Keterangan foto: Bincang santai Stikom Bali dengan topik Pendidikan Tinggi, IT, dan Melawan Paham Radikalisme
Denpasar (Metrobali.com)-
Wartawan The Jakarta Post yang juga pemerhati budaya, I Wayan Juniartha mengatakan aksi radikalisme dan terorisme terjadi 90 persen perang media. Dalam konteks kekinian, aksi radikalisme dan terorisme itu cenderung sengaja disebarluaskan untuk menebar paham radikal tak hanya lewat media mainstream, tetapi juga media online.
“Media menjadi lahan subur dalam menyebarkan informasi radikalisme”, kata Juniartha saat acara bincang santai tentang pendidikan tinggi, IT dan melawan paham radikalisme, yang diselenggarakan Stikom Bali, Sabtu (26/05/2018) di kampus setempat di Denpasar.
Karena itu menurut Juniartha, peran lembaga pendidikan tinggi yang memiliki kemampuan di bidang teknologi, dapat bersinergi dengan berbagai pihak untuk menggaungkan dan menyebarluaskan semangat nasionalisme lewat penyebaran teknologi informasi dan komunikasi. Sementara itu bagi lembaga pendidikan tinggi seperti Stikom Bali yang memang menjadi perguruan tinggi yang berpengalaman tak hanya di bidang teknologi informasi, tetapi juga punya kepedulian dan komitmen tinggi terhadap pemajuan tentang kebudayaan, kesenian dan termasuk hal-hal yang menyangkut persatuan dan kesatuan bangsa.
“Kita harus menjadi pioner dalam mengungkap keunikan multikulturisme dan keberagaman yang ada di Indonesia”, ucap Wakil Ketua Yayasan Widya Dharma Shanti Induk Stikom Bali, I Made Marlowe Makaradhwaja Bandem, B.Bus.
Lebih lanjut Marlowe mengatakan, Indonesia sebagai bangsa yang memiliki keberagaman adat, agama, budaya, suku, ras dan golongan, sangat kuat menjaga toleransi dan kehidupan yang sejalan selaras dalam perbedaan dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Namun belakangan ini, ancaman terorisme mengancam eksistensi toleransi persatuan dan kesatuan bangsa ini.
Ancaman terorisme itu bahkan sudah merasuk ke elemen vital nasional seperti aksi teror yang terjadi di Surabaya beberapa waktu lalu. Sudah menjadi kewajiban semua elemen masyarakat untuk memperkuat kembali persatuan dan kesatuan serta empat konsensus kebangsaan yakni Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada banyak upaya untuk ikut aktif menangkal terorisme dan paham radikalisme.
Marlowe menyatakan, Stikom menyadari bahwa perkembangan teknologi informasi saat ini menjadi penting dalam upaya untuk menggabungkan spirit keberagaman itu lewat teknologi informasi. Ada sinergi yang menarik antara teknologi informasi komunikasi dengan seni budaya. “Sebagai contoh kami di Stikom Bali mendorong mahasiswa kami untuk lebih mendalam menyelami kesenian dan kebudayaan yang ada di Bali dan mengungkapkannya ke dalam bentuk bahasa teknologi kekinian seperti permainan, ensiklopedia multimedia atau yang lain”, ujarnya.
Apa yang dilakukan mahasiswa Stikom Bali ini dan hasil nyatanya sudah bisa dilihat langsung di playstore milik Stikom Bali di internet. “Banyak produk-produk budaya yang ada di website itu”, katanya singkat.
Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang berkecimpung di bidang teknologi informasi, langkah-langkah Stikom Bali untuk membangkitkan dan menggelorakan nasionalisme tak hanya berhenti disini. Menurutnya, Stikom Bali terus meluaskan kolaborasinya dengan berbagai pihak. “Semua elemen masyarakat harus bersatu padu bahu membahu menangkal radikalisme”, ajaknya.
Sementara itu, diskusi santai yang diinisiasi Stikom Bali ini,  menghadirkan narasumber Ketua Stikom Bali, Dr. Dadang Hermawan, dan wartawan The Jakarta Post, I Wayan Juniartha.
Pewarta : Gede Arik
Editor     : Hana Sutiawati