PERSEPSI masyarakat terhadap politik tidak terbangun dengan baik akibat minimnya pendidikan politik. Minimnya pendidikan politik mempengaruhi kualitas demokrasi yang disalurkan lewat pemilihan umum. Pemilu kini identik dengan bagi-bagi sembako, sumbangan-sumbangan, bantuan sosial, sehingga hasilnya menjadi persoalan yang bersifat materi belaka. Politik yang bermakna moralitas menjadi  jauh dari moralitas. Sebagian besar masyarakat memaknai pemilihan umum sebagai kegiatan prosedural. Pemilu sebagai formalitas menjalankan siklus pergantian kepemimpinan semata.  Oleh karena itu pendidikan politik menjadi sangat penting bagi keberlangsungan proses demokrasi.

Menurut Burhanuddin Muhtadi tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu dapat dilihat dari pengidentifikasian diri masyarakat dengan partai. Bila hanya sedikit yang mengidentifikasikan diri pada partai politik maka gelombang golput dan pemilih yang mengambang semakin meningkat. Partai politik memegang peran yang sangat penting terhadap pendidikan politik masyarakat.  Partai politik yang sehat berdampak positif terhadap partisipasi masyarakat dalam memilih.

Selanjutnya Burhanuddin Muhtadi mengklasifikasi hubungan pemilih dengan partai menjadi empat. Pertama, relasi sekutu dimana kelompok pemilih dan partai memiliki hubungan yang bersifat emosional dan rasional. Kedua, tipe pemilih loyal yaitu tipikal pemilih yang memiliki afiliasi politik dan indentifikasi partai. Ketiga, pemilih terasing, yakni kelompok pemilih yang tidak memiliki   relasi emosional dengan partai dan pada saat bersamaan cenderung menilai negatif partai politik. keempat, pemilih pragmatis dengan ciri minimnya kedekatan psikologis dengan partai, tetapi mereka ikut serta dalam pemilu dengan alasan pragmatisme. Berkaca pada situasi saat ini tampaknya sebagai besar berada dalam kelompok tiga dan empat yaitu pemilih terasing dan pemilih pragmatis.

Lemahnya hubungan antara konstituen dengan politikus atau partai politik berdampak pada semakin tingginya angka golput. Tidak adanya hubungan emosional antara politikus atau partai politik dengan masyarakat menimbulkan prilaku apatis pemilih. Hubungan ini tidak terjalin dengan baik karena partai politik tidak menjalankan proses rekrutmen dan kaderisasi kepada masyarakat secara baik. Proses rekrutmen dan kaderisasi yang menjadi pintu pembuka hubungan antara partai politik dengan masyarakat terbukti lemah. Tidak kuatnya hubungan pengikat antara pemilih dengan partai atau elit partai ditambah dengan lemahnya tingkat kepercaaan masyarakat terhadap partai politik berdampak pada menurunnya partisipasi masyarakat dalam memilih dan masyarakat menjadi apatis terhadap politik.

Berbagai kasus yang menimpa para elit partai politik sungguh memprihatinkan. Pemilu sebagai mekanisme pelaksanaan kedaulatan rakyat melahirkan politikus yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Demokrasi yang dijalankan selama ini tidak membawa perbaikan yang diharapkan. Masyarakat menjadi jenuh dan tidak percaya lagi dengan para pemimpin yang telah dipilihnya.Hal ini menjadi salah satu alasan pula bahwa partisipasi pemilih dalam pemilu menurun.

Sesungguhnya apatisme pemilih yang ditunjukan dengan golput harus disikapi dengan bijak, karena akan berdampak pada kualitas demokrasi dan legitimasi hasil pemilu. Oleh sebab itu dibutuhkan dorongan untuk meningkatkan pemilih dengan memperluas gerakan pendidikan politik untuk warga. Pendidikan politik tidak hanya pada titik masyarakat pemilih tetapi juga pada para aktor politiknya. Pendidikan politik yang selama ini dalam bentuk mobilisasi politik mulai diarahkan kepada partisipasi politik yang dapat menggugah kesadaran politik masyarakat. Persepsi masyarakat terhadap politik harus diperbaiki kearah yang lebih baik ketingkat kesadaran hak-hak politiknya untuk memperkuat legitimasi pemegang mandat rakyat melaui hasil pemilu.

            Sistem rekrutment partai politik yang selama ini berjalan perlu mendapat perhatian untuk menghasilkan para politisi yang ideal yang mumpuni dan jauh dari prilaku pragmatis yang tidak terpuji. Partai politik harus berkomitmen untuk mereformasi system rekrutmennya yang  berjalan selama ini. Partai politik selama ini cenderung  pragmatis, mendapat kader instan dengan modal materi jauh dari semangat pengabdian melahirkan para politisi pragmatis yang mengutamakan pencitraan semata. Pola kaderisasi yang diharapkan adalah kaderisasi internal yang berlandaskan pada pengabdian dan kerja nyata pada masyarakat konstituennya,sehingga dihasilkan politisi yang mengakar pada masyarakat dan bekerja berjuang untuk kepentingan masyarakat.

            Partisipasi masyarakat dapat diperbaiki dengan  menginternalisasi politik kedalam diri masyarakat itu sendiri. Melalui pendidikan politik yang baik internalisasi politik akan memberi kesadaran politik bahwa politik merupakan sebuah produk sosial yang mereka ciptakan melalui upaya-upaya yang mereka lakukan untuk membentuk identitas kebangsaan ataupun komunitas politiknya. Sehingga kebijakan para pemimpin politik diharapkan sejalan dengan harapan masyarakat menjadikan politik sebagai kristalisasi ide yang memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa dan Negara.

Pemilu 2014 tinggal beberapa bulan lagi. Kecendrungan menurunnya partisipasi pemilih menjadi PR besar bagi kita semua. Pada Pemilu 2014 mendatang, dialokasikan kurang lebih 14 trilyun anggaran negara. Suatu angka yang cukup fantastis. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab bersama baik penyelenggara, pemerintah, partai politik, dan organisasi non-pemerintah untuk dapat bekerjasama dalam rangka mengembangkan berbagai aktifitas yang dapat meningkatkan partisipasi pemililih dalam pemilu.

Penulis:

I Gst. Ngr. Agung Darmayuda

Panitia Pemilih Kecamatan Denpasar Utara/ Direktur Eksekutif Lingkar Studi Mahabraya