Foto suasana pameran lukisan Endih Baturan yang digelar dalam “Pesta Kesenian Bali” (PKB) ke-40, yang berlangsung dari tanggal 23 Juni hingga 21 Juli 2018.

Denpasar (Metrobali.com)-

DESA BATUAN sebagai lokus perkembangan seni lukis, awalnya dikenal dengan nama Baturan. Penyebutan ‘karaman I Baturan’ termuat dalam prasasti Batuan, untuk menunjuk warga atau penduduk yang mendiami wilayah Batuan sekarang. Pada prasasti yang ditulis masa pemerintahan Raja Bali kuno bernama Marakata kisaran caka 944 (1022 Masehi) itu, juga ditatah istilah ‘citrakara’, untuk penyebutan profesi keempuan yang piawai menggambar-melukis. Istilah tersebut bersanding dengan ‘sulpika’, empu di bidang pahat/patung, dan istilah-istilah yang menunjuk keragaman profesi seni yang lain, seperti undagi kayu, undagi batu, pangarung dan lain-lain (Goris, 1954: 96-97).
Penyebutan ‘karaman I Baturan’ dan identifikasi keahlian ‘citrakara’ jelas menunjuk bahwa hampir seribu tahun lalu, penduduk Batuan yang berprofesi sebagai pelukis sudah dikenal luas. Bahkan profesi tersebut telah diakui statusnya oleh Raja, dan ditata berdasar aturan etik profesi yang khusus.
Walau tidak ada artefak yang dapat dirujuk untuk mengindentifikasi hasil karya citrakara era itu, setidaknya bisa diasumsikan bahwa karya-karya kalangan citrakara boleh jadi berkenaan dengan karya gambar ‘rajah’, lukisan mistis yang berkenaan dengan sarana ritual dan juga bagian kelengkapan tempat suci (pura, atau pun altar persembahyangan).
Sementara artefak atau karya lukis yang dapat terlacak paling awal di Batuan, adalah karya-karya bergaya wayang klasik (Kamasan) dari pelukis Ida Bagus Kompiang Sana, I Wayan Naen, I Dewa Putu Kebes, maupun I Dewa Nyoman Mura, pada akhir abad ke-19 (Hohn, 1997: 27-28). Setelah generasi tersebut, baru muncul generasi Pita Maha, pemuda-pemuda yang secara intensif ikut serta dalam gerakan seni lukis di Ubud mulai awal 1930-an, seperti: I Nyoman Ngendon, Ida Bagus Togog, I Made Djata, I Dewa Nyoman Tjipta, I Nyoman Patera, dan lain-lain.
Kedatangan antropolog suami-istri Margaret Mead dan Gregory Bateson di Ubud, pada Maret 1936, dan menginap beberapa bulan di rumah Walter Spies, sontak dikenalkan dengan seni lukis gaya baru dari pelukis-pelukis Bali berbagai desa. Mead dan Bateson tertarik dengan seni lukis dari pelukis Batuan. Selain meneliti karakter orang Bali di Desa Bayung Gede, Bangli, pasangan antropolog kebangsaan Amerika Serikat dan Inggris ini akhirnya juga melakukan penelitian tentang sisi kejiwaan manusia Bali melalui karya seni lukis dari pelukis Batuan. Maka tercatat sekitar 845 lembar lukisan dari Batuan, di tambah desa-desa yang lain, total 1.288 lukisan dan gambar dikoleksi untuk studi tersebut. Tercatat pula nama 71 pelukis yang berbeda, beberapa lebih dari satu karya. Asisten peneliti Mead-Bateson, I Made Kaler mencatat ada 33 pelukis yang diwawancara intensif, terkait artistik karya dan latar belakang sosial pelukis (Geertz, 1994: 5).
Pelukis I Ngendon melukis keberangkatan Mead dan Bateson ke Papua New Guinea, 1938, dalam sebidang kertas, terlihat pelukis dan masyarakat Batuan terisak sedih melepas kebergian mereka. Hubungan Mead-Bateson dengan pelukis Batuan tentu sangat dekat, seperti terlukis dalam karya Ngendon. Kedekatan mereka, selain karena karya-karyanya dibeli, para pelukis juga diberi kebebasan berkarya sekekendak hati. Maka lahirlah karya-karya hitam-putih, yang berkesan mistis-magis, berbeda dengan kecenderungan langgam Pita Maha yang lebih naturalistik dan berwarna.

Dua Seni Lukis Batuan
Menunjuk pada kesejarahan era 1930-an hingga 1940-an tersebut, telah memunculkan kecenderungan dua gaya dalam seni lukis Batuan: (pertama) seni lukis dengan kecenderungan naturalistik, dengan teknik Pita Maha; (kedua) seni lukis hitam-putih yang berkarakter magis atau mistik, yang lahir dari semangat untuk mengeksplorasi imajinasi dan bawah sadar (menunjuk pada karya-karya yang dikumpulkan Bateson dan Mead, 1936-1939).
Secara teknik, dua gaya seni lukis Batuan berbasis teknik tebek nurut; teknik mengabur secara gradatif hitam ke putih secara berulang-ulang paling tidak 3 kali tumpukan (wawancara A.A Muning, 05 Nopember 2014 ). Kedalaman dan volume subjek gambar diperoleh dari berlapis-lapis polesan warna hitam (tinta cina) yang encer (Adnyana, 2015: 186-187). Teknik khas ini yang membedakan seni lukis Batuan dengan gaya Ubud yang berbasis abur (polesan tinta hitam yang encer sebagai dasar untuk memeroleh kesan volume) sebelum kemudian digores detail dan diwarna.
Tahapan teknik seni lukis Batuan terdiri dari: nyeket atau ngorten, nyawi, nyigar atau ngucek, dan manyunin (Adnyana, et al., 2017: 24). Paling awal nyeket atau ngorten (sketsa secara global), nyawi (detail untuk menggapai karakter subjek gambar), nyigar atau ngucek (teknik sigarmangsi hitam-putih, menggunakan tinta cina encer), dan manyunin (teknik polesan untuk memeroleh kesan kedalaman/perspektif dekat-jauh). Pada tahap manyunin ini, terdapat rincian lebih renik, seperti nyenter (memberi kesan gelap-terang secara kontras pada bagian-bagian tertentu/subjek gambar utama), dan juga terdapat teknik ngontur (garis untuk mempertegas figur juga subjek yang lain).
Tahapan teknik menjadikan seni lukis Batuan sangat khas secara visual, di samping juga dikuatkan dengan komposisi subjek gambar yang cenderung memenuhi bidang gambar. Memang ada beberapa pelukis yang belakangan mulai menghargai ruang kosong sebagai latar belakang, seperti terlihat pada karya Nyoman Sujendra,  Aris Sumanta, dan Nyoman Marcon. Terdapat juga upaya menyamarkan ruang kosong dengan menghadirkan stilisasi subjek alam, seperti gelombang air, awan berarak, hamparan tanah, langit malam yang berbintang, kupu-kupu memenuhi angkasa, dan juga riak kolam ikan. Hal ini terlihat pada karya-karya I Ketut Sadia, Pande Made Martin, Made Karyana dan Made Griawan. Sementara yang tetap suntuk dengan penataan komposisi memenuhi bidang gambar, dengan pengembangan di sana-sini, terlihat pada karya I Ketut Diana yang menggambarkan berpuluh-puluh sapi memenuhi kanvas, Gusti Ngurah Muryasa yang mengisahkan hutan dengan sulur-sulur dedaunan yang merambat rindang, Nyoman Nurbawa dengan sulur ornamentik penuh warna, juga Ketut Wirtawan mengisahkan dedaunan pohon beringin yang menaungi tanah, dengan tebaran api sampai ke langit; kisah tentang sakti dari calonarang.
Seni lukis Batuan dapat ajeg lebih dari 180-an tahun (merujuk pada Hohn (1997) yang menetapkan 1834 sebagai awal pencatatan keberadaan nama pelukis Batuan), tentu karena didukung oleh elan kreatif masyarakat pendukungnya. Bahwa di setiap generasi lahir dan tumbuh pelukis-pelukis kreatif sekaligus memiliki keteguhan dalam karakter. Seperti era 1980-an mengemuka nama-nama seperti Wayan Bendi, Made Budi, Ketut Murtika, dan lain-lain, dan kini generasi yang dinaungi Sanggar Baturulangun. Berawal dari peneguhan ‘citrakara’ sebagai pengakuan atas profesi pelukis, sekaligus merupakan spirit yang selalu menyala untuk menjaga sekaligus memajukan warisan estetika tetua I Baturan di masa lalu. Hal tersebut yang menjadikan seni lukis Batuan selalu lahir, tumbuh dan berkembang dalam evolusi yang terjaga. Evolusi yang dilandasi modalitas budaya, visi kesenimanan, dan capaian genial.

Penulis :  Wayan Kun Adnyana