Oleh: I Gde Sudibya

Penyebaran Covid-19 berlangsung massif dan cepat. Satu orang terinfeksi pada 17 November 2019  di Provinsi Hubei China, per 1 September 2020 telah menginveksi 25.665.011 di 213 negara, Kompas, (2/9).

Untuk kasus Indonesia, satu orang terinveksi di Depok Jawa Barat 2 Maret 2020, data hari-hari ini jumlah terinveksi sudah di atas 200.000 orang. Dengan catatan, penambahan angka 100.000 ” tahap ” ke dua, memerlukan waktu lebih pendek dari 100.000 orang di tahap pertama.
 Artinya tingkat penularan virus ini semakin tinggi di hari-hari ini. Karena cepat dan massifnya penambahan kasus pandemi ini, dengan dampak kesehatan dan ekonomi yang luar biasa, di hari-hari ini  dan ke depan, tidak sedikit pengamat mempertanyakan efektivitas kemampuan negara melindungi warga dari paparan virus Covid-19 dan dampak besar ekonomi yang menyertainya.
Terlebih-lebih kasus dengan jumlah tinggi yang dialami oleh AS., Brasilia dan juga India. Tampak terjadi kegagapan di sejumlah negara dalam ” perang ” melawan pandemi, timbul pertanyaan: tidakkah pandemi ini akan memberikan indikasi akan kegagalan sejumlah negara melindungi warganya, sehingga pantas disebut negara gagal ( failed state )?
Dalam konteks ini menarik disimak pendapat  ilmuwan sosial kondang dunia, penulis buku inspiratif provokatif Francis Fukuyama, dalam jurnal Foreign Affairs ( Juli/Agustus 2020 ) dimuat dalam Kompas (11/9). Ia menyebut tiga faktor penentu suksesnya  respons terhadap pandemi, yakni kapasitas negara, kepercayaan sosial dan kepemimpinan.
Fukuyama menulis:  ” Negara-negara dengan ketiga faktor itu – aparatur negara yang kompeten, pemerintahan yang dipercaya dan didengar warganya dan pemimpin yang efektif – tampil impresif, menekan dampak yang diderita. Negara-negara disfungsi, masyarakatnya terpolarisasi atau kepemimpinan  yang lemah tampil buruk, menyebabkan rakyat serta ekonominya terdampak dan rentan”. bersambung.
Tantangan Indonesia
Tantangan bagi Indonesia untuk tidak memasuki risiko jebakan negara gagal ( failed state ) mengikuti pemikiran Fukuyama di atas, aparatur negara yang kompeten, pemerintah yang dipercaya oleh masyarakatnya,  kepemimpinan efektif  dan tampil impresif, menyebut beberapa di antaranya:
1. Reformasi birokrasi yang progresif  segera dilakukan, trobosan birokrasi cepat menjadi kebutuhan mendesak, sehingga Perpu No.1 tentang Penanggulan Pandemi dapat dijalankan maksimal. Anggaran negara dapat dicairkan sesuai jadwal, fokus dan bebas dari moral hazard, korupsi dan sejenisnya.
2. Politisasi pandemi harus dihilangkan, kebijakan penanggulangan pandemi yang diselewengkan ke tujuan politik praktis, karena dapat berdampak memicu penularan pandemi  meningkat dan semakin sulit untuk dikendalikan.
3. Kepemimpinan efektif dan tampil impresif, menuntut persyaratan: cerdas merumuskan kebijakan teknokratis, pembangun solidaritas sosial ( solidarity maker ), bukan melakukan trik politik  yang menimbulkan friksi di masyarakat.
Menjadi wasit yang jujur dan adil dalam mengelola perbedaan yang ada, bukan menjadi “pemain” yang membuat keadaan menjadi semakin kisruh, karena pelanggaran aturan main ( rules of the games ).
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik. Di depan Taman Bung Karno, Sukasada, Singaraja.