wisatawan tiongkokDenpasar (Metrobali.com)-

Ny. Winda Salwati (48) merasa kaget ketika disodori selembar tagihan usai menikmati makan siang di salah satu restoran ikan bakar di Pantai Lovina, Buleleng, Bali pada hari kedua Lebaran lalu.

Ibu dua anak warga Cikarang, Jawa Barat yang menikmati liburan bersama keluarga besarnya itu kaget bukan karena tagihan yang membuat kantong bolong, tapi justru sebaliknya.

Untuk makan siang untuk delapan orang dengan menu berbagai ikan laut seperti udang, ikan kue, ayam-ayam, baronang, cak kangkung, sop ikan, serta es kelapa muda, ia hanya perlu mengeluarkan Rp234.000, yang berarti hanya Rp29.250 per orang. Harga tersebut menurut Winda sangat terjangkau bila dibandingkan dibandingkan dengan harga di Jakarta.

Wanita yang berasal dari Payakumbuh, Sumatera Barat tersebut mengaku pantas merasa kaget karena ia masih merasa trauma saat kena “pakuak” (getok) saat mudik Lebaran tahun lalu bersama keluarga ke Bukittinggi, Sumbar.

Ketika itu, ia kaget bukan kepalang karena hanya untuk tiga bungkus nasi kapau ia harus merogoh kantong dalam-dalam untuk membayar tagihan sebesar Rp500 ribu. Karena berlibur di kampung halaman sendiri, ia merasa tidak akan ditipu oleh pedagang yang menentukan harga semaunya.

Dari pengalaman beberapa saudara yang pulang kampung ke Sumatera Barat, Winda mendapat cerita bahwa perantau yang pulang kampung saat Lebaran justru menjadi sasaran “tukang pakuak” karena dianggap membawa banyak uang untui dibelanjakan.

Setelah beberapa hari di Bali, perasaan was-was Winda karena takut “digetok” pun sirna karena yakin bahwa semua harga sudah mempunyai standar dan tidak mungkin akan dilambungkan sesuka hati pedagang.

Pengalaman yang kurang lebih sama juga dirasakan oleh Riri Ridwan, wisatawan asal Garut yang sebagaimana halnya Winda, mengajak keluarganya merayakan Idul Fitri di Bali karena selama ini tidak pernah keluar dari kampung halamannya.

Menurut Riri (39), ia sempat merasa “ngeri” saat mengajak keluarga untuk makan malam sambil menikmati suasana pantai di Pantai Jimbaran. Ia merasa “deg-degan” saat memasuki kawasan berpasir putih yang dipenuhi wisatawan asing.

Saat-saat menegangkan adalah ketika memeriksa satu persatu daftar menu yang di atas meja. Dari daftar harga menu dari ikan laut , umumnya diatas Rp200 ribu per kg, bahkan ada yang menjadi Rp900 ribu.

Tapi Riri yang datang dengan lima anggota keluarga itu akhirnya merasa lega setelah seorang pegawai restoran dengan penuh keramahan memberi penjelasan soal harga, sehingga setiap calon pembeli bebas menentukan pilihan berdasarkan kondisi keuangan.

Pilihan Riri pun jatuh pada harga termurah, yaitu dengan memesan tiga paket seharga Rp175 ribu yang satu paketnya bisa dinikmati berdua.

“Pilih yang paling murah saja karena tujuan kami sebenarnya untuk untuk makan, tapi menikmati suasana di Pantai Jimbaran yang selama ini hanya kami ketahui dari media,” kata Riri yang mengaku bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi di Jakarta.

Baik Winda maupun Riri menyatakan bahwa mereka sebelumnya beranggapan bahwa Bali adalah tempat liburan yang serba mahal, mengingat Pulau Dewata itu merupakan ikon wisata dan menjadi magnet wisatawan, baik luar negeri maupun domestik.

Surga wisata
Bali masih menjadi surga bagi para wisatawan untuk menghabiskan liburan, termasuk liburan panjang Lebaran 2016. Berbeda dengan Jakarta dan sekitarnya ketika sebagian warganya mudik ke kampung halaman di berbagai daerah, Bali justru diserbu pendatang untuk berlibur.

Beberapa diantara tempat wisata favorit adalah Pantai Kuta, Tanah Lot, Pantai Sanur, Uluwatu, Jimbaran, Tanjung Benoa dan Danau Beratan, penuh sesak oleh pengunjung, baik tua dan muda, lokal maupun asing.

Sejak hari pertama Lebaran pada 6 Juli lalu, hampir seluruh tempa tujuan wisata di Pulau Dewata tersebut penuh sesak oleh wisatawan, baik asing maupun domestik. Jalan-jalan di Denpasar pun banyak kedatangan kendaraan roda empat dari luar daerah, umumnya berplat nomor Jakarta dan Surabaya.

Masyarakat Bali tampaknya menyadari betul bahwa pariwisata adalah sumber utama roda perekonomian mereka, sehingga wisatawan yang berkunjung adalah aset yang harus dijaga dan tidak boleh dikecewakan.

Seperti halnya sikap layanan di restoran yang menawarkan harga terjangkau, masyarakat yang tidak terkait langsung dengan bisnis di sektor wisata pun memperlihatkan sikap ramah dan bersahabat kepada siapa pun.

Salah satu contohnya adalah ketika saat Antara melintas di sebuah desa di Kabupaten Buleleng dalam perjalanan dari Denpasar ke Pantai Lovina di bagian utara, ketika kebetulan diadakan upacara Ngaben, yaitu upacara penyucian atma (roh) fase pertama, sebagai kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya, dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah.

Dalam upacara tersebut, seorang bapak berusia sekitar 60 tahun dengan antusias menjelaskan bahwa memang tidak terlihat adanya mayat yang dibakar, tapi hanya lebih bersifat simbolis.

Tingginya minat minat wisatawan ke Bali dapat dirasakan di Tanah Lot, Kabupaten Tabanan yang penuh sesak oleh sekitar 15 ribu pengunjung, sebagian besar adalah domestik. Umumnya, tujuan utama pengunjung adalah untuk menikmati panorama saat matahari tenggelam dengan latar belakang pura di pinggir tebing pantai.

Kawasan Kuta pun mengalami lonjakan pengunjung sehingga jalan di sepanjang Kuta sampai Legian penuh sesak pengunjung yang benar-benar memanfaatkan libur panjang Hampir tidak ada satu ruang pun yang kosong di sepanjang jalur pantai tersebut, sehingga sangat sulit untuk mendapatkan parkir mobil.

Ketut Sukarta, seorang pemandu wisata yang ditemui di Pantai Petitenget di Legian, menuturkkan bahwa Bali menyediakan tempat bagi siapa saja untuk berwisata, mulai dari yang murah meriah dengan tarif kamar hanya Rp100 ribuan, sampai yang puluhan juta semalam dan kadang sulit diterima akal sehatnya.

Ketut yang bekerja sebagai pemandu khusus untuk tamu di resor mewah itu menceritakan pengalamannya memandu seorang tamu “gila”, yaitu seorang kakek berusia sekitar 70 tahun dari Eropa yang menginap di sebuah resor mewah di Ubud dengan tarif 2.500 dolar AS per malam.

Tamu tersebut tidak berpikir panjang ketika disebut harga Rp250 juta hanya untuk mendapatkan dipan kayu berkelambu yang sering digunakannya di halaman resor. Lebih gilanya lagi, kata Ketut, dipan tersebut bukan diboyong ke negaranya, tapi justru ditinggalkan dan hanya berpesan kalau dia akan gunakan kalau kembali berkunjung ke resor tersebut.

“Semua tergantung pilihan, mau yang murah, mau yang mahal, Bali menyediakannya. Yang penting kami tetap akan melayani tamu kami dengan sebaik-baiknya, baik tamu kaya maupun yang kere,” katanya Ketut sambil tersenyum ramah. Sumber : Antara