Washington, (Metrobali.com) –

Orang yang telah lama terinfeksi HIV menghadapi resiko lebih besar untuk mengalami serangan jantung dibandingkan dengan sebaya mereka yang tidak terinfeksi, demikian satu studi baru yang disiarkan pada Selasa (1/4).

Beberapa studi sebelumnya telah menunjukkan hubungan antara infeksi HIV dan penyakit jantung, tapi hasil tersebut belum tuntas.

Di dalam studi baru tersebut, para peneliti dari John Hopkins University, AS, dan lembaga lain meneliti 618 pria yang terinfeksi HIV dan 383 orang yang tidak terinfeksi di daerah Baltimore/Washington, Chicago, Pittsburgh dan Los Angeles.

Semua peserta berusia 40 sampai 70 tahun dan belum menjalani operasi untuk memulihkan aliran darah ke pembuluh jantung.

Para peneliti itu mendapati mereka yang menderita HIV tingkat lebih tinggi dan menjalani pengobatan jangka panjang dengan pengobatan tinggi anti-retrovirus aktif (HAART), yang biasa diresepkan sebagai koktail obat HIV, lebih mungkin untuk memiliki plak yang terkumpul di pembuluh darah jantung mereka. Mereka juga memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami penyempitan tak normal pembuluh darah, yang dikenal sebagai stenosis.

Penimbunan plak di pembuluh darah yang memberi makan jantung dan stenosis adalah kondisi yang dapat meningkatkan resiko serangan jantung, kata para peneliti tersebut sebagaimana diberitakan Xinhua –yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu siang.

Temuan itu penting, kata mereka, sebab kemajuan dalam pengobatan telah mengarah kepada kelangsungan hidup lebih lama orang yang hidup dengan HIV/AIDS dan kemunculan penyakit jantung kronis yang berhubungan dengan usia dan penyakit lain di kalangan kelompok orang itu.

Hasil tersebut juga menekankan pentingnya penilaian dan perubahan faktor tradisional resko sakit jantung pada masyarakat itu, terutama pada pria yang menderita HIV tingkat tinggi, kata studi tersebut –yang diterbitkan di jurnal AS “Annals of Internal Medicine”.

Studi pada masa depan akan menyelidiki apakah pengobatan dini HAART bisa memangkas resiko sakit jantung pada orang yang menderita HIV, tambah para peneliti itu.

(Ant) –