Rapat pleno Komisi Keadilan dan Perdamaian (KKP), Migran Perantau di Kuta, Senin
Rapat pleno Komisi Keadilan dan Perdamaian (KKP), Migran Perantau di Kuta, Senin (11/9).
Kuta, (Metrobali.com)-
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menyerukan penolakan terhadap hukuman mati yang masih berlaku di Indonesia. Hal ini disampaikan Sekretaris Eksekutif KKP Romo Siswantoko saat rapat pleno Komisi Keadilan dan Perdamaian (KKP), Migran Perantau di Kuta, Senin (11/9).
Menurutnya ada beberapa alasan mengapa hukuman mati ditolak oleh pihaknya. Pertama, di mana pun dan dalam agama apa pun, hanya Tuhan yag berhak mengambil nyawa manusia, karena Tuhanlah yang memberikan nyawa kepada manusia.
Kedua, banyak pengadilan sesat yang dilakukan karena terjadi jual beli kasus dan pasal yang dikenakan karena uang bisa membuat segala-galanya termasuk jual beli pasal.
Ketiga, terkait dengan kejahatan narkoba, hukuman mati bukan solusi untuk mencegah praktek jual beli narkoba. Buktinya, narkoba tetap ada, dan bahkan fakta di lapangan narkoba malah dipasok dari penjara.
“Membunuh orang sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Ada cara lain yang lebih manusiawi namun efektif memberantas tindakan penyalahgunaan narkoba,” ujarnya didampingi Ketua Flobamora Yusdi Diaz di Kuta, Senin (11/9).
Sementara KKP KWI mengambil tema “Berani Menjadi Gereja yang Terluka dalam Beradvokasi”. Tema ini dijabarkan dalam beberapa sub tema yang lebih spesifik dan menukik kepada persoalan nyata dalam kehidupan menggereja, berbangsa dan bernegara.
Pertama, soal lingkungan hidup. KKP KWI dalam kajiannya melihat bahwa alam sudah mulai rusak, baik oleh bencana alam maupun oleh eksploitasi secara berlebihan oleh manusia yang tidak bertanggung jawab. KKP KWI sudah melakukan berbagai langkah nyata dalam menyelamatkan alam.
Kedua, human traficking atau perdagangan manusia. Kasus ini justeru menimpa kantong-kantong kemiskinan di berbagai daerah di Indonesia. Anak-anak dari keluarga miskin direkrut kemudian dieksploitasi, dijadikan pekerja seks, atau pekerja yang tidak mendapatkan upah. Bali misalnya, saat ini sudah menjadi daerah tujuan dan transit untuk masalah perdagangan manusia.
“Contohnya banyak orang NTT, terutama dari Kupang, Flores yang akhirnya harus menjadi kuli dengan upah yang tidak layak. Mereka harus mendapatkan perhatian dan penanganan tersendiri,” ujarnya.
Ketiga, kekerasan yang cukup rawan baik secara horisontal antarmasyarakat dan oleh individu dalam masyarakat. Konflik ini bisa menimbulkan pertumpahan darah dan keresahan sosial dalam masyarakat.
Keempat, bagaimana mengadvokasi seluruh persoalan yang disebutkan tadi dalam praktek nyata. Dari tiga masalah diatas sudah pasti akan ada yang menjadi korban. Bila sudah ada korban makan diperlukan advokasi. Gereja harus bersedia mengadvokasi berbagai persoalan sosial yang merongrong kehidupan masyarakat.
“Disinilah peran gereja yang sesungguhnya bahwa gereja harus berani menjadi yang terluka dalam mengadvokasi orang atau korban. Tema ini terinspirasi dari Paus Fransiskus yang mengatakan, saya lebih senang gereja yang kotor karena pergi melayani orang daripada berdiam diri dalam gereja,” ujarnya.

Menurutnya, selama ini KKP KWI fokus advokasi. Salah satunya adalah dengan cara pelatihan para lega bagi, guru, ibu rumah tangga, dan siapa pun. Selama 3 tahun ada 12 keukupan dan setiap pelatiahn 40 orang. Sekalipun mereka tidak paham hukum namun minimal para peserta paralega tersebut mengetahui bagaimana melakukan tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Advokasi lain adalah kasus narkoba di PN Jakarta Barat. Kemudian kasus perkosaan anak dibawah umur yang terjadi di Ruteng NTT, dimana sudah diputuskan bersalah namun karena Jaksa tidak mau mengeksekusinya maka penjara 10 tahun tidak dijalankannya. Setelah diprotes, hingga ke Jaksa Agung maka pelaku akhirnya ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.

Rapat Pleno KKP Migran Perantau KWI turut dihadiri oleh Wakil Bupati Badung I Ketut Suiasa, hadir pejabat KKP dari 36 keuskupan di Indonesia yang digelar di Kuta Bali mulai tanggal 11-15 September 2017.  Sementara peserta rapat pleno terdiri para pastor, rohaniwan, para suster, tokoh masyarakat, tokoh agama dan umat katolik lainnya.SIA-MB