Menteri Agama Fachrul Razi. (Foto: VOA/Fathiyah)

Menteri Agama Fachrul Razi membantah Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Radikalisme Aparatur Sipil Negara melanggar kebebasan berpendapat dan menegaskan bahwa SKB itu tidak menyasar agama tertentu.

 

Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Radikalisme Aparatur Sipil Negara yang ditandatangani pada 12 November di Jakarta menuai polemik. Kritik terus berdatangan. Ada yang menganggap SKB tersebut melanggar kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi, sebagian menuding aturan itu menyasar umat Islam.

Ditemui VOA seusai rapat kerja dengan Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (28/11), Menteri Agama Fachrul Razi membantah SKB Anti Radikalime itu memojokkan umat Islam dan juga tidak melanggar kebebasan berpendapat.

Menteri Agama Fachrul Razi rapat kerja dengan Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis, 28 November 2019. (Foto: VOA/Fathiyah)
Menteri Agama Fachrul Razi rapat kerja dengan Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis, 28 November 2019. (Foto: VOA/Fathiyah) 

“Nggak ada sedikit pun memojokkan umat Islam karena semua sangat umum. Misalnya, orang bicara tentang ujaran kebencian, itu nggak kaitan dengan umat Islam, buat semua orang. Kemudian kalau ada yang mempersoalkan NKRI, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, nggak ada kaitan dengan umat Islam. Siapapun, umat apapun, tetap kalau melakukan hal seperti itu, pasti akan dilaporkan,” kata Fachrul.

Fachrul Razi menegaskan SKB Anti Radikalisme tersebut sangat logis karena pegawai negeri, yang digaji oleh negara, harus menjadi benteng terdepan menjaga dan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, dan Undang-undang Dasar 1945.

Menurutnya pandangan-pandangan yang ingin mengutak-atik Pancasila dan NKRI bukanlah bagian dari kebebasan berpendapat dan dapat merusak persatuan serta kesatuan bangsa dan negara.

SKB Penanganan Radikalisme ASN Pantau Media Sosial

Dalam SKB tentang Penanganan Radikalisme Aparatur Sipil Negara yang ditandatangani oleh 11 menteri itu, ada sedikitnya sepuluh jenis pelanggaran yang dapat dilaporkan dan dikenai sanksi. Antara lain: menyampaikan pendapat, baik lisan maupun tertulis, melalui media sosial, yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI, dan pemerintah. Juga menyampaikan pendapat, baik lisan maupun tertulis, melalui media sosial, yang bermuatan ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras dan antar-golongan. Juga menyebarluaskan pendapat yang bermuatan ujaran kebencian melalui media sosial (share, broadcast, upload, retweet, repost dan sejenisnya).

Hidayat Nur Wahid Sesalkan Penerbitan SKB Penanganan Anti Radikalisme ASN

Ditemui secara terpisah, anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hidayat Nur Wahid, menyesalkan terbitnya SKB Anti Radikalisme tersebut karena menurutnya hal terpenting yang terkait dengan aparatur sipil negara adalah soal kinerja, bukan radikalisme.

Ditambahkannya, pemerintah sedianya menerbitkan SKB untuk meningkatkan kinerja dan membersihkan aparatur sipil negara dari budaya korupsi.

Dr. Hidayat Nur Wahid, anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). (foto: dok).
Dr. Hidayat Nur Wahid, anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). (foto: dok). 

Hal lain yang juga menjadi masalah, lanjut Hidayat, adalah sampai saat ini belum ada definisi radikalisme yang jelas dan disepakati oleh pemerintah dan DPR sebagai sebuah hukum.

“Kalau tidak ada (definisi radikalisme yang disepakati), dikhawatirkan itu (SKB Anti Radikalisme) akan meneror suasana kerja dari para ASN. Semuanya saling mencurigai, semuanya saling melaporkan. Sekalipun ditegaskan oleh pihak kementerian, kami akan selektif, tapi kalau terus menerus? Bila suasana tertekan, suasana saling mencurigai, suasana dicurigai, itu kan kontraproduktif dengan keinginan menghadirkan kinerja yang maksimal,” ujar Hidayat.

Menurut Hidayat, penerbitan SKB Anti Radikalisme tersebut justru tidak sesuai dengan amanat reformasi yang memberikan ruang keberagaman dan hak asasi manusia.

Dia juga mempertanyakan kenapa radialisme selalui dikaitkan dengan Islam, mengapa tidak ada komunisme dan separatisme yang juga mengancam kedaulatan negara disebutkan dalam SKB tersebut. Dia menilai SKB Anti Radikalisme itu merupakan bentuk dari Islamophobia.

SKB Anti Radikalisme ASN Ditandatangani 11 Kementerian/Badan

SKB Anti Radikalisme di kalangan aparatur sipil negara itu ditandatangani oleh sebelas kementerian dan lembaga, yakni Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Badan Kepegawaian Negara, serta Komisi Aparatur Sipil Negara. [fw/em] (VOA)