Badung (Metrobali.com)-

 

Direktur Eksekutif WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Bali, Made Krisna Bokis Dinata, ikut menyoroti kasus sejumlah nelayan Tanjung Benoa yang kesulitan mencari ikan, yang diduga akibat adanya aktivitas reklamasi yang dilakukan oleh PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III Benoa, Bali dalam rangka pengembangan Bali Maritime Tourism Hub (BMTH).

“Iya, pendapat kami terkait dengan Nelayan Tanjung Benoa yang kesulitan mencari ikan karena kondisi lingkungan yang rusak akibat dari aktivitas pengerukan dan reklamasi oleh Pelindo Benoa, seharusnya mendapatkan perhatian serius dari pemerintah,” kata pria yang juga menjabat Sekjen (Front Demokrasi Perjuangan Rakyat) Frontier Bali, Kamis (22/6/2023).

Ia menegaskan, pemerintah provinsi Bali seharusnya melakukan upaya untuk menyelamatkan nelayan dari aktivitas pengerukan dan reklamasi yang telah menyebabkan lingkungan sekitarnya rusak sehingga berdampak terhadap penghasilan nelayan yang berada di sekitar proyek.

“Tentunya kami WALHI dalam kesempatan ini sangat menyayangkan adanya aktivitas pembangunan berupa pengerukan dan reklamasi yang menyebabkan kerusakan lingkungan (matinya mangrove seluas 17 hektar akibat aktivitas dari Pelindo III Benoa),” tegasnya.

Lalu dalam kesempatan ini, pemerintah sudah tahu matinya 17 hektar mangrove, namun sampai saat ini tidak ada tindakan tegas untuk memberikan efek jera terhadap pelaku yang merusak mangrove seluas 17 hektar.

“Kami mempertanyakan mengapa koster tidak berani tegas terhadap pelaku perusak mangrove? Ada apa ini? Karena kami khawatir, jika hal seperti ini dibiarkan, ini menjadi preseden buruk, dan pelaku perusak mangrove terus menerus akan merusak mangrove karena tidak ada sanksi yang memberikan efek jera,” tandasnya.

Pihaknya mendesak pemerintah provinsi Bali, agar tidak terjadi lagi kejadian seperti itu dikemudian hari. Menurutnya, pemerintah perlu menyusun langkah – langkah yang cepat dan tepat untuk melindungi mangrove.

Adapun terkait dengan dokumen-dokumen yang disebutkan diatas, WALHI memiliki dokumen berupa Izin Lokasi, Izin Pelaksanaan Kegiatan Reklamasi, Izin Lingkungan, dan AMDAL kegiatan reklamasi Pelindo III.

“Dokumen – dokumen itupun kami peroleh dengan bersengketa dengan Pelindo terlebih dahulu di Komisi Informasi Bali,” tukasnya.

Meski putusan KI Bali telah memenangkan gugatan WALHI Bali terkait informasi yang dimohonkan WALHI Bali dan Pelindo wajib membukanya ke publik namun pihak pelindo tidak mau memberikan dokumen tersebut secara lengkap.

“Kami justru mendapatkannya dokumen tersebut dari instansi Kemenhub dan KLHK tanpa penyangkalan dan bukan dari Pelindo,” pungkasnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, kelompok nelayan Tanjung Benoa resah akan adanya proyek reklamasi di Pelabuhan Benoa, Denpasar Selatan, Bali.

Pasalnya, proyek yang dijalankan oleh PT Pelindo Sub Regional Bali dan Nusra ini dinilai telah membuat air laut keruh sehingga mengganggu pendapatan nelayan sekitaran Tanjung Benoa.

Rencananya, pengerukan alur dan pengerukan karang ini dilakukan untuk pengembangan Pelabuhan Benoa dalam rangka membangun Bali Maritime Tourism Hub (BMTH).

Ketua Kelompok Nelayan Penyelam Tradisional Satu Napas Tanjung Benoa, Abdul Latif menilai proyek yang memakan kawasan seluas 132,9 hektar itu merusak habitat ikan dan terumbu karang. Oleh karenanya, dampak pengerukan karang tersebut membuat air laut menjadi keruh. Hal ini membuat pendapatan nelayan menurun antara 60 hingga 80 persen dari yang sebelumnya Rp200 ribuan per hari.

Abdul mencontohkan, beberapa nelayan yang berada di Tanjung Benoa seperti nelayan udang ronggeng dan kerang batu-batu, kesulitan mencari sumber pendapatannya akibat pengerukan yang dilakukan Pelindo 3.

“Ya di sekitar sana ya airnya keruh yang pasti. Cuman, kerusakannya itu, sebenarnya selain nelayan penyelam juga ada pencari udang ronggeng sama pencari batu-batu (kerang laut) kan banyak juga. Udang ronggeng itu kan tempatnya di sana. Lubangnya (sarang udang ronggeng) hilang semua, tinggal pinggir-pinggirnya aja,” ujar Abdul, Selasa (13/6/2023).

Keruhnya air laut juga membuat nelayan gurita kesulitan dalam mencari sumber pendapatan ekonominya itu. Sebab, mereka harus berjuang melawan keruhnya air laut di malam hari.

“Iya kan banyak juga nelayan gurita itu sudah lama. Menyelam mencari gurita siang, tidak kelihatan kalau airnya keruh. (ini sangat mengganggu) nelayan tradisional yang menyelam malam,” tutur pria yang sudah 40 tahun bekerja sebagai nelayan ini.

Abdul menilai, Pelindo telah menyalahi perjanjian mengenai aturan pembuangan material dari hasil pengerukan, pengeboran, dan pendalaman laut. Bahkan, kata Abdul, Pelindo membuang material tak jauh dari daratan. Menurutnya, hal itu berbahaya

“Dengan dia mengeruk kan dia buangnya terlalu dekat (dengan daratan). Dia angkut, dibuangnya terlalu dekat. Katanya perjanjiannya dia itu ada kapal lagi yang mengangkut itu pihak lain dari pihak Pelindo itu. Ternyata di perjanjian mereka itu 12 mil dia harus buang, 12 mil dari daratan, harusnya. (Realisasinya) 1 mil dia,” terang Abdul.

“Yang kita komplain itu parah, sampai dia di pinggir sini (pinggir laut), itu kan bahaya, gak ada Amdalnya. Ini kan bahaya, dia kan pasir itu selalu abrasi. Kampung sini bisa terkikis,” imbuhnya.

Menurut Abdul, Pelindo tidak melakukan sosialisasi kepada warga sekitar yang terdampak proyek reklamasi. Oleh karenanya, warga tidak mendapat informasi mengenai waktu selesai serta seberapa luas wilayah yang menjadi proyek reklamasi tersebut.

“Tidak ada sosialisasi yang jelas, kita nggak tahu kapan berakhir, seperti apa proyeknya kayaknya jauh berkembang daripada yang kita pahami selama ini. Pengerukan meluas dan reklamasinya juga meluas,” tutur Abdul.

Terkait masalah itu, tentunya warga dan para nelayan tak tinggal diam. Beberapa kali warga dan nelayan melakukan aksi dan berdialog dengan pihak Pelindo mengenai kompensasi. Abdul mengatakan, kompensasi ini diajukan sebagai bentuk menuntut hak dasar mereka yang dirampas. Namun, Abdul menyayangkan bahwa pihak Pelindo justru hanya memberikan dana bantuan pemberian alat.

“Waktu itu airnya keruh terus-menerus dari proyek itu. Kita kesana dan sudah kenal sebelumnya dengan Bapak kepala pelabuhan itu. Beliau mengarahkan kita dengan wilayah sudah dikompensasi dalam bentuk dana bantuan pemberian alat. Karena kemarin kita mengajukannya untuk kompensasi jadi dibantulah ekonomi, kita merasa dirugikan. Cuma mereka katanya gak memungkinkan untuk memberikan kompensasi, jadi (Pelindo) meminta kita membuat berupa (pengajuan) bantuan,” ujar Abdul.

“Karena sudah dibantu sekarang, mau minta bantuan lagi kan gak enak. Dan ternyata ini proyeknya masih berlangsung, (pengerukan) terus berlangsung. Padahal waktu itu kita mengajukan kompensasi itu kan kita hitung kerugian kita sampai hari kita mengajukan itu. Setelah itu kan sudah setahun ya, itu masih berjalan. Anak-anak (pihak Abdul) mengeluh sekarang. Kita mau mengeluh kemana?” sambungnya.

Berdasarkan dokumen yang ada, reklamasi yang dilakukan oleh Pelindo III terhadap lahan seluas 85 hektar yang terdiri dari lokasi Dumping I seluas 38 hektar dan lokasi Dumping II seluas 47 hektar, sudah dilakukan proses administrasi sejak tahun 2012 dan kegiatan pelaksanaan pengembangan mulai tahun 2017. Secara keseluruhan, wilayah reklamasi yang dilakukan Pelindo seluas 132,9 hektar.

Adapun mega proyek reklamasi yang dilakukan Pelindo ini disinyalir berdampak terhadap kerusakan lingkungan, perubahan ekosistem pesisir, dan menimbulkan kerugian negara. Bahkan, selain diduga sangat mencemari lingkungan, juga telah merusak hektaran lahan bakau atau mangrove.

Bahkan, pengurukan wilayah laut itu diketahui telah menyebabkan hancurnya ekosistem bakau seluas 17 hektar. Selain itu kegiatan pengembangan yang semakin meluas mengakibatkan terganggunya wilayah yang disucikan dan hilangnya keindahan alam di kawasan perairan Teluk Benoa, sehingga telah mendapat protes dan reaksi dari berbagai komponen masyarakat. Pelanggaran-pelanggaran serta kerusakan vegetasi mangrove ini ditemukan oleh Tim Monitoring dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali.