I Gde Sudibya, Ketua Forum Penyadaran Dharma.

Dari para filosof Kita bisa menyimak, realitas adalah “warna-warni” dari sejumlah persepsi, sehingga realitas terbitnya Mentari di ufuk Timur Bali, 1 Januari 2024, bisa ditafsirkan berbeda oleh setiap orang. Persepsi bisa saja: optimis, pesimis, abu-abu (gabeng dalam bahasa Bali).

Tetua Bali mengajarkan, jalan tengah kehidupan, “madya maka”, “dumalada”, dalam meniti arus deras rwa-bhineda (kedualistikan) kehidupan. Cendrung menghindari dua sisi ekstrim kehidupan, ekstrim Kiri materialistik, ekstrim Kanan spiritualistik. Kehidupan yang hendak dibangun seimbang, meterislistik – spiritualistik, skala – niskala, seirama dengan hukum keseimbangan (rtam) Alam kehidupan.

Doa kebudayaan di menyongsong mentari pagi Bali di ufuk Timur 1 Januari 2024, dapat bermakna, menyebut beberapa, pertama, Alam Bali begitu ramah dan memberikan kelimpahan bagi penghuninya (tanpa membedakan SARA), sudah semestinya dirawat dengan baik, tulus dan dengan suka cita. Bak kata pepatah “dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung”.

Kedua, penduduk asli Bali ysng datang bergelombang ke Bali, semestinya memberikan keteladanan bagaimana alam dijaga, TRI HITA KARANA dipraktekkan dalam realitas ke seharian.

Ketiga, Bali yang memberi, masyarakatnya terberi (gifted), harus mensyukurinya, melalui upaya pengendalian diri: alam terjaga, pemimpin menjadi suri teladan, ekonomi berjalan,, sejalan dengan pemerataan dan keadilan (ciri yang melekat dalam ekonomi sosialisme religius yang mentradisi), politik yang berbasis: kepantasan, etika (sesana dalam bahasa Jawa Kuno/Kawi) dan satunya kata dan perbuatan (satya wacana). Kreativitas berkesenian yang berpijak dari Ibu Bumi yang terjaga, dan bahkan tafsir ekpresi dari Panca Maha Butha (tanah, air, udara, angin dan angkasa).

I Gde Sudibya, Ketua Forum Penyadaran Dharma.