Mengapa seorang Penyelenggara Negara (PN) atau Pejabat Publik harus melaporkan harta kekayaannya? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa menengok jauh ke belakang pada masa Kekhalifahan Umar Bin Khattab (634-644 M). Umar bin Khattab mewajibkan para gubernur untuk mencatat dan melaporkan kekayaannya saat dilantik dan saat mengakhiri masa jabatannya. Hal ini agar dapat diketahui pertambahan kekayaan yang bersangkutan, apakah berasal dari sumber yang sah atau dari sumber yang terdapat potensi konflik kepentingan.

Pelaporan harta kekayaan, atau yang dikenal dengan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) mulai diberlakukan di Indonesia setelah diundangkannya Undang-undang No. 28 tahun 1999. Pelaporan harta kekayaan di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sebelum lahir KPK, dan bahkan sebelum KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara) berdiri di Indonesia sudah ada kewajiban untuk melaporkan kekayaan bagi pejabat publik.  Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pejabat negara di level tertentu diwajibkan untuk menyampaikan Daftar Kekayaan Pejabat (DKP) kepada atasan masing-masing. Sementara itu, di era Presiden Soekarno, terdapat Badan Koordinasi Penilik Harta Benda, yang mempunyai hak mengadakan penilikan/pemeriksaan harta benda setiap orang dan setiap badan.

Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), laporan harta kekayaan setidaknya memuat informasi mengenai aset yang dimiliki pejabat publik, penerimaan dan pengeluaran pejabat publik, penerimaan yang diterima pejabat publik, jabatan baik yang menghasilkan manfaat keuangan atau tidak dan identitas mengenai istri, saudara dan orang-orang yang memiliki hubungan dengan pejabat publik. LHKPN telah berkembang pesat menjadi isu etik dan antikorupsi global. Kewajiban lapor kekayaan diyakini penting oleh banyak negara sebagai media meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pejabat dan lembaga publik, serta untuk mendukung tercapainya tujuan pemberantasan korupsi yang efektif. Mekanisme pelaporan kekayaan adalah media yang memungkinkan pengawasan kejujuran, integritas, dan deteksi kemungkinan adanya tindakan memperkaya diri secara ilegal oleh pejabat publik.

Sejak diratifikasinya United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) lewat UU No. 7/2006 pada April 2006, maka menjadi langkah yang tepat untuk memperbaiki mekanisme pelaporan kekayaan PN baik dari sudut peraturan perundang-undangan, optimalisasi kewenangan yang ada, kapasitas kelembagaan, hingga kriteria dan prosedurpelaksanaannya. Jelas kewajiban lapor kekayaan diarahkan kepada para pejabat publik, baik yang merupakan pejabat negara yang dipilih (elected officials) maupun mereka yang menempuh karir dalam sistem birokrasi. Lantaran yang dibidik bukan hanya jabatan atau orang-orang yang mengisinya, melainkan juga kepentingan yang tercakup di dalamnya, kecenderungan untuk mengabaikan, membangkang, atau mengakali mekanisme pelaporan kekayaan, terus menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh lembaga yang diserahi tugas mengelolanya. Meski di sisi yang lain, kesadaran pejabat publik untuk mematuhinya juga mulai menguat dari waktu ke waktu.

Memastikan Kepatuhan
LHKPN memiliki peran ganda dari sisi pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi (TPK). LHKPN berperan sebagai instrumen sosial yang dibentuk oleh hukum dengan tujuan-tujuan tertentu, diantaranya untuk memastikan integritas para calon PN/pengisi jabatan publik;  menimbulkan rasa takut di kalangan PN untuk berbuat korupsi; menanamkan sifat kejujuran, keterbukaan, dan tanggungjawab (karakter etis) di kalangan PN;  mendeteksi potensi konflik kepentingan antara tugas-tugas publik PN dengan kepentingan pribadinya;  meningkatkan kontrol masyarakat terhadap PN;  dan menyediakan bukti awal dan/atau bukti pendukung bagi penyidikan dan penuntutan perkara korupsi.

PN yang tidak melaporkan kekayaannya secara benar, bisa diklasifikasikan sebagai tindakan pemalsuan. Pemalsuan yang mungkin dilakukan dalam pelaporan kekayaan bisa berupa menyembunyikan kekayaan tertentu, mengubah asal-usul kekayaan dari yang sebenarnya, dan  mengurangi nominal kekayaan tertentu secara sepihak. Karena pelaporan kekayaan dilakukan melalui suatu formulir resmi yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, maka pemalsuan terhadap laporan kekayaan masuk dalam kategori pemalsuan surat. Tindak pidana pemalsuan surat sesungguhnya telah diatur dalam KUHP Pasal 263 ayat 1 KUHP.

Kaitannya dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK perlu diberi kewenangan menyampaikan surat peringatan, merekomendasikan sanksi, termasuk menyediakan bukti-bukti pendukung bagi setiap bentuk pelanggaran yang dilakukan PN terhadap ketidakpatuhannya dalam melaporkan kekayaan kepada lembaga-lembaga terkait, seperti Kepolisian, Kejaksaan, atau Pimpinan lembaga negara/pemerintahan di mana PN menjabat.

Pengaturan semacam ini diterapkan di Amerika Serikat, di mana PN tidak patuh dalam melaporkan kekayaannya, maka Director Office of Government’s Ethics di lingkungan eksekutif, atau Komite Etik Kongres di lingkungan legislatif, atau Judicial Conference di lingkungan yudikatif harus segera melaporkan identitas PN yang tidak melaporkan kekayaannya kepada Jaksa Agung. Ethics in Government Act Amerika Serikat juga mewajibkan Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan Departemen, Komite Etik Kongres, dan Judicial Conference untuk memberhentikan atau mengambil sanksi hukum lainnya bagi PN yang tidak melaporkan kekayaan.

Guna menertibkan kegiatan laporan kekayaan PN, perlu diatur pula frekuensi pelaporan selama PN menjabat. Contoh di banyak negara, penentuan periode pelaporan kekayaan PN dilakukan setiap tahun. Hal ini dimaksudkan untuk menyeragamkan batas waktu pelaporan kekayaan kepada seluruh PN, tanpa harus bergantung pada tanggal pengangkatan PN yang justru menyulitkan pengadministrasiannya karena berbeda-beda antara satu PN dengan PN yang lain. Selain itu, periode satu tahun adalah periode yang lazim digunakan bagi kegiatan pembukuan keuangan, dan juga digunakan sebagai periode pelaporan kekayaan untuk kepentingan pajak, sehingga memudahkan PN untuk merekam perkembangan kekayaannya dan menyelaraskan aktivitas pelaporan kekayaan dengan aktivitas pelaporan pajaknya.

Berdasarkan laporan rutin Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan (PP) LHKPN KPK, per 31 Juli 2015 jumlah Wajib LHKPN sebanyak 248.291 PN. Dari jumlah tersebut yang telah melaporkan LHKPN sebesar 172.038, sehingga tingkat kepatuhan LHKPN secara nasional sampai dengan tanggal tersebut sebesar 69,29%. Berikut tabel kepatuhan LHKPN masing-masing lembaga negara:

Peran LHKPN dalam Pilkada
Dalam proses pemilihan Kepala Daerah secara langsung, LHKPN tidak hanya berfungsi dalam pencegahan dan penindakan, namun juga dapat dimanfaatkan oleh publik sebagai salah satu mekanisme untuk menilai kejujuran dan integritas calon kepala daerah. Disamping itu, juga untuk meningkatkan transparansi dan kepercayaan masyarakat dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, dengan cara membuka informasi mengenai harta calon kepala daerah untuk menunjukkan bahwa tidak ada harta yang disembunyikan.

Pelaporan harta kekayaan juga berfungsi untuk mengawasi harta kekayaan calon kepala daerah, dengan harapan untuk secara persuasif mencegah mereka dari penyimpangan perilaku, melindungi mereka dari tuduhan palsu, dan juga untuk membantu memperjelas ruang lingkup illicit enrichment atau aktivitas ilegal lainnya melalui peran pelaporan harta kekayaan sebagai bukti pendukung.

Dengan demikian, LHKPN diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin yang terpilih. Kepercayaan publik terhadap integritas pemerintah meningkat karena pelaporan harta kekayaan dapat memberikan sinyal bahwa potensi korupsi oleh  kepala daerah dapat diawasi sejak dini.

Sumber : Portal Pengetahuan Antikrupsi