ekonomi

Jakarta (Metrobali.com)-

Di tengah ambisi mengakselerasi pertumbuhan ekonomi hingga 5,7 persen tahun ini, bahkan sesuai dengan RPJMN dapat mencapai 8 persen pada tahun 2019, pemerintah berkewajiban menjaga dua fondasi perekonomian lainnya, yakni stabilitas dan pemerataan ekonomi.

Keinginan kuat pemerintah untuk mendorong laju pertumbuhan harus dikelola dengan baik agar upaya tersebut tidak mengesampingkan perbaikan profil struktural dan fundamental perekonomian.

Seperti ramalan mantan Menteri Keuangan Chatib Basri dan juga Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional Raden Pardede era presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, 2015 merupakan tahun penuh tantangan bagi perekonomian Indonesia. Tantangan itu datang di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu. Namun, di sisi lain makin interkoneksi.

Pemerintahan baru yang dinakhodai Presiden Joko Widodo datang dengan target ambisius mengejar ketertinggalan pembangunan. Namun, Joko Widodo dan para Menteri juga tidak bisa menampik bahwa masalah ekonomi telah terakumulasi dari periode-periode sebelumnya dan harus dituntaskan.

Masalah-masalah ekonomi tersebut mengerucut pada perekonomian Indonesia yang hingga kini masih mengalami defisit ganda dalam transaksi berjalan dan defisit pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Defisit transaksi berjalan selama beberapa tahun terakhir terus berada di atas 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), kecuali pada tahun 2014, defisit menurun di posisi 2,95 persen terhadap PDB atau sekitar 26,2 miliar dolar AS.

Defisit tersebut disumbang oleh masih belum membaiknya kinerja perdagangan, jasa, dan pendapatan. Defisit transaksi berjalan ini pula yang membuat nilai tukar rupiah rentan dengan tekanan-tekanan perekonomian global.

Tidak dapat dipungkiri, upaya pemerintah dalam memperbaiki defisit transaksi berjalan kerap menjadi penilaian investor dan pengusaha dalam dan luar negeri untuk melihat kondisi perekonomian Indonesia secara menyeluruh.

Pengalaman krisis moneter 1998 dan krisis keuangan global pada tahun 2008–2009 telah membuktikan negara yang tidak mampu mengelola transaksi berjalan dan stabilitas perekonomian akan mudah tersulut dampak dari krisis ekonomi global.

Pada Kuartal I 2015, sinyal-sinyal kenaikan suku bunga Bank Sentral AS dan keyakinan belum membaiknya defisit transaksi berjalan telah menggerus nilai tukar rupiah terhadap dolar AS lebih dari 4 persen sepanjang Januari–Maret 2015.

Nilai tukar rupiah terus stagnan berada di kisaran Rp13.000,00–Rp13.200,00, atau terburuk sejak era 1998. Fluktuasi nilai tukar ini, yang dapat melesatkan nilai impor dan membuat kerugian kurs dari utang luar negeri, sempat dikhawatirkan menghambat pembangunan infrastruktur.

Pemerintah dan Bank Indonesia kompak mengeluarkan pernyataan-pernyataan bernada optimistis dalam menyikapi pelemahan rupiah meskipun kerap dicibir kalangan ekonom.

Namun, setidaknya pemerintah dan BI membuktikan bahwa tidak ada pembiaran untuk pelemahan rupiah, yang dapat saja terjadi berkepanjangan dan berdampak negatif pada dunia usaha.

Rancangan-rancangan kebijakan sebelumnya disusun dalam sebuah paket kebijakan ekonomi yang bermaksud memberikan efek perbaikan berlipat dan berjangka panjang terhadap struktural dan fundamental ekonomi.

Menteri Koodrinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil pada tanggal 16 Maret 2015 mengumumkan pemerintah siap mengimplementasikan paket kebijakan ekonomi, antara lain kelonggaran perolehan insentif pajak “tax allowance”, insentif “tax holiday”, dan pengenaan bea masuk antidumping sementara, serta bea masuk tindakan pengamanan sementara.

Kemudian, kebijakan mendorong penggunaan biofuel yang saat ini ditetapkan sebesar 10 persen menjadi 15 persen, serta menyiapkan pembentukan BUMN reasuransi untuk mengurangi defisit dalam transaksi jasa yang mencapai 10 miliar dolar AS pada tahun 2014.

Kebijakan selanjutnya adalah membebaskan visa untuk turis asing dari 30 negara sebagai upaya menambah devisa dan mendukung kewajiban penggunaan letter of credit (L/C) untuk transaksi dalam setiap usaha tertentu, seperti sektor pertambangan batu bara, migas, dan CPO.

Setelah pengumuman paket kebijakan tersebut, nilai tukar rupiah terus menggeliat. Kurs tengah Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) pada hari Selasa (17/3) atau sehari setelah pengumuman paket kebijakan, memperlihatkan kurs rupiah menguat 28 poin sebesar RP13.209,00 per dolar AS, dibanding penutupan hari sebelumnya yang di posisi terlemah 13.237,00 per dolar AS.

Dampak Paket Kebijakan Setelah pengumumkan paket kebijakan ekonomi tersebut, nilai tukar rupiah terus menguat. Bukan hanya paket kebijakan dari pemerintah saja, melainkan data ekonomi makro dalam negeri maupun luar negeri telah memberikan kepercayaan kepada investor untuk terus mengalirkan dananya ke pasar keuangan Tanah Air.

Seminggu setelah pengumuman paket kebijakan ekonomi, rilis dipertahankannya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate), dan surplus neraca perdagangan Februari, ditambah melesetnya perkiraan pemulihan ekonomi AS, membuat rupiah kembali bertengger di level psikologis Rp12.900,00 per dolar AS.

Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank, Selasa (24/3) pagi menguat 62 poin menjadi Rp12.960,00 dibandingkan posisi sebelumnya Rp13.022,00 per dolar AS.

Penguatan tersebut juga sangat dibantu keyakinan para pelaku pasar bahwa pemulihan ekonomi Amerika Serikat tidak akan secepat yang diperkirakan sebelumnya.

Ekonom DBS Group Gundy Cahyadi menilai salah satu indikator pemulihan ekonomi AS, yakni indeks peningkatan ketenagakerjaan belum memberikan capaian yang signifikan.

Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC), unit kebijakan The Fed, kata Gundy, juga belum memberikan sinyal keyakinan laju inflasi yang dapat sesuai target di posisi 2 persen.

Dari sisi domestik, Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan bahwa sentimen domestik juga datang dari suplusnya neraca perdagangan Februari 2015 sebesar 0,74 miliar dolar AS.

Sementara itu, pengamat pasar uang Bank Himpunan Saudara Rully Nova mengatakan bahwa kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki fundamental perekonmian telah mendorong lembaga pemeringkat asing untuk memberikan rekomendasi terhadap iklim investasi perekonomian Indonesia.

Ia mengatakan bahwa sentimen positif dari lembaga Rating and Investment Information, Inc. (R&I) telah mengafirmasi “Sovereign Credit Rating” Republik Indonesia pada ‘BBB-‘ (triple B minus) dengan outlook ekonomi stabil.

Namun, pemerintah diingatkan untuk tidak lengah meskipun tekanan terhadap nilai tukar rupiah mulai mereda.

Ekonom OCBC Bank Wellian Wiranto mengingatkan paket kebijakan ekonomi pemerintah harus segera diimplementasikan.

Menurut dia, realisasi kebijakan tersebut akan semakin menanamkan kepercayaan investor terhadap upaya serius pemerintah dalam memperbaiki struktural perekonomian.

Salah satu sasaran dari paket kebijakan tersebut juga dia yakini dapat menurunkan defisit neraca jasa dengan mengurangi repatriasi keuntungan perusahaan asing di dalam negeri.

“Investor dapat nyaman melakukan penahanan dividen di dalam negeri dan melakukan reinvestasi jika pemerintah benar-benar mengimplementasikan kebijakan tersebut,” kata dia.

Defisit transaksi jasa, yang di antaranya disumbang oleh sektor perkapalan, dan asuransi, serta defisit pendapatan, yang didorong dengan banyaknya bunga utang luar negeri dan repatriasi keuntungan terus menggerus transaksi berjalan Indonesia.

Pada tahun 2014, menurut data Bank Indonesia, defisit transaksi berjalan paling banyak didorong oleh defisit jasa dan pendapatan. Defisit jasa pada tahun 2014 mencapai 10,53 miliar dolar AS, sedangkan pendaparan primer defisit 27,82 miliar dolar AS.

Dampak Jangka Panjang Kalangan legislator menilai paket kebijakan ekonomi pemerintah dapat memberikan dampak positif dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Wakil Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat RI Gus Irawan Pasaribu mengatakan bahwa salah satu kebijakan yang sudah terealisasi, yakni fleksibilitas skema insentif pelonggaran pajak (tax allowance) yang “dihadiahkan” untuk investor berorientasi ekspor akan berkontribusi bagi kinerja perdagangan dan investasi di sektor rill.

Selain itu, kebijakan tersebut juga diyakini dapat menahan repatriasi keuntungan perusahaan asing ke induk usaha di dalam negeri.

“Skema insentif pajak dari pemerintah ini juga seharusnya dapat meningkatkan aliran investasi asing langsung untuk menumbuhkan sektor riil,” ujarnya.

Untuk terus memperbaiki neraca perdagangan migas, dan meredam dampak harga minyak dunia yang fluktuatif, dia mendukung peningkatan penggunaan biofuel hingga 15 persen, dengan catatan pemerintah juga harus mendorong produksi Bahan Bakar Nabati, dan sosialisasi penggunaannya kepada masyarakat.

Gus meyakini peningkatan penggunaan biofuel tersebut akan menghemat devisa karena pengurangan impor, yang akhirnya akan berdampak positif pada neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan.

“Akibatnya, dampak penurunan defisit transaksi berjalan di bawah 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2015,” kata Gus.

Sementara, kalangan pelaku industri asuransi menilai kebijakan pembentukkan BUMN induk reasuransi akan menurunkan defisit jasa. Akan tetapi, tidak dapat langsung signifikan pada tahun 2015.

Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Julian Noor meminta BUMN induk reasuransi, Indonesia Re, ke depannya harus diberikan penambahan modal agar kapasitasnya dapat lebih memadai untuk menampung premi asuransi dan perusahaan reasuransi dalam negeri.

Penamabahan modal ini juga, kata Julian, diperlukan jika Indonesia Re ingin merambah bisnis di tingkat kawasan, maupun global.

“Namun, untuk selanjutnya harus ada penguatan bertahap, termasuk dari segi modal. Apalagi, jika ingin bersaing di ASEAN,” kata dia.

Indonesia Re, yang merupakan hasil merger PT Reasuransi Umum Indonesia Persero dan PT Reasuransi Indonesia Utama Persero diperkirakan baru memiliki total ekuitas sekitar Rp2,5 triliun, kata Dirut PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) Frans Sahusilawane Pembentukan Indonesia Re tinggal menunggu landasan hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang diperkirakan terbit paling lambat pada akhir Semester I 2015.

“Semoga April, seperti rencana sebelumnya sudah dapat dikeluarkan,” ujar Frans.

Upaya Indonesia Re untuk menurunkan defisit jasa, akan dibantu dengan kebijakan lainnya, yakni penaikan penempatan premi reasuransi di dalam negeri (priority treaty) dan penaikan porsi retensi asuransi. Pembayaran premi reasuransi ke luar negeri pada tahun 2013 telah menyumbang sekitar Rp8 triliun pada defisit neraca jasa.