Made Susanta Dwitanaya

Oleh

I Made Susanta Dwitanaya

Kurator Seni Grafis

Kehadiran seni grafis dalam sejarah seni rupa Indonesia dimulai pada dekade   1940-an melalui hadirnya karya – karya grafis khususnya karya grafis dega teknik woodcut sebagai ilustrasi di berbagai majalah kebudayaan seperti;  Zenith, Zaman Baru, Mimbar Indonesia, dan Horison. Seniman – seniman yang aktif berkarya di media tersebut antara lain; Suromo, Abdul Salam, Baharuddin MS, Mochtar Apin, Oesman Efendi dan masih banyak lagi.

Seni grafis dalam sejarahnya juga kerap dijadikan sebagai media pergerakkan dalam ranah seni publik oleh beberapa komunitas perupa muda pada akhir era orde baru sampai awal masa reformasi di akhir dekade 1990an. Sebut saja salah satunya yaitu, Taring Padi, sebuah komunitas perupa muda yang berbasis di Yogyakarta di akhir 1990an. Komunitas ini aktif melakukan aksi – aksi seni berbasis publik misalnya dengan menyebar famlet famlet yang bertema sosial politik pada masa itu. Pendek kata seni grafis khususnya cukil kayu menjadi media propaganda yang efektif dalam rangka membangun kesadaran publik terhadap isu sosial politik yang saat itu tengah menjadi arus utama dalam seni rupa kontemporer Indonesia, sebagai reaksi atas runtuhnya rezim otoriter orde baru di bawah Soeharto.

Pada masa sekarang seni grafis sesungguhnya memiliki peluang yang besar untuk terus berkembang secara progresif, dengan berbagai kemungkinan ragam medium dan aksipresentasi langsung di masyarakat, mulai dari karya- karya cukil,  stensil, fotokopian,sablon, serta cetak digital dengan berbagai aplikasinya. Namun perkembangan seni grafis seolah terpinggirkan dalam konstelasi seni rupa kontemporer Indonesia secara umum khususnya di Bali. Dalam seni rupa Bali, seni grafis tampaknya masih menempati posisi yag termargialka jika dibadingkan dengan seni lukis maupun seni patung. Sangat jarang kita melihat even- even seni rupa yang secara khusus menampilkan karya- karya seni grafis di Bali .

Berdasar pada fakta, bahwa masih minimnya pewacanaan dan even- even yang secara khusus menghadirkan karya- karya seni grafis di Bali, maka tujuh  orang pegrafis muda yang merupakan alumni dan mahasiswa jurusan Pendidikan Seni Rupa Undiksha, merancang sebuah event pameran bersama yang terbingkai dalam sebuah tema kuratorial yang berjudul “ Passion”, di Hotel Griya Santria, Sanur Bali. Pemeran mulau digelar Kamis (13/3) pagi tadi.

Pameran ini menghadirkan bingkai kuratorial yang sedemikian cair dalam artian tidak menghadirkan  tema yang spesifik, hal ini bertimbang pada sangat beragamnya kecenderungan gagasan masing- masing perupa yang tidak mungkin dapat diringkus dalam satu tema yang spesifik. Sehingga bingkai kuratorial ini diarahkan pada usaha untuk menelisik dan mengintrogasi hal yang paling esensial dari sebuah proses kreatif masing- masing pegrafis muda ini, yaitu  dengan melontarkan sebuah pertanyaan yang mungkin terdengar klise yakni mengapa memilih seni grafis sebagai pilihan bahasa ungkap dalam berkarya seni rupa? Dari pertanyaan sederhanya tersebutlah didapati bahwa proses kreatif dari masing-masing perupa muda yang akan tampil pada even pameran ini digerakkan oleh suatu stimulus internal yakni adanya gairah atau passion yang besar pada seni grafis, hal inilah yang secara unconsius  menggerakkan proses kreatif mereka untuk terus berkarya dengan media seni grafis.

Karya – karya yag ditampilkan oleh ketujuh orang peserta pameran ini sagat beragam baik dari segi teknik dan tema. Misalnya karya – karya Kadek Septa Adi yang menampilkan beberapa rangkaian karya dengan teknik monotype . Karya yang diberi judul “Berteman Batu”  tersebut menghadirkan beberapa buah gambar yang menghadirkan sosok figur  deformatif  yang sedang berhadapan dengan sebuah batu yang besar. Batu dalam karya tersebut dapat terbaca sebagai sebuah ungkapan simbolik tentang beban kehidupan. Semua manusia yang hidup pasti memiliki beban persoalan dalam hidup namun sebagai manusia kita hendaknya dapat menghadapi beban kehidupan tersebut dengan sabar dan mecoba untuk selalu berbahagia.

Komang Sukertayasa menampilkan karya – karya yang dibuat dengan teknik hardboardcut. Dalam karya – karyanya ia  hendak menampilkan narasi tentang gaya hidup kaum urban masa kini yang sangat lekat dengan budaya konsumtif. Karya – karya Sukertayasa mencoba meghadirkan potret keseharian kaum urban beserta aktivitasnya mejalankan gaya hidup yang lekat degan praktik – praktik budaya konsumsi. Dalam budaya konsumsi sebuah aktifitas mengkonsumsi bukan lagi berdasarkan atas kebutuhan namun lebih bertimbang pada aspek prestise.

Dewa Gede Purwita, melalui karya – karya yang dibuat dengan teknik stensil menampilkan potret siluet wajah Bung Karno yang terkadang diimbuhi dengan berbagai teks verbal yang sepintas mengingatkan kita pada karya – karya graffiti jalanan. Semua karya – karya stensil tersebut ia cetak degan menyemprotkan spray paint diatas kertas – kertas kuno yang sudah berlubang di sana sini , meyiratkan adanya suatu keusangan dan kerapuhan. Melalui karya – karyanya itu Dewa Gede Purwita hendak bercerita perihal rasa nasioalisme da kebangsaan yang kian hari kian memudar seiring dengan sikap  apatisme sebagia besar generasi muda  terhadap sejarah bangsanya sendiri.

Ni Luh Pangestu Widya Sari, sebagai satu – satunya peserta perempuan dalam pamera ini, menampilkan karya – karya degan teknik hardboardcut. Kekuatan karya – karya Pangestu terlihat pada ketekunanya dalam meampilkan potensi  teknis hardboardcut. Dalam karya – karyanya Pangestu selalu menghadirkan figure perempuan yang deformatif. Disamping itu karya Pangestu mecoba untuk mencoba menerobos sekat – sekat antara karya dua dimensional dan tiga dimensional.

Lihat misalnya pada karya yang berjudul “Kusetubuhi Kalian Semua”  Pangestu tidak hanya mecetak gambar figure perempuanya pada bidang dua dimensional , tetapi ia mengaplikasikan karya cetaknya tersebut pada boneka  tiga dimensional yag ia kontruksi sendiri secara hand made. Karya Pangestu mecoba untuk menghadirkan eksplorasi yag lebih luas terhadap sebuah tampilan karya seni grafis dengan mencoba mengadopsi konsep display pada  art installation yang merespon  space.

Komang Prayudi Indra Laksana,  menampilkan karya dengan teknik hardboardcut. Dalam karya – karyanya Indra menampilkan sosok burung garuda sebagai sebuah simbolisasi dari nilai nilai nasionalisme dan kebangsaan kita sebagai bangsa Indonesia. dalam karya – karyanya Indra seperti hendak mengkritisi situasi sosial politik kita yang semakin tidak stabil dan penuh dengan isu korupsi da perilaku buruk para elit politik. Dengan memparodikan sosok burung garuda dengan berbagai gesture, Indra seperti hendak menyentil perilaku para pejabat kita yang tidak pernah menampilkan visi kenegarawanannya dengan baik, malah sebaliknya kerap menampilkan perilaku yang hanya mementingkan partai politik dan golongannya saja.

Aditya Diatmika, menampilkan karya yang dibuat dengan teknik reduction print. Dalam karya – karyanya Aditya menghadirkan warna – warna  kontras dan cerah. Karya – karyanya tampak bersahaja namun puitik. Ia banyak menyoroti kondisi menyempitnya lahan pertanian di Bali akibat pembangunan infrastruktur jalan, perumahan, serta industry yang tak terkendali, namun dalam karya – karyanya Aditya tidak menghadirkan protes secara terbuka, namun dengan bahasa visual yang lebih halus dan terselubung. Lihat misalnya pada karya yang menampilkan tanaman padi yang tumbuh diatas sebuah pot dari kaleng bekas. Hal ini menyiratkan bahwa membayangkan jika  lahan pertanian semakin menyempit sehingga dimasa yang akan datang, untuk menanam padi pun kita hanya bisa melakukannya di dalam pot, sebab semua lahan sudah habis untuk perumahan dan industry.

Riski Soma Himawan menggunakan  teknik Relief Print dengan memakai kawat strimin sebagai acuan cetaknya. Sehingga karya – karyanya menampakkan jejak – jejak tekstur kawat strimin yang khas. Dalam karya – karyanya Riski menghadirkan potret  selebritis Marlyn Monroe yang merupakan ikon dari budaya pop di masa lalu. Menurut pengakuan Riski, motivasi yang melatar belakangi ia meminjam potret Marilyn Monroe dan menjadikannya objek dalam karya – karyanya didasari hanya oleh pertimbangan visual semata. Ia tidak memiliki pretensi untuk bercerita tentang  persoalan  pop culture seperti layaknya yang dilakukan degan seniman amerika Andy Warhol, yang juga menghadirkan potert Marylin Monroe dalam karyanya yang legendaris itu.

Demikianlah sekelumit pembacaan saya terhadap karya – karya yang ditampilkan oleh ketujuh orang pegrafis muda yang berpameran hari ini. Segala langkah dan niat para pegrafis muda yang mencoba memperjuangkan eksistensi seni grafis dalam seni rupa Bali patut kita apresiasi. Langkah dan perjuangan mereka adalah sebuah kesadaran dalam memposisikan diri dalam peta seni rupa Bali secara umum. Bisa jadi apa yang mereka lakukan hari ini , melalui pameran ini dapat menjadi sebuah upaya strategis dalam memperjuangkan eksistensi seni grafis di Bali. Dan dengan segenap potensi skil dan ability yang dimiliki sambil terus memupuk passion mereka pada seni grafis,  kita sebagai apresiator layak menaruh harapan pada orang – orang muda ini. Namun semuanya tentu akan berpulang kembali pada diri mereka, sejauh mana mereka mampu menyadari dan memupuk passion mereka dalam seni grafis. (***)