Denpasar (Metrobali.com)-

Pengamat Hukum Adat Prof Dr Wayan P Windia berpandangan “simakrama” politik atau kunjungan tatap muka para caleg dan calon kepala daerah lewat institusi adat telah berdampak negatif bagi spirit kebersamaan masyarakat.

“Hal ini karena sesungguhnya spirit kejiwaan antara urusan berdemokrasi dan institusi adat berbeda,” katanya saat menjadi pembicara pada diskusi sosialisasi “Bali Democracy Forum” di Denpasar, Senin (23/9).

Menurut dia, secara konsep demokrasi memang menyejukkan, namun dalam realitanya tidak selamanya demikian. Jika sudah menyentuh institusi adat, justru malah menimbulkan sejumlah persoalan.

“Kini para caleg, calon bupati/wali kota, hingga calon gubernur bukannya lebih memantapkan dan menguatkan parpol dan kader-kadernya dengan berbagai strategi supaya terpilih, namun lebih rajin turun ke institusi adat seperti desa adat dan subak,” ujar guru besar Fakultas Hukum Universitas Udayana itu.

Akibatnya, urusan politik yang kental spirit individu dan “suka-suka” malah mengacaukan spirit institusi adat dengan semangat kebersamaannya.

“Ketika ada kelompok masyarakat adat yang berbeda sikap, maka dianggap sebagai sebuah pengingkaran atas spirit kebersamaan,” ucapnya.

Celakanya lagi, kata dia, ketika di saat yang kurang beruntung, mereka yang berbeda pandangan politik dari mayoritas warga adat justru dianggap berbuat kesalahan dan layak dihukum.

“Ambillah contoh, di beberapa daerah di Bali ada warga yang sampai ‘kasepekang’ atau dikucilkan gara-gara berbeda pilihan politik dan ada juga yang sampai baku hantam,” katanya.

Oleh karena itu, Windia mengharapkan para caleg maupun calon kepala daerah janganlah masuk memengaruhi pilihan politik rakyat dengan memakai “baju” institusi adat.

“Ingatlah bahwa warga di dalam institusi adat belum siap menerima perbedaan-perbedaan di tengah spirit kebersamaannya,” kata Windia. AN-MB