Jakarta, (Metrobali.com)

Mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan situasi pemberantasan korupsi di era Presiden Joko Widodo selama satu dekade ini ‘panas dan gerah’. Terlihat dari indeks persepsi korupsi yang kembali jatuh ke 34 kini, sama dengan skor saat Jokowi memulai pemerintahannya pada 2014. Pembentukan Pansel menjadi momentum pungkasan Jokowi menemukan pimpinan KPK yang kompeten dan berintegritas.

“Supaya panas sepuluh tahun itu bisa jadi hujan seharilah ya,” ujar Saut kepada detikX pada Rabu, 22 Mei 2024.

“Walaupun user-nya nanti pemerintahan baru, tapi kan itu legasi Jokowi di akhir kepemimpinannya. Prabowo Subianto juga mengatakan ingin kemajuan ekonomi 8 persen. Kalau mau pertumbuhan ekonomi 8 persen, indeks persepsi korupsi paling tidak di atas 50, mendekati 60. Pertumbuhan ekonomi itu linier dengan pemberantasan korupsi,” imbuhnya.

Eks penyidik KPK sekaligus Ketua IM57+ Praswad Nugraha mengingatkan Jokowi, Pansel periode sebelumnya menghasilkan pimpinan bermasalah dan Dewan Pengawas yang kinerjanya tak memuaskan. “Pimpinan KPK dengan rekam jejak buruk adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap pelemahan KPK. Empat dari lima pimpinan memiliki catatan etik. Bahkan satu orang menjadi tersangka,” kata Praswad kepada detikX.

Mantan Ketua KPK Firli Bahuri menjadi tersangka kasus korupsi oleh kepolisian terkait pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Selain Firli, pimpinan KPK lainnya yang divonis pelanggaran etik serius adalah Lili Pintauli Siregar. Salah satu kasusya, ia terbukti berhubungan dengan pihak beperkara dalam kasus korupsi Wali Kota Tanjung Balai. Namun, oleh Dewas KPK, pelanggaran ini hanya diganjar pemotongan gaji Lili.

Kinerja Dewas KPK juga kerap dikritik publik karena tidak tegas. Dewas KPK memang pada akhirnya meminta Firli mundur dari jabatannya terkait kasus SYL. Namun Firli sudah berkali-kali melanggar etik berat, seperti bertemu dengan pihak beperkara, dan lolos. Dewas juga hanya memberikan sanksi ringan kepada Firli atas berbagai pelanggaran, seperti sewa helikopter, tidak melaporkan harta kekayaan, dan tidak melaporkan penyewaan rumah.

Praswad menilai rusaknya integritas di level pimpinan dan Dewas KPK ini menurun hingga ke level bawah. Ini, kata Praswad, terbukti dengan penyidik menjadi terpidana dan pungli yang dilakukan pegawai Rutan KPK. Oleh karena itu, ia berharap Jokowi masih memiliki komitmen membenahi KPK, mengatasi masalah indeks persepsi korupsi, dan mendapatkan kembali kepercayaan publik. Hal ini akan terlihat dari proses seleksi capim dan Dewas KPK yang ditentukan oleh Pansel yang dibentuk Jokowi.

“Apabila nantinya calon pimpinan KPK bermasalah yang dipilih, berarti tidak ada perubahan. Sebab, pada saat itu (2019), saya selaku Ketua Advokasi Wadah Pegawai KPK telah menyampaikan seluruh informasi tentang rekam jejak capim, tetapi ternyata hanya jadi basa-basi belaka tanpa kelanjutan,” tutur Praswad.

Sementara itu, juru bicara KPK Ali Fikri menyatakan menerima berbagai kritik dan masukan terhadap KPK. Dia juga berharap pembentukan Pansel oleh Presiden akan menguatkan KPK. “Keberlanjutan pemberantasan korupsi membutuhkan Pansel pimpinan KPK yang memahami kebutuhan dan tantangan pemberantasan korupsi ke depan. Dalam momentum persiapan pemilihan pimpinan KPK tahun ini, penting mengidentifikasi apa saja PR yang belum selesai pada periode sebelumnya,” jelas Ali kepada detikX.

Beberapa pekerjaan rumah itu, kata Ali, soal peningkatan sikap dan perilaku antikorupsi penyelenggara negara, pelaku usaha, dan masyarakat. Selain itu, survei penilaian integritas dan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) yang intervensinya belum dirasakan publik dan pemangku kepentingan. Ditambah lagi, belum optimalnya efek jera dari perampasan aset terhadap terpidana dan pengembaliannya ke negara. Selain itu, case building tindak pidana pencucian uang dirasa belum optimal dan perlu ada penguatan kelembagaan melalui ratifikasi UNCAC pada perampasan aset dan korupsi sektor swasta.

Masukan dari Koalisi Sipil
Sejumlah koalisi masyarakat sipil mendesak Presiden Jokowi segera membentuk Pansel dengan melibatkan masyarakat sipil. Jokowi diharapkan sudah mengumumkan nama-nama Pansel pada awal Juni karena waktunya dirasa sudah ‘mepet’. Padahal masa jabatan pimpinan dan Dewas KPK akan berakhir pada 20 Desember 2024.

“Jika Pansel tidak dibentuk segera, publik tidak punya waktu yang memadai untuk memberi masukan terkait capim nantinya. Partisipasi publik menjadi isu utama yang perlu diperhatikan Presiden Jokowi dalam rangkaian proses seleksi ini,” ujar peneliti Transparansi Internasional Indonesia (TII) Izza Akbarani kepada detikX.

TII sudah melakukan audiensi dengan Kantor Staf Presiden pada 8 Mei, sekaligus mengajukan usulan nama untuk jadi anggota Pansel. TII juga meminta audiensi kepada Sekretariat Negara tetapi belum mendapat konfirmasi, sehingga mengirimkan petisi kepada Presiden agar tidak menunda-nunda penunjukan Pansel.

Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Muhammad Nur Ramadhan juga menyoroti perlunya pengawalan ketat terkait lini masa. “Walaupun Presiden sudah menyebut awal Juni, kami berharap itu ditepati. Pasalnya, ada dua tahapan. Setelah proses di Pansel, akan ada fit and proper test oleh DPR. Kalau kita mundur terus, bisa jadi tes ini dilakukan anggota DPR yang baru dan timbul persoalan,” ujarnya.

Dikhawatirkan uji kelayakan dan kepatutan itu tidak benar-benar diperhatikan oleh Komisi III DPR RI yang baru karena masih berfokus pada penyesuaian, terlebih dengan komposisi parlemen yang diisi wajah-wajah baru.

PSHK bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan diskusi pembentukan Pansel KPK dengan Deputi V KSP Rumadi Ahmad pada Senin pekan lalu, 20 Mei. Koalisi itu merekomendasikan 20 nama anggota Pansel.

Sebelumnya, ada draf 11 nama yang beredar di publik: Kepala BPKP M Yusuf Ateh, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, Kepala Sekretariat Wapres Erani Yustika, Nawal Nely (profesional), Ambeg Paramarta (Kemenkumham), Wakil Menteri Kominfo Nezar Patria, Arief Satria (akademisi), Bayu Dwi Anggono (akademisi), Rezki Sri Wibowo (TII), Fauzie Yusuf Hasibuan (advokat), dan Nanik Purwanti (Sekretariat Negara).

Peneliti ICW Diky Anindya menolak mengonfirmasi apakah ada di antara 11 nama itu yang masuk juga dalam daftar nama usulan ICW dan PSHK. “Yang jelas, kami mendesak bahwa proses seleksi capim periode 2019-2023 dievaluasi karena menghasilkan produk gagal. Sehingga nama-nama Pansel yang menghasilkan produk gagal itu mestinya tidak diberi kesempatan kembali atas dasar proses seleksinya tidak akuntabel dan tidak akurat,” terang Diky kepada detikX.

Sementara itu, Nur Ramadhan menyampaikan sebagian nama yang telah beredar bermasalah, meski enggan menyebut siapa. “Ada yang pernah menjadi ahli untuk meringankan terduga koruptor. Ada juga yang rekam jejaknya membela koruptor, tidak sejalan dengan semangat antikorupsi. Catatan ini kami sampaikan juga kepada KSP agar menjadi pertimbangan,” ucap Ramadhan.

ICW dan PSHK mendorong tiga hal untuk diperhatikan oleh Presiden. Pertama, soal kompetensi dan kapabilitas anggota Pansel. Pansel mestinya diisi orang yang memahami situasi pemberantasan korupsi lima tahun terakhir dan persoalan kelembagaan KPK. Kedua, proses yang partisipatif dan transparan. Diky Anindya menyinggung salah satu anggota Pansel pada saat itu, Hendardi, yang malah menyatakan Pansel bukan alat pemuas lembaga ICW atau Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi.

“Ketiga, soal komposisi. Menurut Setneg, komposisinya lima dari unsur pemerintah dan empat dari unsur masyarakat. Kami menilai, kalau komposisi Pansel didominasi unsur pemerintah, potensi konflik kepentingan dan intervensinya cukup besar. Hal ini perlu dipertimbangkan lagi agar komposisinya lebih baik,” jelas Diky.

Deputi V KSP Rumadi Ahmad mengaku pihaknya memiliki perhatian yang sama dengan ICW dan PSHK. “Kami punya concern yang sama untuk mempersiapkan Pansel KPK yang berintegritas dan diterima publik. Ini penting agar produk dari Pansel ini juga kredibel dan dipercaya publik,” kata Rumadi setelah berdiskusi dengan ICW dan PSHK.

Sumber  : DetikX