Diberitakan di medsos World Water Forum ke 10 yang akan berlangsung di Bali 18 – 25 Mei 2024, akan dilengkapi dengan prosesi “Melukat” yang diistilahkan oleh panitia sebagai: “Balinese Water Purification Ceremony”, upakara pencucian diri bagi warga Bali.
Timbul pertanyaan disini: upakara “melukat” yang disakralkan oleh krama Bali, dijadikan komoditas untuk dipertontokan ke publik, dilepaskan konteksnya dengan pencucian diri yang merupakan bagian keimanan umat Hindu di Bali. Bisa ditafsirkan sebagai profanisasi simbol, yang keluar dari “aed upakara” yang melekat dalam sistem keyakinan umat Hindu di Bali.
Fenomena ini, hanya memperpanjang daftar profanisasi simbol: adat, budaya dan agama yang berlangsung marak di Bali. Menyebut beberapa, yang berlangsung marak dan meluas dari penyerahan dan atau “perampasan” simbol adat, budaya Bali dan agama Hindu: penggunaan busana, karya arsitektur, bahasa, yang keluar dari keimanan agama Hindu yang telah mentradisi. Simbol yang merupakan identitas budaya dan juga penganutan keimanan.
Sejarah agama dan Kebudayaan memberikan catatan, penyerahan dan atau pembiaran “perampasan” simbol adat, budaya dan agama, bisa mendegradasi sistem kebudayaan dan keimanan bagi pengikutnya. Tidak tertutup kemungkinan dalam pemahaman antropologi, “perampasan”simbol ini, bisa menjadi instrument dalam program migrasi keyakinan (terselubung). Semestinya ini disadari oleh krama Bali, untuk jangan terlalu mudah menyerahkan simbol keimanan mereka.
Sudah semestinya PHDI Bali memberikan panduan etika, tentang penggunaan simbol: adat, budaya dan agama, untuk meminimalkan risiko yang tidak diinginkan.

I Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma).