KESADARAN atas kuasa dari akan adanya kekuatan Tuhan dalam kehidupan ini senantiasa telah mengingatkan kita semua untuk merayakannya dalam renungan berbagai bentuk hari suci keagamaan seperti halnya perayaan hari raya Galungan dan Kuningan bagi umat Hindu.

Kesadaran semacam ini tentunya merupakan wujud nyata dari penguatan semangat spiritual religius sekaligus bahasa simbolik dalam pencapaian kebahagiaan hidup yang lebih baik dan menyejahterakan di masa datang. Dalam kesadaran ini pula kita semua dituntut untuk dapat memaknai setiap langkah dari lakon kehidupan secara holistik dan komprehensif, sehingga mampu menciptakan lingkungan hidup yang demokratis sesuai konsep ajaran universal dari Tri Hita Karana.

Di samping itu, kesadaran spiritual religius ini juga mengingatkan kita semua akan kutukan mahadasyat dari ikatan hukum karmapala dalam kehidupan, masa lalu, kini dan masa datang. Oleh karena itulah, kita semua hendaknya selalu berada dalam kesadaran dharma di setiap tindakan maupun perilaku hidup keseharian, sehingga dapat terhindar dari lingkaran kesadaran adharma dan mampu tampil sebagai pribadi berkarakter dan bermartabat serta bernilai guna manfaat bagi pembangunan bangsa dan negara.

Pada dasarnya, melalui kesadaran spiritual religius kita semua dituntut mampu melaksanakan nilai-nilai kebenaran yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 pada kehidupan ini. Namun, dalam kenyataan harapan itu acapkali hanya sekadar wacana dan sangat jauh dari kesadaran dharma, melainkan kecenderung lebih menonjolkan kesadaran adharma.

Faktanya, secara mencengangkan sistem demokrasi dan konstruksi hukum negeri ini mengalami badai tsunami mahadasyat dengan runtuhnya konstitusi kepemimpinan bangsa, di mana simbolisasi kenegarawanan menjelma menjadi koruptor dan tersandera dalam lingkaran kasus korupsi yang sangat sistemik di lembaga antikorupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Fenomena ini merupakan wujud keserakahan ataupun mabuk kemenangan dari para elite penguasa pemangku kebijakan yang kebablasan dalam melaksanakan tujuan profesional dari pengabdian politik hidupnya sebagai alat dari relasi kuasa pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan khalayak publik. Akibatnya, kesejahteraan rakyat yang begitu sederhana pun malahan sulit tercapai dan bahkan kesenjangan antara kaya dan miskin justru makin lebar.

Atas dasar itulah, khalayak publik menganggap kehidupan demokrasi yang telah bergulir hampir satu dekade lebih ini telah gagal menjalankan sistem politik kepemimpinan bangsa yang lebih baik dan menyejahterakan bagi kelangsungan hidup rakyat selama ini.

Beragam konflik kepentingan pun bahkan semakin merajarela, sehingga kesadaran membangun perdamaian dan toleransi dalam keragaman ataupun kemajemukan berbangsa dan bernegera makin terabaikan dan bahkan dapat memicu ketakutan yang berkecambuk secara berkelanjutan.

Celakanya, ini berarti daulat sipil telah gagal membangun proses penegakan supremasi hukum yang berkeadilan dalam alam reformasi ini, sehingga tindakan anarkisme makin memanas dan kecenderungan bahkan dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

 

Pintar tapi Bodoh

Bahkan, lebih ironis lagi edukasi budaya kreatif dalam politik kapitalisme globalisasi yang serbapraktis makin mengalami kemerosotan intelektual dan moralitas dari kesadaran dharma. Di mana upaya pemaknaan hari raya suci keagamaan secara konkrit belum sepenuhnya dapat direalisasikan sesuai dengan harapan bersama sebagai penguat dari kualitas hidup yang lebih baik dan menyejahterakan.

Para elite politik penguasa pemangku kebijakan mulai dari tingkat atas hingga paling bawah di desa pekraman termasuk bendesa adat dan jajarannya seperti kelian adat dan kelian dinas ditingkat balai banjar senantiasa masih sering mengabaikan ketentuan lembaga keagamaan, Parisada Hindu Dharma (PHDI) Bali yang telah menegaskan supaya tidak menyelenggarakan kegiatan pesta bazar atau penggalian dana yang identik dengan budaya minum-minuman keras (mabuk-mabukan,-red) saat umat Hindu merayakan hari raya suci keagamaan termasuk Galungan dan Kuningan.

Mengingat bahwa kegiatan bazar dapat menodai kesucian hari raya itu sendiri sekaligus melecehkan tata nilai adiluhung dari kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal Bali yang bersumber dari konsep universal ajaran Hindu. Apalagi, kegiatan bazar itu sampai menutup jalan raya (ruang publik,-red) sampai berhari-hari.

Jika kegiatan bazar terus terjadi setiap perayaan hari suci keagamaan berarti kaum terpelajar atapun intelektual di lingkungan masyarakat telah melakukan proses pembodohan secara ideologis, dan sekaligus penghancuran karakter bangsa. Ini karena kecerdasan dalam kesadaran dharma telah dikalahkan oleh kebodohan yang identik dengan kesadaran adharma. Dengan kata lain dapat disebut pintar tapi bodoh.

Perayaan hari raya suci keagamaan semestinya dimaknai sebagai media edukasi yang berorientasi pemaknaan filsafat dalam kehidupan masyarakat secara utuh dan menyeluruh dengan mengadakan kegiatan pesantian, dharma gita, dharma wacana, dharma tula dan lainnya, yang lebih menekankan pada proses edukasi yang komunikatif pada masyarakat.

Dalam konteks ini, pemaknaan hari suci keagamaan lebih pada penyadaran diri untuk menjadi pribadi yang unggul, mandiri dan kreatif serta memiliki jiwa kepemimpinan yang mengayomi kepentingan khalayak publik dan rela berkorban dalam membela kebenaran. Makanya, masyarakat harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari dunia pendidikan, agar memiliki kecerdasan pikiran dalam menjaga diri dan alam semesta demi taksu Bali.

Pemaknaan hari raya suci keagamaan pada dasarnya merupakan ujian kompetensi moralitas demi kualitas hidup yang lebih baik dalam penguatan ruh dan taksu Bali secara mendunia. Dalam konteks ini, artinya hari raya suci keagamaan tidak sekadar identik dengan prosesi serimonial upacara ritual semata, melainkan sebagai ajang introspeksi diri (mulat sarira) agar dapat melakoni kehidupan ini dengan lebih baik, dan tidak sia-sia hingga terjebak minum-minuman keras atau mabuk-mabukan dengan mengonsumsi arak oplosan atau arak methanol.

Pada intinya, yang paling utama dalam pemaknaan hari raya suci keagamaan adalah para elite politik penguasa pemangku kebijakan (pemimpin) di segala sektor kehidupan dituntut mampu menunjukkan dedikasi dan loyalitas serta komitmennya dalam mengayomi kepentingan khalayak publik, masyarakat luas secara konkrit dan berkelanjutan. Artinya, mampu menjaga ketahanan dan keutuhan tata nilai adiluhung ruh dan taksu Bali secara holistik dan komprehensif, sehingga jangan hanya hangat-hangat tahi ayam, ketika ada masalah baru sibuk berbuat dan mencari simpatik.

Dengan demikian momentum perayaan hari suci keagamaan termasuk Galungan dan Kuningan di tengah krisis keteladanan kepemimpinan bangsa dapat dimaknai pula secara utuh sebagai bagian penting dari proses uji kompetensi moral dalam mencapai kemuliaan hidup yang lebih baik untuk mewujudkan kemajuan pembangunan bangsa dengan mencetak para calon pemimpin bangsa yang ideal, berwatak rasional, jujur dan bersih serta bukan koruptor.

Sehingga, setiap perayaan hari suci keagamaan tidak dicap hanya sekadar sebagai kegiatan serimonial dalam wujud upacara atau ritual semata, melainkan secara konkrit bahkan mampu sebagai media penyadaran bagi setiap manusia menuju kemuliaan hidup yang lebih menyejahterakan.

Marilah kita bersama tingkatkan sradha dan bhakti kehadapan Tuhan demi taksu Bali secara mendunia sekaligus upaya menjaga kemajemukan dalam kebersamaan yang damai, dinamis dan harmonis serta menyejahterakan dengan keagungan kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal Bali dalam bingkai ke-Indonesia-an berdasarkan UUD’45 dan Pancasila yang Berbhinneka Tunggal Ika. “Selamat Galungan dan Kuningan”. WB-MB