Denpasar (Metrobali.com)-

Pemilih yang termasuk golongan pragmatis skeptis di Bali pada Pemilu 2014 diprediksi jumlahnya mencapai 30 persen dari total pemilih dengan mengacu hasil survei beberapa pemilu sebelumnya.

“Saya berkeyakinan pemilih pragmatis skeptis akan tetap berada pada kisaran 30 persen karena masih ada kelompok masyarakat yang mau memilih calon tertentu setelah menerima bantuan dan sumbangan. Pemilih semacam itu akan bermain setiap saat pada semua tipe pemilihan,” kata pengamat politik Drs I Nyoman Wiratmaja MSi, di Denpasar, Senin (30/9).

Ia mengemukakan, pemilih yang masuk kategori pragmatis skeptis adalah mereka yang tidak peduli dengan ideologi parpol yang diusung calon, juga tidak peduli terhadap apa yang nantinya dikerjakan oleh eksekutif maupun legislatif.

“Pemilih tipe ini adalah mereka yang menentukan pilihannya berdasarkan apa yang betul-betul didapatkannya saat ini. Misalnya warga banjar (dusun adat) yang menginginkan caleg supaya menyumbang untuk perbaikan bale kulkul (kentongan), siapa yang menyumbang maka itulah yang kompak nanti dipilih tanpa mempertimbangkan visi misi dan program kerja caleg,” ujar akademisi dari Universitas Warmadewa itu.

Wiratmaja menambahkan, termasuk kelompok pragmatis skeptis juga adalah orang yang berlomba-lomba membuat proposal pada setiap caleg supaya bisa mendapatkan bantuan. Besaran pemilih yang pragmatis nanti mencapai 30 persen itu berdasarkan komparasi hasil dari berbagai lembaga survei.

Selain ada pemilih pragmatis skeptis, ujar dia, pemilih di Bali juga terbagi menjadi pemilih tradisional, rasional dan kritis yang besarannya bervariasi.

“Pemilih tradisional merupakan pemilih yang memperhatikan unsur penting satu partai dan satu ideologi. Mereka fanatik memilih satu partai tertentu tanpa memandang apa yang akan dilakukan wakil rakyat ke depannya. Pemilih jenis ini di Bali sekitar 15-20 persen,” katanya.

Pemilih tradisional meskipun diiming-imingi bantuan supaya mau memilih caleg tertentu, mereka tetap tidak akan mau jika dipandang tidak satu ideologi dan satu partai.

Sedangkan kelompok pemilih rasional tidak sekadar memperhatikan persamaan ideologi, tetapi melihat program kerja apa yang dilakukan caleg ketika sudah menjadi anggota dewan, memperhatikan platform partai, rekam jejak serta kualitas dari caleg itu. Jumlah pemilih rasional mencapai 25-30 persen.

“Yang terakhir sisanya adalah pemilih kritis yang umumnya berasal dari internal partai. Kelompok pemilih ini akan kuat mengkritik para caleg jika kerjanya menjadi wakil rakyat dinilai tidak becus. Biasanya mereka ini orang partai yang memiliki ideologi kuat, sudah memiliki perencanaan matang tetapi terlempar dari posisi strategis di partai,” katanya.

Oleh karena itu, Wiratmaja menyarankan mumpung masih ada waktu sebelum Pemilu 2014, agar digencarkan upaya penyadaran politik bahwa sesungguhnya rakyat mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus daerah atau negaranya.

“Rakyat harus ikut berperan aktif mengawasi wakil rakyatnya semenjak mereka belum duduk di dewan. Uang melimpah dalam APBD harus dipergunakan dengan benar dan perlu pengawalan rakyat,” ucapnya.

Bukan malah sekali mendapat bantuan saat kampanye caleg, lalu APBD tidak terkawal. Kalau mau mengawal APBD dengan baik, apa yang bisa diberikan APBD kepada rakyat akan jauh lebih besar dibandingkan apa yang didapat ketika menebarkan janji kampanye.

Pada Pilkada Bali 15 Mei 2013, tercatat jumlah daftar pemilih tetap (DPT) mencapai 2.925.679 jiwa. Dari jumlah itu, angka golput mencapai 26 persen. AN-MB