BALI sebagai daerah tujuan wisata dunia kini kembali menjadi sorotan publik baik secara nasional maupun internasional. Pasalnya, masyarakat Bali kini sedang melaksanakan hajatan ritual budaya demokrasi dari pesta politik, yakni pemilihan kepala dearah (pilgub) Bali 2013 – 2018. Pesta politik ini menampilkan pertunjukan keindahan dari pertarungan head to head kandidat incumbent calon Gubernur Bali antara Made Mangku Pastika dan Puspayoga.

Dari catatan hasil verifikasi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bali calon kandidat Made Mangku Pastika berpasangan dengan Sudikerta di singkat Pasti-Kerta mengantongi dukungan sebesar 43,36 persen dari partai politik koalisi di antaranya Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Hanura, PAN, PNBK, PKPB, dan PKPI, serta Gerindra. Sedangkan, calon kandidat Puspayoga yang berduet dengan Sukrawan yang disingkat PAS mengantongi dukungan sebesar 43,64 persen dari partai politik pengusungnya, PDI-Perjuangan.

Persiapan hajatan ritual budaya demokrasi yang menelan dana teramat besar hingga mencapai ratusan miliar rupiah ini telah melalui proses ataupun tahapan pelaksanaan sesuai perundang-undangan yang mengaturnya. Tapi, efek negatifnya selalu saja menjadi fenomena yang sangat mencemaskan dan bahkan cukup mengerikan. Pasalnya, meski KPUD Bali belum melaksanakan proses pencoblosan sebagai persyaratan menentukan pasangan pemenang yang berhak menjadi Gubernur Bali 2013 – 2018, suasana sosial di tengah masyarakat sudah semakin meresahkan dan cenderung memanas.

 

Kemunafikan

Gejolak sosial itu mulai terjadi dari pertunjukan “perang” baliho di perempatan jalan protokol dan berbagai ruas jalan di setiap Kabupaten/Kota, hingga perang opini dan wacana melalui sosial media baik cetak, elektronik (televisi) maupun dunia maya (internet) seperti twitter, facebook, youtube, dan lainnya semakin marak baik bersifat edukatif, provokatif, maupun black campign. Bahkan, tragisnya sejumlah massa berkumpul dengan beragam atribut kepentingan baik personal maupun kelompok atau golongan tertentu sebagai simbolik perjuangannya sempat melakukan aktraksi demo berupa pertunjukan “ritual kemunafikan” di depan sebuah gedung kebesaran media massa (pers) cetak bersejarah di Bali.

Ironisnya lagi, telah terjadi provokasi yang tidak bijaksana terhadap perangkat kesucian umat Hindu di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali (MPRB) Renon Denpasar. Pasalnya, sejumlah pemangku lengkap dengan atributnya secara sengaja mengabaikan kesucian dan kemuliaan jabatannya telah melakukan proses ritual pralina (pengabenan) sebuah simbolik (koran) dari sosial media cetak terbesar di Bali. Sungguh sangat menyedihkan dan sekaligus memprihatinkan, bukan?.

Lembaga umat Hindu dalam hal ini PHDI Bali pun melalui IGN Sudiana selaku elite penguasa kebijakan sempat merasa kaget dan prihatin dengan kejadian tersebut. Tapi, sejatinya hal tersebut tidak perlu terjadi jika saja pembekalan serta pembinaan perangkat kesucian umat Hindu dilaksanakan secara bermartabat dan berbudaya sesuai filsafat yang mengaturnya atas dasar pengabdian dan pengorbanan tulus iklas tanpa pamrih.

Tak hanya itu, rupanya juga telah terjadi tindakan tercela dan tidak terpuji ataupun pemaksaan kehendak oleh para oknum dari elite penguasa pemangku kebijakan atas dasar kekuasaan maupun jabatan struktural dalam birokrasi pemerintahan terhadap profesionalisme kinerja sebagai pengayom kepentingan khalayak publik, masyarakat luas. Bahkan, nilai kejujuran yang mengungkap sesuatu dengan apa adanya kecenderungan dianggap sebagai sebuah ancaman, sehingga khalayak publik pun dikoptasi untuk lebih senang dan mencintai nilai yang semu agar kepentingan dari eksistensinya tidak diganggu.

Jika kita merunut tatanan nilai filsafat keluhuran seni budaya Bali yang terkenal mendunia sangat adiluhung dengan sikap keindahan dari kejujuran, kesantunan dan keramahan, serta keharmonisan dalam keragaman sosial seakan menandakan bahwa khalayak publik, masyarakat luas termasuk kaum intelektual, praktisi, akademisi, budayawan, serta pejabat dari kalangan birokrasi pemerintahan telah kehilangan kesadaran moralitas dan etika sosialnya.

Terlebih lagi, dalam proses debat publik para kandidat calon pemimpin Bali selama ini telah terjadi propaganda informasi secara pragmatis dan bahkan terkesan cenderung memicu tumbuhnya keindahan perilaku anarkisme feodalisme yang ditaktor dan otoriter atas dasar relasi kuasa. sehingga disinyalir dapat menumbuhkan nilai-nilai perpecahan di tengah masyarakat. Implikasinya, debat publik pun dianggap belum mampu memberikan proses pembelajaran berdemokrasi secara bermartabat dan berbudaya.

Dalam konteks ini, artinya khayalak publik, masyarakat luas yang terpelajar ataupun terdidik belum siap berdemokrasi secara jujur dan damai tanpa tindakan anarkisme atas dasar relasi kuasa yang menghalalkan beragam cara untuk mencapai tujuan secara pragmatis dari elite penguasa pemangku kebijakan demi kepentingan personal maupun kelompok atau golongan tertentu. Makanya, sekat-sekat perbedaan dari etnisitas yang eksklusif harus terus menerus dibuka secara transparan tanpa harus menimbulkan chaos politik.

Di samping itu, kaum sastrawan dan seniman pun dituntut harus mampu mengakomodasikan gagasan kebangsaan dalam euforia politik (demokrasi) dengan cerdik, halus dan ekstra hati-hati. Dalam upaya membangun demokrasi yang memberikan pencerahan untuk membina perasaan kebangsaan antaretnis dan antaragama secara bermartabat dan berbudaya.

 

Keserakahan

Dalam dinamika relasi kuasa kecenderungan elite penguasa pemangku kebijakan lebih mengedepankan nafsu dan hasrat keserakahan untuk mengeruk keuntungan pertumbuhan ekonomi dengan mengeksplorasi alam tanpa batas demi kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu. Ini karena dalam upaya mewujudkan kesejahteraan ekonomi masyarakat lebih berorientasi pada penumpukan keuntungan (profit) bagi kepentingan kapitalisme modal dengan mengabaikan tata nilai dan budaya yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat.

Atas dasar itulah, pemimpin Bali ke depan dituntut harus mampu berperan sebagai contoh dan memainkan peran kunci dalam membangun tata nilai dan budaya secara berkelanjutan. Sehingga pertumbuhan ekonomi tidak selalu harus mengorbankan kepentingan masyarakat luas dan lingkungan alam. Sangatlah penting untuk melindungi sumber daya alam demi keberlangsungan kehidupan dan keutuhan budaya Bali di masa depan. Dengan demikian, segala bentuk tindakan dan kegiatan baik praktik pembangunan maupun industrialisasi yang tidak berpihak kepada kelestarian alam dengan kehidupan budayanya harus dihindari.

Pada sisi lain, kini khalayak publik, masyarakat luas sedang mengikuti proses ujian kompetensi kecerdasan dan kecermatan untuk menentukan kepemimpinan Bali ke depan sesuai pilihan hati nuraninya dalam pesta demokrasi (pencoblosan) pemilihan kepala daerah (pilgub) Bali, tepatnya 15 Mei 2013, yang diselenggarakan secara langsung umum dan bebas rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil). Ingatlah gunakan hak pilih dengan baik dan jangan golput, sehingga kepemimpinan Bali yang terpilih untuk lima tahun ke depan betul-betul mencerminkan demokrasi yang mengayomi kepentingan khalayak publik, masyarakat luas.

 

Harapan

Untuk diketahui bahwa pesta demokrasi ini sebagai langkah awal dari proses penentuan keputusan dari beragam kebijakan terkait arah pembangunan ekonomi dan budaya Bali ke depan. Karena itulah, khalayak publik semestinya tidak mudah terkoptasi oleh keindahan perilaku elite penguasa pemangku kebijakan dalam sosial media selama ini yang kecenderungannya bersifat semu dan selalu atas dasar relasi kuasa dan kekuatan finansial semata berupa kepentingan transaksional angka dalam wujud nominal nilai tukar mata uang. Sehingga, masa depan Bali tidak tergerus arus globalisasi dari kepentingan kapitalisme industrialisasi modal yang kebablasan dengan gemerlap kemilau pasar yang membalikkan logika dan mengakibatkan terciptanya kelapukan budaya.

Inilah saatnya publik mendidik para politisi agar lebih bertanggungjawab dan tampil sebagai pemimpin cerdas yang memiliki keindahan perilaku kejujuran dan ketulusan dalam memimpin Bali ke depan. Sehingga, selalu konsisten dalam menentukan keputusan dari beragam kebijakan yang mengedepankan kebenaran dalam mengayomi kepentingan masyarakat luas. Selain itu, untuk menghindari terjadinya potensi konflik politik dalam proses demokrasi ini hendaknya para elite penguasa pemangku kebijakan yang terkait di dalamnya dapat menjalankan tanggungjawabnya secara proporsional dan profesional dengan menjaga keharmonisan demi terciptanya kedamaian yang berkeadilan di tengah keragaman berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat. Selamat memilih sesuai hati nurani untuk Bali tercinta.(wb)