Mahabharata: Dari Konfrontasi ke Teman Berjuang

20150523_101025

Karangasem (Metrobali.com)-

Cukup banyak kisah unik yang ‘’tercecer’’ dalam kiprah Wayan Sudirta sebagai advokat, aktivis, ataupun duduk di organisasi keagamaan dengan mendirikan ormas Pemuda Hindu dan majelis seperti PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia. Reformasi PHDI paska berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada 1998, menyisakan kisah yang tak banyak diketahui.

Inovasi Sudirta

Waktu itu, Mahasabha VIII PHDI yang dilangsungkan di Bali, terus tertunda-tunda. Anak Agung Mayun Eman, seorang pensiunan senior Pemprov Bali yang ditunjuk sebagai Ketua Panitia, selalu gagal menyelenggarakan rapat untuk persiapan perhelatan besar itu. Beliau mungkin tidak ‘’menguasai’’ dinamika internal diantara tokoh Hindu yang berbeda pandangan. Antara yang masih ingin PHDI berada dalam naungan kekuasaan dengan yang ingin PHDI independen seperti halnya majelis agama lain yang independensinya terlihat membela kepentingan umatnya di hadapan penguasa.

Gusti Agung Mayun Eman yang dikesankan sebagai dekat ke ‘’status quo’’, kelak bisa berhasil menggelar Mahasabha VIII PHDI di Hotel Radisson Sanur, setelah pembentukan panitia dibantuu oleh sosok Wayan Sudirta, yang masa itu dikesankan anti-Tri Wangsa.

‘’Kesan itu sama sekali tidak benar. Apa yang saya alami sebagai panitia dan proses Mahasabha PHDI di Sanur itu, jadi bukti bahwa Pak Sudirta dkk tidak anti-Triwangsa. Beliau kritis terhadap penindasan, membela warga yang dimarginalka. Dan juga membela dan membantu saya menjadi Panitia Mahasabha, yang lancar dan berhasil dengan baik,’’ ujar Gusti Agung Mayun Eman, ketika sedang bekerja keras menyukseskan Mahasabha VIII PHDI tersebut.

Apa inovasi dari kisah ini? Sudirta yang dikesankan anti-Triwangsa, terbukti dengan ringan tangan membantu Gusti Agung Mayun Eman menyelenggarakan hajatan besar dan bersejarah itu. Dalam prosesnya kadang terjadi ‘’gesekan’’ dan ‘’konflik’’, namun Agung Mayun Eman yang dianggap ‘’representasi’’ Tri Wangsa tersebut, akhirnya merasakan bahwa kiprah Sudirta dkk bukanlah antipati primordial. Usai Mahasabha VIII dan PHDI terbentuk –dengan Sabha Pandita yang diwarnai Sarwa Sadaka –Gusti Agung Mayun Eman masih sering mampir di kantor Wayan Sudirta dan berdiskusi tentang berbagai hal.

Selain nama Gusti Agung Mayun Eman, cukup banyak tokoh yang ‘’berkenalan’’ dengan Sudirta dkk melalui ‘’konfrontasi’’, kelak akhirnya menjadi teman berjuang, misalnya ketika membela Bhisama Kesucian Pura, membela kearifan lokal Bali, dan sebagainya. Sudirta sangat suka mengutip epos Mahabharata, bagaimana caranya menangani konflik untuk sampai pada solusi, agar sesuai ajaran Hindu: Satyam Eva Jayate. Bahwa, kebenaran lah yang pada akhirnya harus menang!!! Permusuhan tidak boleh berhenti pada ‘’permusuhan belaka’’ tetapi bagaimana mengolah energinya untuk menjadi solusi. Perdana Menteri Widura di Kerajaan Korawa yang secara formal ‘’bermusuhan’’ dengan Pandawa, justru menolong Pandawa secara diam-diam ketika Sangkuni dan Duryudana merencanakan pembakaran di istana kardus. Posisinya formal berseberangan, tetapi visinya bisa sama dan menjadi sumber solusi dan membela dharma. RED-MB