BI
Denpasar (Metrobali.com) –
Deputi Direktur Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Azka Subhan memaparkan jika tiap tahun pemerintah harus mengeluarkan dana yang cukup besar untuk pengadaan uang. Ia menyebut angka Rp3 triliun dalam setahun yang harus dirogoh pengadaan uang baik itu kertas maupun koin. “Dana itu untuk perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan serta pemusnahan uang,” kata Azka di sela acara ‘Transaksi Nontunai Meningkatkan Efisiensi Pariwisata Bali’ di Denpasar, Jumat 28 Juli 2017.
Untuk menekan cost produksi yang cukup tinggi, Azka mengajak masyarakat beralih ke uang elektronik. Sebabnya, transaksi menggunakan uang tunai membuat semua pihak kerepotan dalam hal transaksi. “Kita ambil contoh Jasa Marga, penyediaan uang untuk kembalian mencapai Rp2 miliar perhari. Selain itu jika menggunakan uang tunai antre di tol itu lama,” papar dia.
Selain itu, transaksi uang tunai juga tak tercatat dengan baik dan mudah digunakan untuk kejahatan semisal terorisme, pencucian uang dan lain sebagainya. Untuk itu, ia mengajak semua pihak beralih menggunakan uang elektronik. Ada beberapa keuntungan transaksi menggunakan uang elektronik.
“Kegiatan non tunai kita percaya menjadikan efisiensi di sektor pariwisata. Benefit non tunai di antaranya akses lebih luas, tidak perlu bawa uang banyak, higienis, praktis, transparansi transaksi, efisiensi rupiah dan efisiensi transaksi,” urai Azka. Saat ini, ia memaparkan, sebanyak 35 35 persen masyarakat Indonesia telah memiliki rekening bank. Sisanya atau sebanyak 64 persen tidak memiliki rekening bank. Meski begitu, Azka menyebut transaksi menggunakan uang elektronik menunjukkan grafik signifikan. Ia menyontohkan pada tahun lalu transaksi uang elektronik mencapai Rp7,06 triliun dengan rata-rata 49,5 persen. Jumlah ini meningkat tajam dibanding tahun 2015 di mana penggunaan uang elektronik sebesar RP500,28 triliun.
Meski mengalami peningkatan, namun Azka menilai terjadi anomali. Umumnya ketika penggunaan uang elektronik meningkat, maka transaksi secara tunai akan menurun. “Tapi ini dua-duanya meningkat. Transaksi tunai dan non tunainya sama-sama mengalami peningkatan,” ucapnya. Kendati begitu, Azka tak menampik masih ada kendala mengenai penggunaan uang elektronik. Di antaranya adalah regulasi untuk top up, jumlah merchant dan mesin top up yang terbatas, pengetahuan dan insentif kurang memadai dan penggunaan di sektor pariwisata masih terbatas.
“Tahun ini penggunaan uang elektronik semakin meningkat dibanding tahun lalu yang sebesar 9,86 persen. Hingga Maret 2017, transaksi uang elektronik sudah mencapai angka prosentase 10,92 persen,” papar dia. Di sisi lain, Transaction and Consumer Banking Bank Mandiri Head Regional XI Bali dan Nusra, Hendra Wahyudi optimistis penggunaan uang elektronik semakin meningkat ke depannya. Saat ini, kata dia, Bank Mandiri dipercaya oleh masyarakat Bali yang membuka rekening sebanyak 380 ribu rekening. “Customernya terbagi dua yakni perorangan dan perusahaan. Kami memiliki 400-an mesin top up uang elektronik yang tersebar di seluruh Bali,” katanya.
 
Ke depan, Bank Mandiri siap menyambut penggunaan uang elektronik dan menyiapkan fasilitas yang semakin baik. Di tempat sama, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel (Aprindo) Provinsi Bali, Gusti Ketut Sumardayasa berharap semua elemen dapat mendukung penggunaan uang elektronik, khususnya dimukai dari obyek wisata yang banyak tersebar di Bali. RED-MB