Foto: Ketua Umum Kadin Bali I Made Ariandi (tengah) bersama Teguh Santoso, S.E.,M.Sc.,(kiri) peneliti dari Pusat Studi Ekonomi dan Studi Pembangunan FEB Unpad (perwakilan KPPU) dan Wakil Ketua Umum Bidang Lingkungan Hidup Kadin Bali I Komang Gede Subudi (kanan).

Denpasar (Metrobali.com)-

Persaingan usaha tidak sehat di Bali khususnya di sektor jasa pariwisata kian memprihatinkan. Seperti tumbuh suburnya praktik predatory pricing yakni strategi perusahaan menetapkan harga sangat rendah dalam jangka waktu tertentu, hingga mematikan perusahaan lawan.

Praktik predatory pricing seperti yang jelas dan nyata dilakukan para travel agent yang menjual paket wisata Bali dengan murah kepada wisatawan Tiongkok. Permasalah ini pun menjadi PR pemerintah daerah dan kalangan pelaku pariwisata Bali belakangan ini.

Praktik persaingan usaha tidak sehat ini pun menjadi perhatian serius  Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga independen yang memiliki tugas utama melakukan penegakan hukum persaingan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat, KPPU berkerjasama dengan Pusat Studi Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran (FEB Unpad) melakukan “Kajian Indeks Persaingan Usaha di Indonesia.”

Para peneliti dalam progam ini mendatangi dan mewawancarai stakeholder di daerah termasuk di Bali. Seperti Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Kamar Dagang dan Industri(Kadin) Provinsi Bali, Bank Indonesia Perwakilan Wilayah Bali, dan Akademisi Universitas.

Selasa siang (8/10/2019) peneliti mendatangi dan mewawancarai Ketua Kadin Bali I Made Ariandi di Kantor Kadin Bali, Jalan Mawar, Denpasar untuk menggali informasi dan berdiskusi tentang iklim persaingan usaha di Bali.

“Terjadi indikasi persaingan tidak sehat di sektor jasa pariwisata. Khususnya mengenai jaringan travel agent yang membawa wisatawan mancanegara dari China ke Bali. Ada indikasi travel agent bermain secara tidak kompetitif dan melakukan predatory pricing,” ungkap Teguh Santoso, S.E.,M.Sc.,peneliti dari Pusat Studi Ekonomi dan Studi Pembangunan FEB Unpad.

Harga yang ditawarkan travel agent kepada wisman Tiongkok sangat murah di bawah biaya operasional. Contoh dalam kunjungan wisata ke Nusa Penida dimana biaya bagi wisatawan lokal berkisar 300 ribuan per orang  tapi wisatawan asing dari Tiongkok/China bisa menikmati harga 200 ribuan dari travel agent tertentu. Biaya ini pun sudah termasuk makan, transportasi PP dan fasilitas lainnya.

“Ini jadi tanda tanya. Ini prilaku predatory pricing, jual murah. Dampaknya pada pelaku usaha pariwisata di Bali,” imbuh Teguh Santoso.

Akibat Over Supply, Rusak Citra Pariwisata Bali

Menurutnya, praktik predatory pricing atau jual murah jasa pariwisata Bali ini juga tidak terlepas dari pasokan berlebihan atau over supplay jumlah kamar akomodasi di Bali. Dimana ada 146 ribu kamar hotel yang terdaftar, belum lagi ditambah home stay atau jumlah kamar villa-villa bodong.

“Okupansi rate (tingkat hunian kamar hotel) rendah  di angka 55-60 persen. Ini diperebutkan pelaku bisnis. Terpaksa jual murah agar bisa tutupi biaya operasional,” terang Teguh Santoso.

“Akhirnya lama-lama selalu jual di bawah modal maka aspek bisnis tidak kuat, operasional tidak terbayar, bank tidak terbayar, potensi pajak hilang. Akhirnya bisnis bangkrut,” papar Teguh Santoso.

Praktik persaingan usaha tidak sehat lewat predatory pricing ini dampaknya sangat merugikan Bali. Seperti merusak citra atau image pariwisata Bali, menggangu keberlangsungan bisnis pariwisata hingga hilangnya potensi pembayaran pajak.

Karenanya KPPU menggugah kesadaran pelaku usaha termasuk di Bali agar menghindari persaingan usaha yang tidak sehat. KPPU pun melakukan berbagai upaya salah satunya melalui “Kajian Indeks Persaingan Usaha di Indonesia” ini.

Kajian ini diharapkan mendorong terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat di daerah. Output kajian ini adalah mendapatkan angka indeks yang mencerminkan persaingan usaha di masing-masing daerah seluruh Indonesia.

“Hasil kajian indeks ini jadi bahan bagi KPPU dalam rangka ciptakan persaingan usaha sehat. Kalau indeksnya rendah di suatu daerah, KPPU perlu sosialisasi lebih gencar lagi,” kata Teguh Santoso.

Ditambahkan, bahwa terciptanya persaingan usaha yang sehat berperan vital dalam meningkatan daya saing daerah. Sayangnya pelaku usaha tidak sadar praktik persaingan usaha tidak sehat berdampak negatif bagi daerahnya.

“Jual di bawah harga wajar sama dengan melanggar Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Persaingan usaha tidak sehat juga akan menurunkan daya saing daerah,” pungkas Teguh Santoso.

Tertibkan Pelaku Usaha yang Lakukan Predatory Pricing

Sementara itu Ketua Umum Kadin Bali I Made Ariandi berterima kasih kepada KPPU yang memberikan energi positif kepada pengusaha di Bali dan Kadin Bali dalam ikut mewujudkan praktik persaingan usaha yang sehat.

Pihaknya pun mendukung agar pelaku usaha yang melakukan praktik persaingan usaha tidak sehat seperti  menjalankan strategi predatory pricing agar ditertibkan.

“Tertibkan travel agent ilegal agar tidak jalankan praktik usaha tidak sehat, jual murah pariwisata Bali di bawah kualitas layanan,” kata Ariandi didampingi Wakil Ketua Umum Bidang Lingkungan Hidup Kadin Bali I Komang Gede Subudi.

Kadin Bali pun mendorong pemerintah daerah menguatkan regulasi untuk memproteksi pengusaha dari persaingan tidak sehat. Sebab jika pengusaha merugi dengan melakukan praktik predatory pricing, dampaknya akan kemana-mana. Seperti gaji karyawan yang telat atau bahkan tidak dibayarkan hingga hilangnya pembayaran pajak.

Dampak komplain masyarakat juga inggi. Wisatawan banyak tapi tidak ada pembangunan infrastruktur. “Jadi harusnya ada kontrol terhadap yang melakukan predatory pricing,”harap Ariandi.

Kadin Bali pun menggugah kesadaran pelaku usaha untuk tidak melakukan predatory pricing. Sebab itu ibaratnya menggali liang kubur sendiri. Inginnya untung tapi malah buntung. Sebab saling bunuh dengan harga murah yang ujung-ujungnya akan membuat usaha merugi.

“Harus jalani  usaha sesuai budget. Harus untung agar bisa bayar kewajiban pajak. Kalau di bawah kepatutan tidak bayar pajak, bisa kena penggelapan pajak,” kata Ariandi.

Di sisi lain Kadin Bali juga mendorong agar perizinan kepada pelaku usaha di Bali bisa lebih fleksibel. Jangan terlalu banyak aturan. “Pemerintah juga harus memberikan insentif kepada pengusaha lokal agar bergairah dan tumbuh pelaku usaha baru,” pungkas Ariandi. (wid)