candi retno

Ribut-ribut antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesia sejak beberapa waktu terakhir yang belum menunjukkan jalan penanda menuju ujung rampung, seakan membuat seluruh isi negeri terguncang tiada henti.

Perseteruan mereka setidaknya sejak pertengahan Januari lalu. KPK menetapkan status tersangka terhadap calon Kapolri Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan, terkait dengan dugaan transaksi mencurigakan selama 2003-2006 yang membuat sang kandidat tunggal itu dikenai tuduhan sebagai pemilik rekening gendut.

Selanjutanya, Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka kasus dugaan menyuruh saksi memberikan keterangan palsu dalam perkara Pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi pada 2010.

Selain itu, tiga petinggi KPK menjadi terlapor di Bareskrim Polri terkait dengan dugaan pelanggaran hukum masa lalu masing-masing. Mereka adalah Ketua KPK Abraham Samad dan dua wakil lainnya, Adnan Pandu Praja serta Zulkarnain.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo yang terus mengumpulkan banyak masukan dari berbagai kalangan, dalam beberapa kesempatan meminta publik “menunggu waktu” untuk sampai kepada penyelesaian perseteruan antara pihak lembaga antirasuah itu dengan kepolisian.

Silang sengkarut persoalan tersebut, memantik inspirasi sejumlah seniman di Magelang, Jawa Tengah, untuk membuka pintu refleksinya melalui performa seni “Membeli Waktu” di reruntuhan Candi Retno, Sabtu (7/2) pagi.

Sejumlah seniman itu, adalah Eka Pradhaning, pemilik Sanggar Tapak Liman Kabupaten Magelang, Tr Setyo “Gepeng” Nugroho, seniman teater yang juga Penasihat Dewan Kesenian Kota Magelang, dan seorang pegiat seni setempat lainnya Agus “Ambon” Sungkowo.

Suasana langit yang cerah mewarnai performa selama sekitar satu jam mereka, dengan tabuhan bende, pemasangan instalasi kain panjang warna merah dan putih di reruntuhan batu candi, dan pemasangan dupa.

Candi Retno peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yang saat ini tinggal reruntuhan batu-bata berlumur lumut, terletak di kawasan antara aliran Sungai Elo dan Setan, di Dusun Cetokan II, Desa Candi Retno, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang.

Situs candi ditemukan warga setempat yang sedang menggali tanah pada 1972. Lokasi yang telah dipagari dengan kawat berduri itu, sebelumnya berupa “gerumbulan” semak belukar dan pepohonan bambu.

Sebelum performa, mereka mendapat cerita singkat dari juru kunci situs seluas 360 meter persegi yang juga warga setempat, Ruwadi (67) didampingi isterinya Aliyah (64).

Di situs yang dalam pengawasan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah berkantor pusat di Prambanan, Kabupaten Klaten, Jateng tersebut, antara lain pernah ditemukan sejumlah yoni, patung nandi dan ganesha.

Sejumlah yoni juga pernah ditemukan warga, berada di areal persawahan tak jauh dari situs tersebut, sedangkan reruntuhan Candi Rento yang masih terlihat dan dalam posisi “in-situ”, antara lain berupa sisa bagian fondasi batu-bata, satu yoni, dan tumpukan batu-bata lainnya yang terlihat membentuk lorong kecil.

“Sering ada tamu, termasuk turis mancanegara yang datang untuk melihat tempat ini, juga pernah ada yang sampai menginap beberapa hari di rumah saya untuk ziarah,” ucap Ruwadi yang sehari-hari juga bertani dan menjadi kusir andong.

Cerita gaib juga dituturkan Ruwadi terkait dengan kedatangan sosok berpakaian adat Jawa dan berjenggot panjang yang menyebut diri bernama Kiai Nasyir, dalam mimpinya pada awal 1980, sebelum Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah meminta dirinya menjadi penjaga reruntuhan Candi Retno.

Lelaki tua itu, mengaku mendapat pesan dari sosok bernama Kiai Nasyir, tentang tugas yang harus diemban sebagai penjaga situs tersebut. Ruwadi akan mengakhiri tugas sebagai juru kunci Candi Rento pada akhir Februari 2015 untuk selanjutnya tanggung jawab tersebut diwariskan kepada seorang anak lelakinya.

“‘Sampun dangu, menika zaman Hindu. Mbah kulo mawon mboten ngertos’ (Sudah lama. Ini peninggalan zaman Hindu. Kakek/nenek saya saja juga tidak mengetahui kalau di tempat itu ada peninggalan candi, red.),” tuturnya.

Eka Pradhaning, alumnus jurusan tari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya pada 2005 yang belum lama ini performa gerak secara tunggal di beberapa tempat di Singapura itu, menjelaskan tentang performanya bersama Gepeng dan Agus di Candi Retno pagi itu.

Beberapa warga sekitar candi menyaksikan performa mereka dari luar pagar situs.

“Jangan sampai persoalan ribut-ribut (KPK-Polri, red) menjadikan negeri ini runtuh seperti peninggalan ini. Waktu akan mencatat dan membuktikan,” tukas Eka yang juga pengajar tari di salah satu sekolah swasta yang dikelola Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo Kabupaten Magelang, pimpinan K.H. Muhammad Yusuf Chudlori.

Eka yang mengenakan selempang dua kain, masing-masing warna merah dan putih, kemudian menyulut segepok dupa, lalu berjalan sambil memainkan performa gerak mengelilingi reruntuhan Candi Retno.

Gepeng mengambil topeng kayu dalam wujud antik dari yoni di pojok situs, lalu mengenakannya dan kemudian berjalan menyusuri kain panjang warna merah dan putih hingga bangunan candi.

Bende pun ditabuh secara beruntun oleh Agus dari sisi utara candi dan tembang macapat langgam Dandanggula dilantunkan Eka yang juga anggota Padepokan Seni Tjipta Boedojo Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang di kawasan lereng barat daya Gunung Merapi.

“‘Lamun durung kapadhaning kang sih. Dhuh kusuma tumaneming cipta. Kenong alit kang ngleter. Kapan anggonku gathuk klawan ingkang kusuma manis. Basa kawining udan ingkang reco kayu. Sanadyan piranga warsa. Dhuh wong agung. Janjimu kang ndak enteni. Murih tentrem raharja’,” begitu syair tembang yang dilantunkannya.

Kira-kira terjemahan bebasnya, “Kalau belum menemukan belas kasih. Duh penguasa yang tertanam kekuatan cipta. Kenong kecil yang datar. Kapan anganku sampai kepadamu. Bahasa pepatah hujan dan arca dari kayu. Meskipun bertahun-tahun. Duh penguasa yang mulia. Janjimu yang aku nantikan. Agar damai dan tenteram”.

“Sang waktu mengantar pemenuhan janji. Ibarat Batara Kala menuntun dan yang mengatur untuk menyelesaikan persoalan para elite, rakyat sabar menanti,” papar Gepeng.

Gepeng yang juga pengajar mata kuliah drama pentas untuk Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Tidar Kota Magelang itu, kemudian membacakan puisi berjudul “Membeli Waktu (Kepada Sang Penentu Bijak)” dari salah satu sudut reruntuhan Candi Retno.

“Kala jiwa-jiwa guncang di ujung resah, haru biru menikam segala rasa. Hendak ke mana kepastian mesti dianut, atas anak-anak bangsa. Pendamba ketenteraman di atas kejujuran dan keselarasannya. Jika di lalu waktu, aku menaruhkan rasa percaya, atas tuntas tegasnya. Singkirkan segala rintangan. Juga ketika padamu, aku punya harapan tentukan segala. Putus asa atas carut-marut dan kesimpangsiuran. Sebab engkau pun tahu dan cukup merasakan. Seperti halnya yang kami rasakan,” begitu sepenggal bait puisi itu.

Penggalan lainnya, “Maka kebijakan dan ketegasanmulah kini yang aku nanti. Jangan berlarut-larut kau biarkan kami terhampar ketidakpastian. Sebab kami tak mau menjadi lapuk dimakan waktu. Tak juga kami terlalu muram dikompromi oleh waktu. Seperti halnya engkau tak ubahnya saat ini, tengah membeli waktu”.

Performa “Membeli Waktu” yang mereka lakukan, juga terkesan mengingatkan semua pihak yang terlibat karut-marut perseteruan dua institusi negara dan semua komponen bangsa yang masuk dalam suasana batin gelisah serta prihatin, untuk memandang pentingnya menjaga “ruang suci negeri”.

Eka Pradhaning mewujudkan introspeksi “ruang suci negeri” itu dengan menempatkan sebatang demi sebatang dupa di antara reruntuhan bebatuan berlumur lumut Candi Retno.

Kedua kakinya bergerak di atas sebidang tanah licin di tengah reruntuhan situs, sambil menjaga keseimbangan gerak tarian tubuhnya, sedangkan kedua tangan Eka menengadah ke langit dan raut wajahnya bertafakur, seakan masuk dalam suasana batin sedang berdoa.

Lalu, dikalungkan kain panjang warna merah dan putih yang dikenakan dalam gerak performanya itu, ke leher Gepeng yang telah bergerak melewati reruntuhan candi, untuk kemudian berdiri di sebelah Eka.

“Di sini (Candi Retno, red.) pernah berdiri bangunan suci milik para kasta tertinggi. Tapi kalau sekarang negeri ini lupa ‘ruang suci’, kalau tidak ada kepastian dari para pengampu kekuasaan, tinggal puing-puing yang ada,” kata Eka Pradhaning. AN-MB