Susi Pudjiastuti 1

Susi Pujiastuti nama perempuan itu. Saya tak mengenalnya secara langsung. Beberapa kali kesempatan berkunjung ke Pangandaran, saya “pasalingsingan” karena dia baru saja terbang ke Jakarta.

Saya mengetahui namanya dari pemberitaan media, ketika terjadi bencana tsunami di Pangandaran. Cerita tentang kiprahnya sebagai sosok wirausahawati sukses di Pangandaran, pertama kali saya peroleh dari peserta latihan Indigopreneur 2012 di kota Ciamis. Saya mendapat jadwal untuk memberi materi “Imagineering Business” berbasis kearifan lokal.

Pertengahan dekade 70-an, dan berlanjut pada dekade 80-an, saya aktif dalam gerakan “deschooling society”. Suatu gerakan kesadaran untuk mendorong masyarakat berpendidikan tanpa harus terjebak oleh sistem persekolahan, yang dalam banyak hal tidak memberi ruang imajinasi, kreativitas, dan inovasi secara adil dan merata kepada siapa saja.

Gerakan ini lebih menitik-beratkan aktivitasnya pada manifestasi prinsip-prinsip paedagogik secara “out of the box”, tak berkelindan dengan metode didaktis pengajaran, yang berkutat dengan tujuan instruksional khas dan tujuan instruksional general. Suatu sistem persekolahan dengan silabi yang berkutat dengan pencapaian psikomotor, kognisi dan afeksi peserta didik. Padahal ada dimensi lain yang dihadapi oleh peserta didik di tengah masyarakat.

Susi sebagaimana halnya Sugi Arto (di zaman Kabinet Indonesia Bersatu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) saya lihat sebagai model menarik dilihat dari proses pencapaian karir dan prestasinya. Bedanya, Susi memilih jalan non-skolastik, ketika menuntut pendidikan menengah atas. Sugi memilih jalan skolastik. Keduanya ditempa oleh realitas yang membuat orang harus taft untuk memperoleh eksistensinya.

Susi –yang kemudian membuat saya sedikit berpengharapan kini– adalah produk manusia berprestasi yang ditempa oleh dinamika kehidupan dengan segala fakta dan fenomena brutal yang membentuk kepribadiannya. Suatu situasi yang tanpa disadarinya, mengantarkan dia menaiki anak-anak tangga dari “imaginative stages” dalam bingkai idealistika kehidupan (idealistic frame).

Susi mengubah mimpi menjadi imajinasi, karenanya dia tidak terperosok ke dalam jebakan ilusi dan jebakan fantasi (fantacy trap). Karenanya, dia tak akan pernah menjadi “penggali sumur” di tepi pantai, melainkan seorang yang berpikir panoramis dalam melihat horizon dari tepi pantai.

Pikirannya bisa bergerak liar ke mana saja tarikan “intuitive reasoning”-nya bergerak. Dia bisa memperlakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dipimpinnya laksana jongko pengepul ikan dan bicara angka-angka yang pernah tersentuh oleh kebijakan pemerintah, tetapi sangat mendasar bagi nelayan miskin. Dia juga bisa memperlakukan kementeriannya, laksana “locker” tempat menyimpan beragam persoalan kelautan dan perikanan yang kompleks dan harus dipecahkan oleh para stafnya.

Kali lain, Susi bisa memperlakukan kementeriannya laksana kedai yang sibuk mengurusi fasilitas masyarakat kelautan dan perikanan bernegosiasi dan bertransaksi dengan aneka gagasan yang dihimpun dari perguruan tinggi, lembaga riset, juga kalangan industri dan pebisnis yang mendulang untung di lautan. Bahkan kali lain, dia bisa menjadikan kementeriannya, laksana asbak besar untuk menampung abu dan puntung gagasan yang belum terwujud dalam aksi dan eksekusi di lapangan. Saya ingin menyebutnya, laksana dewi mabuk yang bakal menari di atas gelombang laut. Tak terprediksi.

Tapi, Susi tak akan bermakna apapun dalam pemerintah yang ogah memunggungi laut, ini bila seluruh staf eselonsi di kementeriannya tak mengubah paradigma berpikir, bersikap, dan bertindak menghadapi fakta-fakta brutal yang berbuncahan di laut kita. Dalam konteks itulah pejabat struktural dan fungsional yang berada di bawah Susi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, mempunyai ruang kontribusi yang luas.

Terutama ketika Susi –setelah melontarkan isyarat tentang “creativity kick” off saat serah terima jabatan dengan Syarief Cicip Sutardjo– segera diikuti oleh proses interaksi kreatif untuk mendorong transformasi mewujudkan rangkaian “inovasi breakthrough”.

Gaya eksentrik Susi, cara pandang tak biasa, cara pikir yang bergelombang laksana laut, dan “driving forces” kelautan yang diperkuat dengan tantangan “financial viability”, bagi staf yang kreatif dan inovatif, tentu akan merangsang tumbuhnya “visionery applicable”. Khasnya dalam memberi aksentuasi pada kapitalisasi potensi laut Indonesia.

Tato lobster di kaki Menteri perempuan bersuara serak bisa menjadi inspirasi menarik sebagai isyarat, bahwa setiap program, sejak level gagasan, “policy design”, sampai “action plan” yang harus fokus pada kualitas produk. Termasuk strategi paling jitu untuk menghadapi para “penguasa” bertato bajak laut yang mereka sembunyikan di balik pantalon dan dasi.

Agar Susi tak melenggang sebagai dewi mabuk yang menari di atas gelombang samudera, dia musti ditemani oleh para ahli penghitung potensi laut dan ahli pengelola manajemen ekonomi kelautan, yang selama ini suaranya tak pernah didengarkan. Misalnya, Suzi Anna dari Universitas Pajajaran yang juga dosen di Institut Pertanian Bogor.

Bila Susi kelak sukses memberi makna atas laut kita dengan mengembangkan diversifikasi, maka karakter laut Indonesia yang lebih sering menjadi jalur lintas ikan –kecuali semakin bisa diberi makna ekonomi. Antara lain dengan memberi prioritas pada budi daya ikan dalam di wilayah Timur Indonesia– dari Timor, Banda, Maluku, dan kawasan bibir Pasifik.

Dengan memperhatikan “intuitive reason” sebagai mantan pengepul ikan yang berjaya di udara Susi memiliki “chopper view” untuk melihat formasi potensi ekonomi kelautan. Susi harus dihadang dengan realitas brutal yang selama ini hanya tersimpan di dalam lembar kertas seminar, padahal kita tak pernah bisa menyelesaikan masalah hanya dengan makalah.

Biarkan Susi menghabiskan batang demi batang sigaret untuk berpikir, bersikap, dan bertindak memulai langkah dari kapitalisasi ikan samudera Indonesia, biar kelak, kakinya yang bertato lobster itu mencebur ke pantai untuk selanjutnya membenahi problematika kelautan yang lebih luas.

Susi Pujiastuti harus pula diingatkan secara kritis, realitas posisinya sebagai eksekutor gagasan kelautan yang dijadikan primadona oleh Presiden Jokowi. Jangan biarkan dia hanya menjadi “penguasa laut” laksana Ratu Kidul di laut Selatan, mitos yang terus hidup, sebagai pembawa isyarat pasang dan surutnya produksi sumber daya laut kita. Susi sendiri, yang berhasil membebaskan dirinya dari fragmentasi teoritik sejak memutuskan diri berhenti sekolah di SMA, telah membuktikan dirinya sebagai produk konkret dari adagium zaman baru: Profesionalisme tidak tergantung pada ijazah, gelar kesarjanaan, dan jabatan. Melainkan bergantung pada kemampuan mengubah imajinasi menjadi “focal concern” yang mewujud dalam program dan aksi yang sudah terencana baik. AN-MB