Foto suasana pameran lukisan Endih Baturan yang digelar dalam “Pesta Kesenian Bali” (PKB) ke-40, yang berlangsung dari tanggal 23 Juni hingga 21 Juli 2018.

  • Denpasar (Metrobali.com)-
    Katalog “Endih Baturan: Membaca Kedalaman Seni Lukis Batuan” diluncurkan secara resmi di Gedung Kriya, Taman Budaya Bali, pada tanggal 10 Juli 2018 oleh Dr. Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  Republik Indonesia. Kegiatan ini merupakan rangkaian acara pameran seni lukis gaya Batuan“ yang digelar dalam “Pesta Kesenian Bali” (PKB) ke-40, yang berlangsung dari tanggal 23 Juni hingga 21 Juli 2018.
    Kata “endih” mengacu kepada nyala, api, cahaya, aura. Endih seringkali dikaitkan dengan perwujudan leak, ilmu mistik dari Bali. Biasanya, orang-orang yang menekuni ilmu kebatinan, sastra, ataupun kesenian, akan memancarkan endih (aura) yang kuat dari batinnya. Dalam konteks pameran ini, “Endih Baturan” bermakna “Cahaya dari Baturan”, mengacu kepada kedalaman, kekuatan, dan keunikan seni lukis gaya Batuan. Kata “Baturan” sendiri mengacu kepada nama lain Desa Batuan pada masa kerajaan.
    Pameran akbar yang melibatkan 36 pelukis dari Sanggar Baturulangun, Desa Batuan, Gianyar, ini dikurasi oleh Dr. Wayan Kun Adnyana dan Wayan Jengki Sunarta. Para pelukis yang berpameran adalah I Made Tubuh, I Ketut Murtika, Dewa Made Virayuga, Ida Bagus Putu Padma, I Dewa Nyoman Martana, I Dewa Nyoman Sudiana, I Gede Widyantara, I Gusti Ngurah Muryasa, I Ketut Balik Parwata, I Ketut Kenur, I Ketut Reta, I Ketut Wirtawan, I Made Adi Sumarjaya Putra, I Made Griyawan, I Made Karyana, I Made Nyana, I Made Renanta, I Made Sujendra, I Nyoman Marcono, I Nyoman Nurbawa, I Nyoman Selamet, I Nyoman Sudirga, I Nyoman Toyo, I Wayan Aris Sarmanta, I Wayan Budiarta, I Wayan Dana Wirawan, I Wayan Diana, I Wayan Eka Mahardika Suamba, I Wayan Malik, I Wayan Naka, I Wayan Warsika, Ketut Jaman Suarnawa, I Ketut Sadia, Nyoman Kastawa, Pande Made Martin. Selain lukisan, pameran ini juga menampilkan sebuah karya instalasi yang dibuat  secara berkelompok. Pada tanggal 1 dan 8 Juli 2018 juga digelar workshop melukis gaya Batuan untuk anak-anak di depan Gedung Kriya.
    .
    Dalam pameran ini, tema api tidak hanya dimaknai secara harfiah. Namun, api juga menjadi metafora atau simbolisasi, terkait spirit penciptaan, olah batin, untuk menghasilkan suatu karya yang memesona dan membuka ruang renung bagi banyak orang. Api di dalam diri dan api di luar diri menjadi suatu keterkaitan yang bisa dimaknai dengan berbagai cara.
    Dalam konteks pameran ini, penafsiran dan pemaknaan api menjadi sangat beragam Kegiatan melukis atau menggambar di Desa Batuan, Gianyar, Bali, telah ada sejak zaman kerajaan Bali kuno dan menjadi bagian dari ritual keagamaan. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya kata “citrakara” (ahli gambar) dalam Prasasti Batuan yang dibuat tahun 944 Saka (1022 M) pada masa pemerintahan Raja Marakata dari Dinasti Warmadewa.
    Namun, seni lukis gaya Batuan menemukan eksistensinya dan semakin dikenal luas ketika dikoleksi dan dipromosikan oleh antropolog Margaret Mead dan Gregory Bateson yang melakukan penelitian di sana pada pertengahan tahun 1930-an. Pada masa itu, lukisan  Batuan banyak menampilkan tema kehidupan sehari-hari, cerita rakyat, mitologi, dan cuplikan kisah pewayangan, dengan nuansa magis yang sangat kental.
    Seni lukis gaya Batuan mampu bertahan dan berkembang hingga sekarang karena adanya sistem pewarisan pengetahuan dan keterampilan melukis dari generasi ke generasi. Sistem itu dulunya bersifat informal dan berlangsung dalam keluarga atau lingkungan terdekat. Metodenya pun berbeda-beda. Ada dengan cara meniru atau mencontoh. Ada dengan memberikan teori atau teknik, kemudian murid mencari dan mengembangkan sendiri tema yang disukainya.
    Teknik melukis gaya Batuan sangat rumit, mengandalkan keterampilan, kesabaran, dan ketekunan. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yakni membuat sketsa (ngorten), memberi kontor pada sketsa (nyawi), membuat gradasi secara bertahap (ngucek),
    menampilkan kesan kedalaman dan membuat fokus tertentu (manyunin dan ngidupang), dan memberi warna (ngewarna). Teknik yang rumit itu menyebabkan pelukis Batuan memerlukan waktu relatif lama untuk menyelesaikan sebuah lukisan.
    Di tengah gempuran modernisasi yang melanda Desa Batuan, pameran ini membuktikan bahwa seni lukis gaya Batuan masih tetap tumbuh dan berkembang. Selain itu, nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam seni lukis gaya Batuan telah diwariskan secara masif kepada generasi baru melalui program pelatihan melukis bekerjasama dengan beberapa Sekolah Dasar di Desa Batuan. Upaya-upaya pelestarian dan pengembangan ini sangat memungkinkan untuk menjadikan seni lukis gaya Batuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Dengan demikian, api spirit penciptaan senantiasa menyala dari generasi ke
    generasi.
    Editor : Whraspati Radha