Muliarta

 LEMBAGA penyiaran harus mengedepankan prinsip jurnalisme damai dalam peliputan pemilu, khususnya dalam Pemilu 2014. Dengan mengedepankan prinsip jurnalisme damai maka pelaksanaan pemilu juga akan berlangsung dengan damai dan berjalan dengan lancar. Jurnalisme damai harus menjadi pedoman bagi lembaga penyiaran dalam menyiarkan pemberitaan terkait pemilu. Lembaga penyiaran jangan sampai terjebak dalam kepentingan politik sekelompok orang, caleg atau partai tertentu. Lembaga penyiaran harusnya berpihak pada kepentingan rakyat sebagai pemilik frekuensi.

 

 Pemberitaan yang provokatif dan berpihak harus dihindari oleh lembaga penyiaran. Jangan sampai lembaga penyiaran menjadi humas bagi kader partai, caleg atau bahkan pemilik media. Jangan sampai juga hanya demi mengedepankan pemberitaan yang eksklusif lembaga penyiaran mengabaikan prinsip-prinsif jurnalistik dan kode etik jurnalistik. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang standar program siaran dalam pasal 11 ayat (1) telah ditegaskan bahwa “program siaran wajib dimanfaatkan untuk kepentingan public dan tidak untuk kepentingan kelompok tertentu”. Pada ayat (2) juga telah ditegaskan bahwa “program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran bersangkutan dan/atau kelompoknya”. Selain itu, pada pasal 71 ayat (3) juga dengan tegas disebutkan bahwa “program siaran dilarang memihak salah satu peserta pemilihan umum dan/atau pemilihan umum kepala daerah.

 

Implementasi prinsip jurnalisme damai dapat dimulai dengan memberikan informasi yang benar, informasi yang adil dan memberikan kesempatan yang sama kepada semua pihak. Kehati-hatian tentu sangat dibutuhkan dalam peliputan pemilu. Persaingan dalam pemilu memang wajar terjadi tetapi lembaga penyiaran jangan terjebak dan hanya fokus persaingan antar kandidat. Jika lembaga penyiaran terjebak dalam pemberitaan persaingan antar kandidat maka lembaga penyiaran berpotensi memperluas konflik. Harusnya ada upaya bagi lembaga penyiaran menjadi jembatan bagi penyelesaingan konflik.

 

 Lembaga penyiaran memiliki kekuatan dan kemampuan untuk menggerakkan masyarakat. Jangkauan lembaga penyiaran dalam menyebarkan suatu pemikiran atau isu juga sangat luas. Kekuatan tersebut hendaknya disadari serta digunakan untuk kepentingan bersama yang lebih besar. Kekuatan lembaga penyiaran tersebut hendaknya digunakan untuk membangun kedamaian dan semangat toleransi. Jika kekuatan tersebut salah digunakan maka akan menimbulkan kehancuran dan kerugian.

 

 Besarnya kekuatan lembaga penyiaran untuk mempengaruhi  masyarakat merupakan peluang bagi lembaga penyiaran  untuk menjalankan fungsi   sosial, politik, ekonomi, dan budaya bangsa. Lembaga penyiaran seharusnya mampu memberikan tawaran solusi atau pemikiran dalam penyelesaian konflik dalam pemilu. Apalagi dalam salah satu poin dari Sembilan elemen jurnalisme Bill Kovach disebutkan bahwa kewajiban utama jurnalis adalah dalam pencarian kebenaran. Loyalitas utama jurnalis adalah pada warga negara bukan pada kelompok tertentu.

 

 Kebenaran pengungkapan fakta dan data menjadi titik awal bagi lembaga penyiaran dalam menyampaikan pemberitaan. Data yang akurat dan fakta yang obyektif tentu sangat penting. Sebab manipulasi fakta dan kesalahan data akan memicu terjadinya konflik. Kondisi ini menuntut lembaga penyiaran disiplin melakukan verifikasi data.  

 

 Dalam peliputan pemilu, lembaga penyiaran dituntut untuk mampu menjadi pemantau yang independent. Independent dalam melaporkan informasi kepada masyarakat. Tentunya untuk mampu independent, lembaga penyiaran harus mampu memberitakan pelaksanaan pemilu secara komprehensip dan proporsional. Dalam pasal 71 ayat (2)  Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia nomor 02/P/KPI/03/2012, sudah dengan tegas disebutkan bahwa “program siaran wajib bersikap adil dan proporsional terhadap para peserta pemilihan umum dan/atau pemilihan umum kepala daerah.

 

 Lembaga penyiaran dalam memberitakan atau menyiarkan informasi kepada pemilu kepada public juga dituntut untuk mampu melindungi kepentingan publik. Hal ini sesuai dengan poin yang tertuang dalam pasal 11 (ayat (1) pada Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia nomor 01/P/KPI/03/2013 tentang pedoman prilaku penyiaran. Dimana disebutkan bahwa “lembaga penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik”. Pada sisi lain, lembaga penyiaran juga dituntut untuk mampu menjaga netralitas. Jika lembaga penyiaran tidak mampu bersikap netral maka tentu ada keberpihakan dan cenderung akan menimbulkan pemberitaan yang berat sebelah. Aturan netralitas tersebut tertuang dalam pasal 11 (ayat (2) pada Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia nomor 01/P/KPI/03/2013. Pada pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa “lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran. Pasal 11 ayat (2) memberikan batasan bahwa dalam pemberitaan pemilu, lembaga penyiaran seharusnya tidak memandang dari sisi hitam – putih atau kalah menang.

 

 Dengan memegang prinsip Jurnalisme damai, tentunya lembaga penyiaran akan mampu mengungkapkan ketidakbenaran di kedua belah pihak. Upaya mengungkap ketidakbenaran tentu akan menjadi informasi penting bagi masyarakat dan pihak yang berkonflik. Pengungkapan ketidakbenaran juga akan menjadi koreksi bagi pihak-pihak yang berkonflik. Koreksi atau evaluasi tentu akan menjadi langkah awal bagi adanya perbaikan. Pendekatan jurnalisme damai memberi jalan baru bagi pihak-pihak yang bertikai  untuk menyelesaikan konflik secara kreatif dan tidak memakai jalan kekerasan

 

 Pengembangan konsep jurnalisme damai bagi lembaga penyiaran tentunya akan membantu lembaga penyiaran untuk melaporkan suatu kejadian dengan bingkai yang lebih luas, lebih berimbang lebih akurat. Pemberitaan yang berimbang dan akurat akan sangat membantu dalam meredam konflik. Masyarakat juga tidak akan risau terhadap konflik yang terjadi.

 

 Potensi terjadinya konflik pada pemilu tahun ini memang cukup besar. Daftar Pemilih Tetap (DPT) dapat saja menjadi salah satu pemicu. Kebenaran informasi, dan keakuratan data dalam pemberitaan di lembaga penyiaran tentu sangat penting dalam meredam berbagai isu-isu terkait DPT. Hal lain yang perlu diantisipasi lainnya adalah penyampaian informasi yang berimbang dan akurat saat pelaksanaan pemungutan suara. Jangan sampai isu kecurangan yang belum tentu kebenarannya langsung diberitakan oleh lembaga penyiaran. Cek dan re-cek harus dilakukan lembaga penyiaran, jangan sampai isu tersebut menjadi pemicu munculnya konflik.

 

 Kasus lain yang juga patut diwaspadai adalah isu “pencurian suara” saat pengitungan suara. Lembaga penyiaran harus mampu menjelaskan secara detail permasalahan tersebut. Pemberitaan yang tanpa disertai keakuratan informasi dapat menjadi titik awal munculnya konflik. Jangan sampai berita yang disiarkan lembaga penyiaran justru memicu munculnya konflik. Padahal seharusnya lembaga penyiaran memberi tawaran-tawaran solusi dalam penyelesaian konflik.

 

 Penulis : I Nengah Muliarta (Komisioner KPID Bali) Hp. 081338576547