengan kebijakan desa adat.

Menyinggung soal OTT yang menimpa Bendesa Adat Berawa  I Ketut Riana oleh Kejaksaan Tinggi akibat dugaan pemerasan terhadap investor, pria yang akrab dipanggil Demer ini menyatakan keprihatinannya atas situasi tersebut.

Anggota Komisi VI DPR RI itu lantas meminta para Bendesa Adat berhati-hati dalam melakukan berbagai bentuk pungutan ataupun transaksi-transaksi lainnya yang berkaitan dengan investasi di wilayah desa adat. “Terlepas dari terbukti tidaknya perbuatan yang dilakukan, mari semua pihak untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan,” kata Demer saat dihubungi Minggu 5 Mei 2024.

Memang disatu sisi, Peraturan Daerah Provinsi Bali (Perda) Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, telah memberikan ruang dan peluang bagi Desa Adat melakukan pungutan dengan sejumlah syarat sekaligus memberikan kesempatan bagi Desa Adat untuk mengoptimalkan potensi wilayahnya dalam rangka memajukan dan meningkatkan eksistensi Desa Adat dengan kemampuannya sendiri.

“Namun disisi lain harus diakui bahwa tidak semua Bendesa Adat memahami batasan-batasan yang boleh dilakukannya agar penerapan kebijakan terhadap pungutan tersebut tidak bertentangan dengan hukum nasional, walaupun kebijakan dimaksud telah dituangkan ke dalam perarem desa adat,” ungkap wakil rakyat yang sudah empat periode mengabdi di DPR RI memperjuangkan kepentingan Bali ini.

Sehingga dengan demikian, menurut Demer yang juga Ketua DPP Partai Golkar bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Bali, NTB dan NTT ini, pemerintah daerah beserta instansi penegak hukum di daerah seyogyanya membuat sebuah rumusan regulasi yang baku dalam rangka memberikan pedoman tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan berkaitan dengan kebijakan pungutan di lingkungan desa adat.

Desa adat dalam membuat perarem yang berkaitan dengan pungutan, harus selalu melakukan koordinasi dan konsultasi kepada penegak hukum dalam hal ini kepolisian ataupun kejaksaan. Dan kejaksaan pun dengan salah satu fungsinya di bidang pembinaan hukum dan pengawasan, harus efektif dalam menjalankan fungsinya tersebut, sehingga praktik-praktik pungutan yang menyimpang melalui lembaga desa adat ini dapat dicegah sejak dini.

Artinya, kata politisi Golkar asal Desa Tajun Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng itu, prestasi kejaksaan hendaknya tidak hanya sebatas pada aspek penindakan secara kuantitatif namun juga memperhatikan kualitas fungsi pembinaan dan pengawasannya.

Jika semua pihak baik Bendesa Adat maupun pemerintah dan penegak hukum mampu saling bersinergi melalui komunikasi dua arah yang intensif, maka tentunya penguatan eksistensi desa adat melalui Perda Desa Adat tersebut dapat berjalan efektif sebagaimana tujuan dan cita-cita yang diinginkan. Sinergi ini kita harapkan mampu mencegah munculnya “raja-raja kecil” yang dengan kekuasaannya itu justru semakin membuka peluang munculnya praktik-praktif korupsi.

“Prinsipnya, kita ingin desa adat maju dan sejahtera namun tetap berjalan pada koridor hukum yang berlaku dengan menutup sekecil mungkin peluang terjadinya korupsi,” pungkas Demer yang kembali terpilih untuk kelima kalinya sebagai wakil rakyat Bali di DPR RI hasil Pileg 2024 ini. (wid)