Pancasila Bhineka Tunggal Ika

PRESIDEN Joko Widodo kembali menegaskan, Pancasila merupakan satu-satunya ideologi di Indonesia. Penegasan itu diungkapkan Presiden di depan 1.500 prajurit TNI usai menunaikan salat Jumat dan santap siang di Aula Kartika, Tanjung Datuk, Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (19/5/2017). “Sekali lagi, negara Pancasila itu sudah final. Tidak boleh dibicarakan lagi,” ujar Jokowi sebagaimana dikutip dari siaran pers resmi Istana. Oleh sebab itu, jika ada organisasi masyarakat yang ingin keluar atau mengganggu ideologi Pancasila serta pilar negara yang lain, yakni UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, dianggap bertentangan dengan hal yang sangat fundamental bagi bangsa Indonesia.

Jokowi pun memastikan, negara tidak akan diam dalam menghadapi gerakan-gerakan yang merongrong tersebut. “Kalau ada ormas yang seperti itu, ya kita gebuk,” kata Jokowi. Tidak hanya yang anti-Pancasila, bahkan negara juga akan ‘menggebuk’ ormas yang berhaluan komunis. Hal itu diatur dalam Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang menyatakan bahwa Partai Komunis Indonesia adalah organisasi terlarang. “Ya kita gebuk, kita tendang, sudah jelas itu. Jangan ditanyakan lagi. Jangan ditanyakan lagi. Payung hukumnya jelas, TAP MPRS,” ujar Jokowi (www.kompas.com). Peringatan keras kepala Negara sangat beralasan di tengah-tengah adanya kelompok ormas yang mengiginkan untuk mengganti ideology Pancasila dan merorong NKRI.

Presiden menegaskan bahwa Pancasila harus menjadi ideologi yang bekerja (working ideology), yang terlembagakan dalam sistem dan kebijakan di berbagai bidang, mulai dari ekonomi, politik, hingga sosial-budaya. Apa yang diidamkan Presiden sejatinya merupakan penegasan ulang dari cita-cita luhur para pendiri negara-bangsa ini. Melalui pengesahan Preambule UUD 1945, para pendiri negara-bangsa ini telah menegaskan fungsi konstitusional Pancasila sebagai dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan ligatur dalam kehidupan bangsa dan negara (Yudi Latif, 2011). Secara filosofis, Soekarno menegaskan bahwa kita harus melakukan penarikan ke atas dan penarikan ke bawah terhadap Pancasila (Roeslan Abdulgani, 2001). Penarikan ke atas bermakna, Pancasila harus diluhurkan sebagai sistem falsafah dan norma sekaligus dirumuskan sebagai sistem pengetahuan dan teori. Sementara penarikan ke bawah berarti bahwa Pancasila dijabarkan dan dilaksanakan sebagai sistem operasional dalam berbagai bidang (Halili, 2017).

Sejarah berdirinya NKRI yang berlandaskan Pancasila tidak lepas dari kehadiran organisasi Budi Utomo. Kehadiran Organisai Budi Utomo pada tahun 1908 adalah ide besar dan kreatif di tengah minimnya kesempatan pada masa itu untuk bangkit dari ketertinggalan dan keterbelakangan akibat penjajahan agar mendapat kesempatan untuk kemajuan pikir kita saat itu. Kehadiran Budi Utomo yang dipelopori para pemuda usia dua puluhan dilakukan melalui gerakan budaya dengan mengupayakan akses pendidikan yang lebih luas bagi bumi putra serta gerakan revitalisasi budaya-budaya Nusantara. Memperkuat modal budaya ini untuk memperkokoh modal politik untuk melahirkan pemimpin berdasarkan keunggulan kapasitas dan kapabilitas dibandingkan keunggulan berdasarkan pertimbangan primodial. Gerakan Budi Utomo telah memberi inspirasi bagi tumbuhnya organisasi-organisasi berikutnya untuk bangkit dengan semangat nasional dan kebangsaan menuju kemerdekaan Indonesia. Lahirnya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 setiap tahun kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Tanggal 20 Mei 2017 kita peringatan kembali Hari Kebangkitan Nasional sebagai  momentum untuk merajut benang demokrasi yang akhir-akhir ini mengalami ujian berat.  Hari ini setelah 72 tahun Indonesia Merdeka kita dibuat terhenyak dengan fenomena yang terjadi.

Meminjam istilah Halili  bahwa kini demokrasi kita sedang mengalami luka yang menganga mulai dari aspek sosial, politik, hingga hukum. Pertama dari aspek sosial telah terjadi pengkafiran, pemunafikan, membangun kebencian antar sesama, dan berbagai bentuk masifikasi permusuhan merusak demos sebagai basis material demokarasi. Kedua dari aspek politik telah terjadi dan kita saksikan kelompok radikal suka memaksakan kehendak yang menyebabkan terjadi ketegangan dan pembelahan politik yang deskruktif. Kejadian ini merusak iklim demokrasi yang membangun kultur konstestasi, kompetitif dan oposisional yang sehat. Ketiga dari aspek hukum telah terjadi meletakan hukum sebabagai subordinasi di bawah politik. Hal ini dapat kita lihat dari pernyataan elite politik dengan memberi ancaman dan intimidasi kepada aparat penegak hukum agar pemerintah menggunakan kuasanya mengintervensi hukum. Kemudian timbul wacana publik bahwa hukum yang adil adalah hukum yang memuaskan hasrat dan kepentingan mereka. Melihat permasalahan di atas, saatnya kita kembali merevitalisasi pemahaman Pancasila secara sungguh-sungguh sebagai komitmen bersama.

Mengutip Yudi Latif, bahwa Pancasila harus dimantapkan sebagai ideologi yang menjadi penyebut tunggal (common denominator) dalam mewujudkan negara-bangsa Indonesia yang terdiri atas kebinekaan suku, agama, dan golongan-golongan yang ada di dalamnya. Pancasila harus menjadi rumah bersama bagi seluruh elemen yang telah bersepakat untuk membentuk negara satu (pactum unionis) bernama Indonesia, baik mereka yang banyak maupun yang sedikit, baik mereka yang mayoritas maupun minoritas. Momentum Hari Kebangkitan Nasional kita maknai menjadikan Pancasila sebagai working ideology sehingga menjadi pedoman setiap langkah kita dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila dijabarkan dan dilaksanakan sebagai sistem operasional dalam berbagai bidang untuk seluruh bangsa Indonesia tanpa kecuali demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penulis: I Gusti Ngurah Agung Darmayuda