Denpasar (Metrobali.com)-

Gubernur Bali Made Mangku Pastika mendorong adanya upaya nyata dari tokoh-tokoh agama dan berbagai pihak untuk memantapkan pelaksanaan “tattwa” atau filosofi agama Hindu dengan benar supaya tidak memberatkan umat.

“Mari kita laksanakan agama dengan benar, jangan meng-agama-kan tradisi tetapi mari kita tradisikan agama, artinya agama tetap harus jadi pokok dan pegangan,” katanya dalam diskusi terbatas seputar masalah keagamaan di Denpasar, Kamis (24/10).

Dia berharap supaya para tokoh agama bisa memberi pencerahan agar umat Hindu melaksanakan dharma (kewajiban) agama sesuai dengan kemampuannya.

Membuka acara diskusi, Pastika mengaku tergelitik dengan tulisan wartawan senior Raka Santri yang mengulas tentang keagamaan, yang intinya dalam tulisan itu yadnya (persembahan suci) jangan sampai memberatkan, apalagi harus berutang.

Menurut dia, hal itu sejalan dengan pemikirannya sejak dulu. “Saya yakin, banyak tokoh maupun umat yang punya pemikiran yang sama. Hanya saja kita jadi tak berdaya ketika terjun ke masyarakat. Ritual yang dilaksanakan tanpa menyesuaikan dengan kemampuan akan menjadi beban bagi umat dan tak sesuai dengan intisari ajaran agama Hindu,” ujarnya.

Sementara itu, sulinggih (pendeta Hindu) Ida Pandita Empu Jaya Prema Ananda menyambut positif ide Gubernur Bali menggelar diskusi keagamaan tersebut.

Sulinggih ketika sebelum menjadi pendeta bernama Putu Setia ini dikenal aktif memberi pencerahan melalui tulisan yang dimuat di media lokal dan nasional. Hingga dinobatkan sebagai sulinggih, dia terus memberi pembinaan pada umat.

“Sulinggih itu tidak mesti hanya fokus pada tugasnya muput karya (memimpin ritual), tetapi juga wajib memberi pencerahan dan pembinaan pada umat,” katanya.

Dia menyadari upaya memberikan pencerahan untuk menyederhanakan ritual bukanlah hal yang mudah, karena ada kesan bahwa umat masih terjebak pada tradisi masa lalu yang identik dengan ritual besar-besaran.

Padahal jika mengacu pada kitab suci, agama Hindu sama sekali tidak membebani umatnya. “Sebenarnya sudah ada dasar sastranya kalau yadnya (persembahan suci) itu disesuaikan dengan kemampuan, maknanya tetap sama,” katanya.

Hal senada dikatakan Ida Rsi Bujangga Waisnawa Putra Sri Satya Jotir. “Saya sangat antusias dengan diskusi ini karena sudah menjadi pemikiran saya sejak dulu. Ada empat kunci dalam memantapkan tattwa agama yaitu pendeta, tukang banten, prajuru (pengurus) adat dan pelaku yadnya. Semua pihak harus tahu fungsi dan makna sesajen dan ritual yang dilaksanakan,” katanya.

Ia menandaskan, persembahan dan ritual dalam Hindu bertujuan untuk membuat umat bahagia. Kalau setelah melaksanakan ritual justru malah stres memikirkan utang berarti tujuan yadnya tak tercapai. AN-MB