margriet di persidanganDenpasar (Metrobali.com)-

Terdakwa pembunuh Engeline, Margriet Christina Megawe bercerita tentang proses adopsi anak angkatnya tersebut. Katanya, suatu ketika ia didatangi kenalannya bernama Ferdi. Ferdi merupakan suami dari Nia. Jika Ferdi menemui Margriet, sang istri menemui Ahmad Rosidik, ayah kandung Engeline yang tengah kesulitan membayar biaya persalinan.

“Saya didatangi oleh Ferdi. Dia jelaskan ada orang yang butuh pertolongan untuk bayar persalinan,” kata Margriet di sidang Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. Margriet mengaku menyetujui membantu. Ferdi lantas mempertemukan Rosidik dengan Margriet. “Saya tidak pernah mencari bayi atau anak untuk diangkat,” jelas Margriet.

Sebelum mempertemukan Margriet dengan Rosidik, istri Ferdi, Nia, menemui ayah kandung Engeline. Ia menceritakan jika ada orang yang bisa membantu kesulitannya membayar biaya persalinan istrinya, Hamidah. “Saya waktu itu ditemui Ibu Nelly (Nia). Dia bilang ada yang mau bantu, orangnya baik,” kata Rosidik bercerita.

Setelah tiga hari mencari ke sana ke mari tak juga mendapat pinjaman Rp600 ribu untuk persalinan, tanpa fikir panjang Rosidik menyetujui dipertemukan dengan Margriet. “Waktu itu Nelly bilang kalau saya dibantu anak saya diangkat sama Ibu Margriet,” katanya.

Akhirnya Margriet dan Rosidik dipertemukan Ferdi dan Nia alias Nelly. “Pertemuannya sekitar tiga hari setelah anak saya lahir. Seingat saya tanggal 22 Mei 2007. Dalam pertemuan itu, Rosidik bercerita jika Margriet mengutarakan keinginannya untuk mengadopsi anak yang baru saja dilahirkan istrinya.

“Saya mau bantu untuk asuh anakmu, saya mau tebusin (biaya persalinan). Dan, kamu boleh tinggal di sini (rumah Margriet),” ucap Rosidik menirukan perkataan Margriet.

“Dengan terpaksa dan kebuntuan, akhirnya saya setujui. Saya dikasih uang Rp800 ribu sama Nelly. Rp600 ribu untuk bayar biaya persalinan, Rp200 ribu saya kembalikan, tapi diberi untuk saya,” katanya. Waktu itu, Margriet, Nelly dan Rosidik pergi ke klinik di Tibubeneng, tempat di mana Engeline kecil dilahirkan.

Sementara Hamidah, istri Rosidik, mengaku awalnya tak setuju dengan niat adopsi Margriet. “Ya awalnya tidak setuju. Saya yang mengandung kok mau diadopsi. Tapi mau apalagi, tidak bisa bayar persalinan, saya pasrah. Saya ikhlas,” katanya.

Usai ke luar dari klinik, Rosidik dan Hamidah diberi kesempatan tinggal di rumah Margriet di kawasan Canggu kala itu. Namun, hanya 10 hari ia di sana, karena setelah itu Margriet pindah lantaran rumah yang ditempatinya direnovasi. “Waktu saya ke luar dari rumah Margriet, saya diberi uang Rp10 juta. Katanya untuk biaya saya dan istri,” ucapnya.

Tak lama berselang, Margriet menghubungi Rosidik untuk membuat surat pengakuan pengangkatan anak. Margriet bersama Rosidik, Hamidah ditemani Ferdi dan Nia alias Nelly pergi ke Notaris Anneke Wibowo di Jalan Teuku Umar, Denpasar.

Di hadapan notaris, Margriet mengutarakan maksud kedatangannya. Namun oleh notaris niat itu ditolak, lantaran proses pengangkatan anak mesti dilakukan di pengadilan. “Mereka datang pagi hari. Saya tolak, saya katakan jika proses adopsi anak harus di pengadilan,” kata Anneke Wibowo.

Lantaran ditolak, mereka kemudian pergi. Namun, kata Anneke, usai jam makan siang mereka kembali mengdatangi Anneke. “Mereka minta tolong dibuatkan kesepakatan hitam di atas putih di antara para pihak. Saya buatkan pengakuan pengangkatan anak,” papar Anneke.

Usai dibuatkan surat perjanjian yang mengikat antara Margriet dan Rosidik juga Hamidah, Anneke telah menyarankan agar hal itu diteruskan kepada Pengadilan Negeri (PN) Denpasar untuk disahkan. Namun, hingga Engeline berusia delapan tahun, Margriet tak juga mendaftarkannya ke PN Denpasar.

Kini, Engeline telah tiada. Ia dibantai secara sadis di rumah tempat tinggalnya sendiri. Jasadnya ditemukan di lubang sempit halaman belakang rumahnya dekat kandang ayam. JAK-MB