MAHKAMAH*)

“…Tegakkan hukum setegak-tegaknya
Adil dan tegas tak pandang bulu
Pasti kuangkat engkau
Menjadi ‘manusia setengah dewa’…”

Potongan lagu Iwan Fals penulis tempatkan Di awal, mencermati berbagai gugatan atas berbagai dilemma ‘hukum dan keadilan’ di Mahkamah, yang Konstitusi-onal dan/atau Agung. Mulai dari soal Negara vs Warga Pemaluan, terkait proyek IKN , korupsi Bansos Rp.497 T, atau tambang Timah Rp. 271 T, sampai Gugatan atas dugaan kecurangan proses politik dan pemilu/Pilpres 2024, yang dikawal Todung Mulya Lubis (TPN Ganjar-Machmud) dan Bambang Wijayanto (TPN AMIN), para mentor dan atasan penulis, karena dulu senior dan berkantor di lantai atas YLBHI.

“Sebuah upaya bersama manusia menempatkan diri, atau sesuatu dengan tepat (Sapē), sesuai tatanan dan aturan berjalan (Rta), sehingga masyarakat ‘bebas, adil dan sejahtera’ menjadi mungkin”, kata guru spirit(k)ual penulis, (Alm.) IBM Palguna Sekaligus mengingatkan, bahwa kita (tidak) sedang menunggu: #ManusiaSetengahDewa, atau #IdaBetaraTurunKabeh, yang kini disingkat: IBTK Namun, usaha bersama, sebagai manusia, tanpa embel-embel.

Mengikuti KBBI, Mahkamah/mah·ka·mah/ badan tempat memutuskan hukum atas suatu perkara, atau pelanggaran: Pengadilan. Dengan ketukan Palu hakim 3 (tiga) kali, yang terpilih karena sudah dianggap sudah berpikir adil sejak dalam pikiran, dan selaku wakil Tuhan. Bukan menjadikan Pengadilan sebagai arena “@mah- ka-@mah” (Bali): makan, me/di-makan.

Setiap tafsir konteks terhadap teks sudah selalu memiliki praandaian. Panji-panji bahasa menyebutnya dengan “harmoni”. Ia mengacu pada keselarasan, beroperasi di ranah “antara”, menampik positivitas sembari meng-Illahi-kan negativitas internal yang terhampar di dalam teks. Ia bekerja tak ubah mantra, berangsur gaib akibat pengulangan yang mengikutinya.

Mengutip buku saku Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia, YLBHI: Demokrasi Masih Terbenam, saat jadi peserta *Training Kalabahu-YLBHI, 1991″, terkesan “sarat bunga-bunga dan memberikan aroma harum yang menyenangkan.” Sekaligus, ada aroma mania(k) untuk menegakkan, tentunya.

Dalam mengulas mengenai hukum dan keadilan, penulis awali dengan sebuah aporia, “Tanpa yang-mustahil, manusia mati berkali-kali.” Kita membayangkan diri ibarat “orang dari jauh” , “orang dari udik”, seperti “sang tamu” yang terdapat dalam “Vor dem Gesetz”, karya Frans Kafka (Terjemahan apik #SaudaraPotongan, Ngurah Mahardika, Bali Post, 1980-an) yang fenomenal itu ketika hendak menemui Hukum –seakan diajak mengikuti , “sebuah pengertian KEADILAN, yang perlu mengenakan huruf besar (kapital) di dalam cerita.”

Dengan menggunakan model imanensi Deleuze dan Guattari, mungkin kita jatuh pada sebuah simpulan yang pada dasarnya tetap tak tersimpulkan: maka keadilan sebagai “proses imanen dari hasrat” berbeda dengan hukum, yang bila diperlakukan sebagai sesuatu yang transendental akan mirip “mesin yang abstrak”.

Beda hukum dan keadilan ditegaskan, batas-batas keduanya diakui, namun sekaligus penulis tak hiraukan. Lantas, tentang Hukum dan Keadilan, dua ihwal yang sama-sama perlu dibumbuhi Kapital pada awalannya, dalam pandangan ini, perkara “kebetulan”. Hukum harus jelas di tengah keadilan yang samar-samar”.

Mungkin pembaca tak jelas apa yang penulis maksudkan tentang keadilan yang tampil sebagai kebetulan itu. Sebab, dalam ‘What is Philosophy’ (1991), yang masih terdapat pada halaman yang sama penulis curi, dari Deleuze dan Guattari juga menulis, “Ruang imanensi bukanlah
sebuah konsep atau konsep dari semua konsep.” Ia tak hendak menggampangkan perbedaan, mengaburkan detail ke dalam generalitas –teks tak selamanya bisa lebur ke dalam konteks.

Keadilan dan hukum yang terdapat dalam ruang imanensi subjek, bukan bagian dari struktur yang tertutup; ia istimewa akibat sifatnya yang jalin-menjalin, anyam-menganyam, atau bahkan tenun-menenun kata-kata.

Dengan kata lain, keadilan tak hanya muncul dari (dan oleh) hukum. Jika seseorang menganggap bahwa hukum merupakan keadilan-yang-niscaya, bahwa keduanya punya karakteristik yang sama sehingga mesti dibumbuhi huruf besar, hal ini berakibat tak dimungkinkannya “penciptaan dan peletakkan” keadilan di dalam hukum.

Sebagaimana yang dijelaskan Deleuze dan Guattari kemudian, apabila aspek jalin-menjalin ruang yang beragam itu digampangkan, fungsi hukum sebagai ikhtiar penemuan keadilan juga tak dimungkinkan. hendak mengatakan –lengkap dengan bunga dan harum– keadilan sebagai sesuatu yang tak mungkin ditindak dan diupayakan. Ia mungkin ada bila dipasrahkan menjadi milik “kebetulan”. Dan hukum, bila konsisten merujuk pada asumsi Deleuze dan Guattari (tanpa puisi, tentu saja!), hanya satu ruang di antara sekian banyak ruang yang secara langsung jalin-menjalin, dengan keadilan.

Sekaligus menganggap, keadilan menjadi keadilan sejauh ia dibiarkan sebagai yang-acak, tak tertebak, niscaya. Penulis mengambil contoh hari kemerdekaan Republik Indonesia, yang baginya, tak pernah ada seandainya keadilan diperlakukan sebagai akhir dari suatu upaya terencana, hasil dari perjuangan bertahun-tahun untuk bebas dari kolonialisme.

Apa jadinya apabila kita menganggap keadilan sebagai sesuatu yang niscaya, gaib, bahwa ia menyerupa sesuatu yang buta seperti yang diasumsikan dan kemudian kita dibayangkan? Meminjam pandangan Gregoris Ragil dalam esainya yang berjudul The Ambivalent Face of Japanese Colonialism and The Resurgence of Nationalism in Indonesia (1942-1945), bila kemerdekaan lahir bukan hasil dari “‘agensi’ para nasionalis”, kekuatan-kekuatan yang digalakkan oleh Tan Malaka, Sjahrir, dkk di level akar rumput jadi tak ada artinya –dan keadilan tak mungkin lagi.

Albert Camus, seseorang yang kata-katanya berkali-kali dikutip, namun juga sering tak dicantumkan, menganggap karya Kafka, ibarat samudera yang keistimewaannya terletak pada kedalaman dan sifatnya yang multidimensional. Karya Kafka, kata Camus, “menuntut untuk dibaca ulang dengan sudut pandang baru.” Ia seperti kolase kemungkinan; “keagungan karya tersebut terletak pada kenyataan bahwa ia menawarkan segalanya dan tak memastikan apapun.”

Kita boleh berasumsi, namun jangan mengerdilkan makna keadilan yang tak ubahbya seperti “mesin yang abstrak” tatkala berhadap-hadapan dengan hukum. Terutama dalam konteks cerita Di Depan Hukum, yang mana setiap upaya menuntut keadilan di dalam hukum tak ayal membuat kita seperti “orang dari desa”, yang dengan sikap patuh dan khusyuk menunggu dipersilakan masuk “si Penjaga Pintu”, sang Penguasa.

Namun, sebagaimana Deleuze dan Guattari yang menekankan bahwa ruang imanensi tak dapat dipisahkan dari “dunia material objektif”, saya menolak menggunakan kerangka puitik untuk memahami cerita ini dengan suatu tilikan yang bermain-main dalam dimensi “paradoksal teks” di mana imajinasi puitik mengakibatkan ciutnya arti dan makna keadilan, menyembunyikan borok hukum di balik otoritas Sang Penguasa, atau Si Penjaga Pintu.

Ada kalanya sejarah tak sepuitis yang kita bayangkan. Tak sesendu “kepak sayap”, atau sekerdil tokoh yang menanti keadilan dalam cerita Di Depan Hukum itu. Soal ini, saya teringat kalimat terkenal seorang kawan, Rocky Gerung, yang lebih kesohor ketimbang orangnya, “Di hadapan Tuhan, kita hanya bisa diam. Namun, di hadapan dunia, kita tidak bisa diam, dan harus kritis.” Diisi perdebatan logika hukum, bukan simsalabim cincin bertuah.

Bersalahkah kita bermain-main dengan bahasa puitis? Penulis ragu. Sebab ada yang memang tak bisa dibantah dari ulasan tentang kaitan hukum dan keadilan di dalam karya Kafka itu. Bahwa kita sama-sama tak tahu apa yang sebenarnya terjadi; ada apa di balik pintu, apakah ancaman kematian atau justru kepastian Keadilan dan Hukum?

Pembakuan rezim makna yang dikenakan atas konsep keadilan mendorong penulis untuk menemukan cara lain dalam menunjukkan apa itu keadilan. Mengikuti Force of Law: The Mystical Foundation of Authority (1993)-nya Jacques Derrida, yang mengajak untuk mendekonstruksi konsep keadilan dengan bantuan teks-teks Blaise Pascal, Montaigne, dan Walter Benjamin.

Disana, Derrida berusaha menampilkan sebuah percobaan yang provokatif untuk mencairkan setiap pembakuan makna keadilan dan mempersoalkan secara radikal setiap pemastian makna keadilan. Sekaligus, menggugat para penganut aliran positivisme John Austin, yang mengatakan bahwa keadilan hanya ditemukan dalam tatanan/aturan hukum.

Bagi Derrida, Keadilan adalah sebuah gerak yang tidak lain daripada dekonstruksi itu sendiri. “Deconstruction is justice”. Keadilan sejatinya melampaui hukum dan putusannya. Dimana, apa yang diputuskan sebagai yang adil menyiratkan sesuatu yang tidak terputuskan. Dekonstruksi, dalam hal ini, bertolak dari hal yang tidak terputuskan dan berakhir di dalam hal yang tidak terputuskan. Derrida menyebut dekonstruksi adalah keadilan. Gagasan dekonstruksi keadilan bermula dari adanya dua tegangan, yakni ketegangan antara hukum dan keadilan itu sendiri.

Hukum bisa diperbaiki dan diganti dengan hukum yang baru (amandemen), konvensi, atau pun penemuan hukum oleh hakim (judge made law). Pergantian sistem dan perbaikan hukum terus-menerus adalah sebuah dekonstruksi, guna meningkatkan daya kritis atas hukum.

Akan tetapi, menurut Derrida, keadilan bukanlah hukum. Keadilan tidak pernah direduksi hanya ke dalam hukum. Pelembagaan konsep keadilan hanya ke dalam tatanan hukum, membuat segala bentuk pencarian mengenai keadilan di luar hukum dihentikan. Mengenai hal ini, Derrida menulis: “Keadilan adalah dorongan, impuls, perkembangan untuk memperbaiki hukum, yakni agar hukum bisa didekonstruksi. Tanpa panggilan akan keadilan, kita tidak akan memiliki ketertarikan untuk mendekonstruksi hukum.”

Kembali ke cerita, adakah kita tahu apa gerangan yang membawa orang dari udik itu bisa sampai Di Depan Hukum? Mungkin mirip warga Pemaluan dihadapan Otoritas IKN dan seterusnya. Dalam artian, Kafka, Iwan Fals, atau pun penulis dan pembaca mengajak kembali ke: #Mahkamah

Penulis :  Ngurah Karyadi