Pembukaan Pesta Kesenian Bali 2016 di Art Centere

Acara pembukaan Pesta Kesenian Bali ke-38 di Art Centere, Sabtu (11/6).

Denpasar (Metrobali.com)-

Pesta Kesenian Bali (PKB) adalah sebuah peristiwa tahunan masyarakat Bali yang dicanangkan oleh Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, Gubernur Bali periode 1978-1988 yang menjadikan PKB sebuah strategi pembinaan dan pengembangan seni budaya Bali. Sejak dicanangkan pada tahun 1979, PKB telah terbukti memberi manfaat yang sangat besar bagi masyarakat Bali, tidak saja menjadikan seni budaya hidup dan berkembang dengan jiwa baru, tetapi juga memberikan kesejahteraan material dan spiritual kepada masyarakat Bali. Melalui PKB telah lahir bentuk-bentuk karya seni kreatif dan inovatif yang memiliki kualitas ekonomi tinggi dan menjadikan modal utama pengembangan ekonomi kreatif Bali, terbukti bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara ekonomis pula.

Dalam peradaban global terkini ragam media informasi merupakan gerbang utama menjadikan masyarakat sadar budaya, media juga bisa membangun masyarakat menjadi “sadar informasi.” Bali kini sudah menjadi “global village,” tetapi tanpa informasi yang terus menerus, masyarakat Bali niscaya akan tertinggal dan terasing dari masyarakat dunia global. “Kekuatan Bali dalam bidang seni dan budaya, dan PKB wahananya, seyogianya terus dibumikan lewat media ke dunia internasional secara terus menerus tanpa pernah terputus,” tegas Prof. Dr. I Made Bandem, sebagai Budayawan, yang juga anggota tim kurator PKB selama ini.

Melalui pujian, kritikan, dan sentilan serta pencerahan dari media, tulisan, dan ulasan para wartawan kepada para seniman, budayawan, dan Panitia Penyelenggara tentunya dapat membantu masyarakat luas untuk meningkatkan dan mempertebal kecintaannya kepada seni dan budaya, yang akhirnya berpulang kepada sebuah kesadaran yaitu “kesadaran budaya.” Pencetus gagasan PKB ini selalu menekankan kepada para seniman dan budayawan kreatif, bahwa kebesaran sebuah peradaban bangsa dapat diukur dari keunggulan seni dan budayanya. PKB dan kebudayaan Bali bisa menjadi bukti peningkatan harkat dan kebesaran Pulau Bali.

Ide revolusi mental yang disampaikan Presiden Joko Widodo, merupakan langkah strategis membenahi pelaksanaan PKB ke depan sebagai upaya memelihara identitas budaya, yang seringkali dihadapkan dengan persoalan yang mahabesar. Diantaranya, intervensi budaya yang tidak selalu sejalan dengan kearifan lokal, dan juga krisis identitas, serta tekanan politik elite dan kebijakan penguasa yang kurang apresiatif terhadap sektor penopang utama dari pelestarian dan pengembangan seni-budaya Bali. PKB diharapkan makin memperkokoh Bali sebagai pusat wisata, pusat budaya, pusat kreativitas, dan jembatan antarperadaban dunia. Bali sekarang ini bukan hanya jadi kebanggan masyarakat Bali dan kebanggaan bangsa, melainkan sangat dicintai dan dikagumi oleh masyarakat dunia.

Oleh sebab itu, sudah menjadi tanggung jawab bersama dalam menjaga identitas kebangsaan dan kebudayaan bangsa agar tidak tergerus arus budaya global. PKB sebagai ajang apresiasi seni-budaya bangsa tidak hanya menyuguhkan kreativitas seni dan budaya tradisional, melainkan juga seni pertunjukan modern dan kontemporer. Mengingat seni-budaya tidak statis, tetapi sangat fleksibel dan terus hidup dan berkembang seiring dengan situasi dan kondisi masyarakat. Implikasinya, jika ide revolusi mental ini tidak ditindaklanjuti dengan sungguh-sungguh dan menjadi spirit dari semua program pemerintah ke depan, maka agenda kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal seperti PKB akan kehilangan identitasnya, ruh dan taksunya di tengah peradaban budaya dunia.

Dalam konteks ini, agenda kebudayaan seperti PKB harus senantiasa dievaluasi secara cerdas dan kritis sesuai konteks kekinian untuk menginventarisir beragam persoalan, tantangan dan harapan ke depan dalam rangka tajuk besar revolusi mental menuju kerja kebudayaan yang lebih masif, terarah, dan berkelanjutan dalam upaya melakukan pencegahan, dan pemberantasan korupsi mental, atau korupsi karakter, sekaligus sebagai wahana pembinaan generasi muda, pembinaan wanita, pembinaan masyarakat, termasuk pembinaan masyarakat profesi (seniman), serta kerjasama pelaku media menuju kesatuan budaya bangsa dan peradaban budaya dunia.

Terlebih lagi, PKB merupakan media dan sarana untuk menggali dan melestarikan seni-budaya serta meningkatkan kesejahteraan. Penggalian dan pelestarian seni-budaya meliputi filosofi, nilai-nilai luhur dan universal, konsep-konsep dasar, warisan budaya, baik benda atau bukan benda yang bernilai sejarah tinggi, ilmu pengetahuan dan seni sebagai representasi peradaban serta pengembangan kesenian melalui kreasi, inovasi, adaptasi budaya dengan harapan agar tetap hidup dan ajeg berkelanjutan dalam konteks perubahan waktu dan zaman serta dalam lingkungan yang selalu berubah.

Dengan adanya hegemoni negara (pemerintah) atas etnisitas kebudayaan melalui kebijakan dalam pelaksanaan PKB selama ini telah melahirkan etnisitas budaya premanisme di tengah masyarakat. Bahkan, secara perlahan semakin mengakar dan mendarah daging dengan berlindung dibalik kekuasaan dari desa Pakraman. Sehingga, terkesan hegemoni budaya massa semakin melunturkan adiluhung budaya tinggi dalam kesadaran kritis terhadap pelaksanaan PKB, demi pencapaian kesejahteraan.

Karenanya, amatlah menarik untuk meninjau–rumusan yang disampaikan dalam laporan Kompas tentang “etnisitas” yang di(re)konstruksikan oleh negara dengan “etnisitas” yang terkonstruksikan akibat dinamika masyarakat sendiri dari generasi ke generasi. Atas dasar itulah, sepertinya reaksi-reaksi ketidakpuasan kelompok-kelompok masyarakat yang dibungkus oleh sentimen etnisitas melalui media massa terhadap kebudayaan dalam pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) yang sudah diselenggarakan selama 32 tahun menjadi sangat menarik untuk dievaluasi secara holistik dan komperhensif.

Sehingga, pelaksanaan PKB mampu mengungkap korelasi antara teks, konteks, dan realitas dari proses transformasi, partisipasi, dan keterlibatan aktif para pelaku sosial dalam perencanaan dan kebijakan pembangunan bidang seni budaya, dan media massa cetak Bali secara transparan dan akuntabel, demi mencapai tujuan pembebasan manusia dari keterpinggirannya, sesuai cita-cita peradaban kebudayaan Bali. Selain itu, sebagai upaya konkret kaum intelektual (budayawan, seniman, akademisi, praktisi) dalam memberikan proses pencerahan dan emansipatoris yang dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi sosial-budaya melalui suatu proses ilmiah yang bersifat damai dan nonkekerasan.

Di samping itu, tentunya untuk meningkatkan hubungan publik yang antivatif dan simpatik dalam upaya membangun kekuasaan yang bersinergis, sehingga memicu tumbuhnya masyarakat dengan karakter kolektif yang santun, damai, dan bermoral. Dalam upaya strategis mencegah pengaruh negatif arus seni budaya global terhadap pola perilaku masyarakat terhadap proses pelestarian dan pengembangan seni budaya baik tradisional, klasik, modern, maupun kontemporer. Sehingga terbangun diplomasi pers dan budaya yang kuat dalam membangun sikap kritis terhadap idialisme antara media massa dengan pemerintah (kekuasaan) bagi pelestarian dan pengembangan seni budaya Bali sebagai pusat kebudayaan dunia.

Karang Awak: Mencintai Tanah Kelahiran

PKB yang berlangsung sebulan penuh (Juni-Juli), yakni 11 Juni – 9 Juli 2016 adalah miniatur praktik kebudayaan Bali di mana kesenian adalah salah satu bagian pentingnya. Jangan lupa, kebudayaan bagi orang Bali adalah darah dan jiwa. Mereka menganggap kebudayaan adalah identitas, mungkin juga ideologi. Kebudayaan, lebih-lebih keseniannya, adalah cultural focus masyarakat Bali. Belakangan, dalam konsepsi Bourdieu, kesenian menjadi culturalcapital yang ditransformasikan menjadi economic capital dalam kehidupan bisnis pariwisata yang ada dengan nama pariwisata budaya. Karenanya, kinerja mengonstruksi PKB agar penyelenggaraannya dapat berjalan baik dan lancar, serta efektif, dan berbudaya sesuai tema payung visi, dan misi serta politik kebudayaan bangsa, demi upaya meningkatkan pelestarian dan pengembangan keragaman seni-budaya warisan adiluhung bangsa yang kaya pesona etika dan estetika membutuhkan kerja kebudayaan bangsa yang cerdas dan kreatif di tengah peradaban budaya dunia.

PKB dan Kebudayaan Bali pada hakikatnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi yang bersumber dari ajaran Hindu dengan dilandasi konsep universal, seperti Rwa Bhineda yang ditentukan oleh faktor ruang (desa), waktu (kala), dan kondisi riil manusia di lapangan (patra), sehingga kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh dari arus negatif budaya global yang cenderung bersifat sekuler dan materialistis. Di samping itu, kebudayaan Bali juga dilandasi konsep universal Tri Hita Karana yang menjadi nilai dasar kehidupan masyarakat Bali dalam meneguhkan jati diri atau identitas kearifan budaya lokal melalui hubungan dinamis dan harmonis dengan Tuhan (parhyangan), dan sesama (pawongan) serta lingkungan (palemahan) demi mencapai kesejahteraan lahir dan batin.

Dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep universal berupa Tri Semaya yang menjadi persepsi masyarakat Bali terhadap waktu, yakni masa lalu (athita), masa kini (anaghata), dan masa mendatang (warthamana), yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan sekarang ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang, yang tercermin dalam ajaran hukum karmapala tentang sebab akibat suatu perbuatan. Kebudayaan Bali juga memiliki identitas yang termanifestasi secara konfiguratif yakni budaya ekspresif yang mencakup nilai-nilai dasar seperti nilai religius, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni, dan nilai keseimbangan sebagai daya tahan masyarakat Bali dalam menghadapi berbagai tantangan.

PKB merupakan sebuah perhelatan seni-budaya Bali yang telah berlangsung sejak 1979 hingga sekarang dalam diri masyarakat Bali yang dinamis, kreatif, dan transformatif. Kebudayaan Bali telah menjadi salah satu kontributor penting bagi kebudayaan bangsa dan bahkan acapkali mewakili wajah budaya bangsa yang tetap eksis dengan nilai tradisinya. Namun, dalam era Reformasi tahun 1999 hingga era tahun 2000-an sekarang ini telah terjadi perubahan di tengah kehidupan masyarakat sebagai efek dari interaksi kultur berbagai bangsa di seluruh dunia dalam industri pariwisata budaya global.

Konsep ini pula yang melandasi penentuan tema PKB selama ini dan lima tahun ke depan, yakni periode 2016-2020 mendatang, yang mengusung tema payung adalah Pasuk Wetuning Bhuwana: Menjaga Sinergisitas dan Keseimbangan Semesta. Selanjutnya, dijabarkan dalam subtema pokok tahunan seperti Karang Awak: Mencintai Tanah Kelahiran, Ulun Danu: Melestarikan Air Sumber Kehidupan, Api Dharmaning Koripan: Memberdayakan Energi Semesta, Bayu Pramana: Memuliakan Sumber Daya Angin, dan Akasacara: Menjelajah Angkasa Membangun Dunia Maya.

Penentuan dan perancangan tema PKB ini tentunya berdasarkan delapan faktor strategis, di antaranya yaitu: (1) faktor historis, adalah peristiwa-peristiwa sejarah yang diperingati pada tahun bersangkutan; (2) faktor kecenderungan, yakni arah dinamika kesenian dan budaya Bali ataupun perilaku masyarakat yang progresif dan mengglobal; (3) faktor momentum, yakni momen-momen penting dan strategis yang terjadi pada tahun bersangkutan, misalnya Pileg dan Pilpres; (4) faktor teks filosofis, yakni sumber teks yang dijadikan pemahaman dasar estetik dan filosofis; (5) faktor makna humanis, yakni sejauh mana konsep tema dapat dimaknai dan memberi dampak kemanusiaan; (6) faktor kualitas, yakni bobot tema yang baik (bisa diterima oleh semua pelaku) dan benar (sesuai aturan/pakem); (7) faktor transformatif, yakni tema harus mampu ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk kegiatan Pesta Kesenian Bali; dan (8) faktor estetika-Inspiratif, yakni tema mampu menjadi sumber inspirasi estetik dalam penciptaan karya seni yang akan dipentaskan dalam Pesta Kesenian Bali.

Pada tahun ini, 2016 PKB mengusung tema Karang Awak, yang dimaknai sebagai upaya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mencintai tanah kelahirannya. Di mana, tema ini mengejawantahkan ataupun mentrasformasikan konsep filosofi dan nilai-nilai kearifan lokal yang terformat dalam program PKB, seperti pawai, pagelaran, parade dan lomba, workshop kewanitaan, lokakarya dan serasehan, pameran, serta dokumentasi dan publikasi. Diharapkan melalui program PKB ini upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya bangsa berbasis kearifan lokal dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menjaga tanah kelahirannya dengan ragam kekayaan budaya sebagai modal sosial kultural merajut apresiasi dan kecintaan masyarakat terhadap budaya dan produk dalam negeri yang bersifat kasat mata (tangible) maupun tidak kasat mata (intangible).

Dalam pelaksanaan PKB ke-38 tahun ini, Pemerintah Provinsi Bali telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 7,43 miliar lebih, di antaranya sebesar Rp 2 miliar untuk sekaa kesenian, dan Rp 5 miliar lebih untuk kegiatan seksi-seksi tim pembinaan, konsumsi, publikasi, dan pendukung lainnya. Diharapkan, kerja kebudayaan yang dikonstruksi dalam PKB tentunya dituntut mampu mencerminkan era reformasi berbasis revolusi mental dan dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya di tengah peradaban dunia dengan kemajuan teknologi serba canggihnya. Mengingat, kepribadian mental bangsa saat ini kecenderungan berwatak korup yang telah bertransformasi, artinya ikut mengalami reformasi. Di antaranya, semua bentuk penyembunyian fakta dan informasi, perekayasaan berita, atau bahkan manipulasi kebenaran, yang berlandaskan kepentingan—bukan kebijaksanaan, termasuk pencurian uang negara, dan bahkan kasus yang direka demi tujuan politik.

Dalam konteks ini, mental korup sebagai kepribadian bangsa yang melahirkan watak pragmatis, hipokrit, permisif, reaktif, mudah pesimis, tidak menghargai proses, curang, culas, sengkuni dan akhirnya yang terpenting hanya kesan dan pencitraan. Bahkan, dalam perwujudannya seringkali menghalalkan segala cara, dari yang paling halus sampai yang brutal, dari jalan yang nyata hingga jalan ghaib yang irrasonal. Di mana, watak korup yang acapkali terjadi dalam pencitraan PKB selama ini dan bahkan telah menjadi rahasia publik tanpa sadar senantiasa selalu mengegemoni kinerja cerdas dan kritis dari kerja kebudayaan dalam hal ini Dinas Kebudayaan Provinsi Bali sebagai panitia penyelenggara, yang dianggap kurang profesional dan tak punya komitmen kuat dalam melaksanakan agenda reformasi, yakni revolusi mental dalam birokrasi pemerintahan sesuai visi dan misi PKB untuk mencetak karakter bangsa berbudaya dan bermartabat.

Adapun mental korup itu, di antaranya aksi premanisme (pemaksaan kehendak) dan praktik pungutan liar (pungli) berbasis ego sektoral berlabel otonomi kebablasan yang mengokupasi infrastruktur publik untuk memenuhi hasrat keinginan pribadi maupun kelompok maupun golongan tertentu, seperti ruas jalan raya, trotoar, dan kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, dan fasilitas publik lainnya untuk parkir komersial berkedok desa Adat/Pakraman yang berlangsung secara masif, terstruktur dan sistemik.

Mental korup dengan perilaku rakus tersebut dapat terjadi karena sistem atau aturan pemerintah dan dapat juga terjadi karena tatanan sosial masyarakat yang berubah. Perilaku rakus berdampak negatif pada tatanan kehidupan masyarakat sehingga pemahaman bertetangga, berbangsa, dan beragama, serta berbudaya perlu penataan yang reformis. Padahal, sejatinya hakikat kehidupan ini bukan sekadar ritus perjalanan untuk menguasai segalanya dengan berbagai cara dan bahkan mengabaikan aturan dan ketentuan hukum berasaskan demokrasi Pancasila dalam berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat hanya demi kepentingan desakan ekonomi semata tanpa kesadaran hati nurani yang berbudaya dan bermartabat.

Sebagaimana disebutkan dalam dokumen Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2009 bahwa, nilai-nilai utama yang dijadikan target dalam pendidikan karakter bisa bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Begitu pula seni budaya dengan ragam kesenian yang dikonstruksi dalam PKB diharapkan dapat mencetak karakter bangsa yang berkepribadian dalam kebudayaan dan berdaya saing global. Adapun delapan belas nilai tersebut yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

Kegiatan PKB yang berlangsung selama sebulan penuh, mulai 11 Juni – 9 Juli 2016 ini menyajikan sekitar 88 jenis kesenian unggulan, di antaranya 68 jenis kesenian dari kabupaten/kota se-Bali; dan 9 jenis kesenian berasal dari luar daerah, yaitu: Disbudpar NTT, Disbudpar Kota Magelang (Jawa Tengah), Surakarta (Jawa Tengah), Disbudpar Kabupaten Sleman (Jawa Tengah), Disbudpar Kabupateng Bandung (Jawa Barat), Kabupaten Blitar (Jawa Timur), Sanggar Seni Apau Punyaat (Kalimantan), The Indonesian Kroncong Center (Jakarta), dan Disbudpar Bangka Balitung; dan 11 jenis kesenian berasal dari luar negeri, yaitu: Hainan People Republik China, Consulate General of Timor Leste, Sanggar Wiarihita (Jepang), University of Essex (England), Lata Pada Mississauaga Ontario (Canada), Lana Wisdom School Thailand, Konsulat General India, The Group Gita Semara (Amerika), Kedutaan Besar Prancis, Marimba Maki (Jepang), dan Oriental Fussion Trio.

Ragam kesenian unggulan kabupaten/kota tersebut, di antaranya yang dilombakan seperti Seni kerajinan, Nyastra, Melukis, Taman Penasar (kecuali Buleleng yang Absen), Baleganjur, Gender Wayang Anak-Anak, Drama Gong, dan Topeng Bondres (kecuali Jembrana yang Absen), dan dokumentasi terdiri atas film dokumenter dan cerita pendek; Sedangkan, yang diparadekan yaitu Wayang Ramayana Tingkat Anak-anak (kecuali Bangli dan Buleleng yang Absen), Gong Kebyar Anak-anak, Gong Kebyar Dewasa, Gong Kebyar Wanita, Topeng Panca, Arja, Ngelawang, Joged Bumbung, Tari Rekonstruksi (kecuali Jembrana yang Absen), Tabuh Klasik Ciri Khas Kabupaten/Kota (kecuali Tabanan yang Absen), dan Kesenian Inovasi (kecuali Tabanan, Bangli, dan Klungkung yang Absen).

Sementara itu, stan pameran dalam PKB tahun ini masih sama dengan tahun sebelumnya, yang ditangani oleh Disperindag Provinsi Bali dan stan kuliner ditangani Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali. Di antaranya stan pameran di bawah Gedung Ksirarnawa sebanyak 87 unit dengan harga sewa masing-masing Rp 6 juta, di bawah panggung Ardha Candra sebanyak 46 unit dengan sewa setiap stan Rp 12 juta, di parkir barat Ksirarnawa sebanyak 26 stan dengan biaya sewa Rp 5 juta setiap stan, serta stan Dekranasda sebanyak 10 unit dengan biaya sewa Rp 5 juta setiap stan, dan terakhir stan kuliner sebanyak 28 unit dengan biaya sewa masing-masing Rp 5 juta.

Seperti biasanya sebagai prosesi awal PKB dimeriahkan dengan atraksi budaya berupa pawai kesenian yang berlangsung siang hingga sore hari di Depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali (MPRB) dilepas oleh presiden Joko Widodo yang ditandai pemukulan kulkul dengan melibatkan sekitar lima belas ribu seniman seluruh kabupaten/kota se-Bali, dimulai dari prosesi gamelan ketug bumi (pengembangan gambelan Adhi Merdangga), mengiringi tarian kebesaran PKB yakni Siwa Nataraja serta didukung seniman partisipan dari kontingen luar daerah seperti Nusa Tenggara Timur dengan musik sasando dan tari Likurai, serta kontingen luar negeri seperti India dan Perancis, Timor Leste, dan dipungkasi oleh persembahan marching band kampus Unud Denpasar. Diselingi gamelan Jegog (Jembrana) di posisi start pawai (ujung selatan Jl. Ir Juanda); Gong Gede, di panggung kehormatan (depan gedung MPRB); dan Gong Semara Pagulingan di posisi finish, depan Kantor Keuangan Negara, serta dimeriahkan Joged Bumbung sambil menunggu undangan kepresidenan yang datang terlambat hingga satu setengah jam dari agenda yang telah ditetapkan. Namun, sebagai sebuah kejutan, presiden pun secara khusus berkesempatan berpawai bersama seniman dalam pawai PKB tahun ini,

Dalam sambutan singkatnya presiden Joko Widodo menyapa masyarakat dengan bahasa Bali, yakni punapi gatrane, disambut becik masyarakat, becik (seru penonton), becik, mogi para semeton rahajeng sareng sami, saya gembira pada sore hari ini bisa berada di sini, di pulau dewata, di Bali, dan momentum kali ini, PKB ke-38, sangat ditunggu tunggu rakyat, masyarakat dan turis-turis manca negara. Bagi saya PKB bukan semata-mata pesta rakyat, ataupun festival seni, melainkan suatu kegiatan yang memiliki fungsi budaya, memiliki fungsi pendidikan, dan juga memiliki fungsi menggerakkan ekonomi masyarakat, utamanya rakyat Bali. Dan, saya tahu yang menunggu sudah lama sekali, saya tidak ingin berpanjang lebar, para semeton sareng sami, “Akhirnya saya memohon wara nugraha Ida Sang Hyang Widi Wasa, pawai PKB ke 38 tahun 2016 dibuka dan dimulai,” tegasnya.

Sementara, gubernur Bali menegaskan bahwa pawai PKB ke-38 tahun ini merupakan prosesi yang mengawali seluruh rangkaian pelaksanaan PKB tahun ini, yang merepresentasikan kekayaan dan kekhasan seni budaya masyarakat Bali, sesuai dengan tema PKB tahun ini, yaitu Karang Awak; Mencintai Tanah Kelahiran. Penampilan kesenian dalam pawai menggambarkan eksistensi kehidupan seni budaya masyarakat Bali, sebagai wujud ungkapan rasa cinta kepada tanah kelahiran, cinta kepada ibu pertiwi, cinta kepada bumi dengan segala isinya.

Kemudian, malam hari diadakan peresmian pembukaan PKB oleh menteri pendidikan dan kebudayaan Anies Rasyid Baswedan yang ditandai dengan pemukulan kulkul beserta diselingi penyerahan penghargaan Unesco kepada gubernur Bali, Made Mangku Pastika tentang sembilan tari Bali yang diakui dunia sebagai warisan budaya tak benda. Di antaranya tari Rejang Dewa dari Klungkung, Sang hyang Dedari (Karangasem), Baris Upacara (Bangli), Gambuh (Gianyar), Wayang Wong (Buleleng) Topeng Sidakarya/Topeng Pejengan dan Legong Kraton (Denpasar), Joged Bumbung (Jembrana), Barong Ket Kuntisraya (Badung). Dan, pelukis maestro Nyoman Gunarsa menyerahkan lukisannya kepada menteri pendidikan dan kebudayaan melalui gubernur Bali, Made Mangku Pastika.

Ajang pembukaan PKB tahun ini seperti biasanya juga diawali dengan serimonial tarian Bali Dwipa Jaya, dan dipungkasi garapan seni pertunjukan berupa sendratari kolosal persembahan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Markandya Bumi Sudha, serta diselingi penyerahan penghargaan. Sementara itu, pada saat penutupan dimeriahkan sendratari kolosal persembahan SMKN 3 Sukawati, Gianyar, Ciung Naga Basuki.

Dalam sambutannya, Anies Rasyid Baswedan, mewakili presiden Joko Widodo, mengatakan kekagumannya terhadap kebudayaan Bali yang disajikan dalam PKB ke-38 tahun ini. Katanya, kepada presiden, yang mengagumkan bukan saja mereka yang dipanggung, tetapi yang dipanggung menjadi jauh lebih hidup karena seluruh rakyat hadir mengapresiasi hingga tuntas. Bahkan, dia memuji bahwa Bali. Katanya, tak banyak tempat di dunia dimana ekspresi budaya benar-benar menjadi bagian dari kehidupan. Karena itu, baginya sebuah kehormatan untuk menghadiri PKB  tahun ini. Dia juga mengakui bahwa Bali dengan keindahannya selalu memberikan kecerahan bagi siapapun yang mengunjunginya. Walau telah sekian kali datang ke Bali, tapi setiap saat kita kembali, kita merasakan ungkapan yang sering diungkapkan di dunia, ketika dirimu memimpikan tempat yang indah, maka pasti itu namanya Bali. Alamnya indah tak menjadi pertanyaan, Indonesia mempesona dunia dengan keindahan alamnya, tapi yang tidak kalah penting, dari tempat ini (Bali,-red), terasa sekali bukan hanya alamnya yang indah, tapi budaya dan kebudayaannya yang mempesona.

Lebih jauh, dia menegaskan bahwa pesta kesenian yang dilaksanakan setiap tahun ini terasa bukan saja di Bali tapi juga terasa di berbagai tempat seluruh Indonesia, bahkan kali ini pesertanya dari berbagai penjuru dunia. Karena itulah, ditegaskannya, bahwa Bali bukan saja menjadi aset besar Republik Indonesia, tapi Bali adalah kekayaan dunia. Terbukti dengan adanya penyerahan sertifikat dari Unesco atas pengakuan sembilan tari Bali sebagai warisan budaya dunia tak benda. Baginya, sertifikat itu memberikan tanda otentik bahwa ada sembilan tari Bali yang resmi sebagai warisan budaya tak benda. Bukan hanya warisan budaya Indonesia, tapi warisan budaya dunia, yang telah diakui dunia. Diingatkannya, bahwa sertifikat ini bukan sekadar untuk pemerintah Bali, tapi adalah untuk perjalanan kebudayaan seluruh masyarakat Bali.

Tak hanya itu, Anies Rasyid Baswedan juga mengapresiasi tentang tema PKB tahun ini, yang menurutnya mengandung arti sangat mendalam. Baginya, siapapun yang disebut, siapapun yang melihat, siapapun yang membaca pasti akan membawa kita pada kenangan masa kecil di tanah tempat kita dilahirkan. Pesan dari tema membawa kita untuk lebih menyadari bahwa tanah air kita, tanah kelahiran kita, adalah tanah yang telah memberikan begitu banyak pada pertumbuhan kebudayaan, telah memberikan begitu banyak pada peningkatan kesejahteraan. Karena itu, marilah kita mengekspresikan kecintaan kepada tanah air dengan mengembalikan sebanyak-banyaknya untuk tanah air tercinta kita. pertanyaannya bukan apa yang bisa kita sumbangkan, tapi apa yang bisa kita kembalikan untuk tanah tercinta kita. Kita telah terima begitu banyak dari tanah ini, saatnya kita mengembalikan.

Lebih jauh, dia menegaskan bahwa Bali adalah bagian dari Indonesia dan Bali bagian dari dunia, dan globalisasi adalah fakta. globalisasi bukan masalah, globalisasi adalah fakta yang harus kita gunakan untuk menunjukan pada dunia, inilah kita, inilah budaya kita, dan tunjukan kepada mereka pengalaman-pengalaman berkebudayaan yang ada di tempati ini (Bali-red). Karena itu, baginya globalisasi seperti sebuah pohon. Dimana, pohon itu hanya akan bisa tinggi besar, jika akarnya tumbuh kuat di dalam. Dan, akarnya adalah kecintaan pada tanah air, akarnya kecintaan pada tanah kelahiran. Oleh karena itu, kita tumbuhkan akar itu, akarnya kecintaan pada tanah air, akarnya pada kecintaan budaya kita, tapi jangkauannya melampaui batas-batas teriori nusantara.

Baginya, ajang kesenian di Bali adalah wahana untuk menumbuhkan cinta pada tanah kelahiran, menumbuhkan cinta pada tanah air. Nilai-nilai luhur di Bali bukan hanya ditumbuhkan, tapi di tempat ini nilai-nilai itu ditubuhkan, ada proses internalisasi yang luar biasa. Tak banyak tempat di dunia yang bisa melakukan seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Bali. Ajang seni dan budaya semacam ajang untuk membangun karakter dan kemandirian. Bahkan, katanya, bapak gubernur menyebutkan jika memerlukan ribuan penari di Bali, cukup dibutuhkan dua hari untuk mengumpulkan itu semua. Karena di sini (Bali,-red) ekspresi seni adalah bagian dari keseharian. Sesuatu yang amat jarang ditemui, bukan hanya di Indonesia, tapi dibelahan bumi mana pun. Di bali ini kita melihat kesenian bukan semata-mata soal penghidupan. “Kesenian adalah kehidupan itu sendiri,” tegasnya.

Dalam konteks ini, lebih ditegaskan bahwa beragam program kesenian dalam PKB ini tentunya dapat berjalan dengan baik, dan lancar serta mampu menunjukkan kemanfaatan yang berlipat ganda bagi pembentukan karakter generasi emas bangsa dan kebudayaan bangsa dengan adanya upaya bersama menggugah kesadaran publik sebagai agen kebudayaan untuk melakukan kerja kebudayaan yang cerdas dan kritis dalam upaya menciptakan perubahan pola pikir, mentalitas, cita rasa dan selera masyarakat guna mendukung peradaban budaya bangsa di masa depan.(wb)