Keterangan foto: Pengamat sosial ekonomi I Gde Sudibya/MB

Denpasar, (Metrobali.com) –

Pengamat sosial ekonomi I Gde Sudibya menyatakan, sebagian masyarakat Bali terlalu lama dinina-bobokkan oleh “rezeki nomplok” pariwisata yang berlangsung kurang lebih 40 tahun.

“Nyaris tidak ada koreksi kebijakan untuk melakukan penyeimbangan antara sektor industri pariwisata dengan sektor non industri pariwisata, sehingga akibatnya  sektor: pertanian, perkebunan, industri pengolahan komoditas pertanian tidak mengalami pertumbuhan yang significan. Demikian juga dengan sektor perikanan,” kata Gde Sudibya.

Ia mengatakan, perdagangan komoditas ini, dalam artian perdagangan antar pulau dan juga kegiatan ekonomi ekspor tidak pernah dikelola secara serius. Industri pengolahan sektor pertanian  untuk peningkatan nilai tambah, tidak pernah ditangani secara serius, mulai dari: riset, schema pembiayaan yang cocok, penyiapan SDM, pemilihan teknologi tepat guna,  strategi pemasaran dalam perspektif global.

Apalagi kepemimpinan dan sistem birokrasi di Bali, secara umum, punya kecendrungan rutinitas, miskin trobosan, dengan varian yang berbeda.  Berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Jika kita merujuk kriteria dan kinerja dari Jokowi sewaktu menjadi Wali Kota Solo, Ahok untuk Jakarta,  Ridwan Kamil untuk Bandung, Abdulah Azwar Anas untuk Banyuwangi, Ibu Risma untuk Surabaya. Dan sejumlah nama “super star” di sejumlah daerah.

“Buah hasilnya kini dari paceklik pariwisata akibat pandemi Covid-19, dengan tekanan dan penderitaan ekonomi yang tajam sangat kita rasakan, ” kata Gde Sudibya seraya menambahkan, tekanan ini terasa sangat berat dan sangat membebani ( dalam artian psikologis ) karena tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Derita pandemi ini, menurut dia, semestinya menjadi pil pahit kehidupan, untuk kita menjadi lebih rendah hati melakoni kehidupan, ojo dumeh ( dalam ungkapan kearifan Jawa ),  tidak lagi ” belog ajum “, dan kembali menata ulang sikap ” paras-paros “, pengembangan ethos kerja yang bercirikan: kesederhanaan, kerendahan hati, dan semangat pantang menyerah, yang telah diteladankan oleh para Tetua Bali.

“Tidak pernah berhenti belajar dan mencoba , trials and erors, kreativitas tanpa henti, yang merupakan ciri dasariah kebudayaan Bali,” tandasnya.

Ungkapan tetua orang Bali: ” pekebeh mraga guru “, tekanan dan krisis kehidupan sebagai guru kehidupan, sebagai landasan bangkit jengah untuk mencari solusi terhadap persoalan, melangkah ke depan, menatap fajar baru perubahan yang harus dilakoni, tidak mudah, bukan berarti tidak mungkin.

Banyak pengamat berpendapat bahwa Pandemi Covid-19 adalah tes peradaban bagi insan- insan manusia, apakah mampu bertahan dan kemudian bangkit. Atau mengalami krisis berkepanjangan dan kemudian kalah terhadap virus ini , yang disusul dengan kemerosotan peradaban.
Kalau kemungkinan hasilnya begitu diametral: bangkit atau terpuruk berkepanjangan, tantangan bagi krama Bali untuk bangkit bersatu, jengah melawan virus dan konsekuensinya, kerja- kerja metaksu untuk prestasi dan kinerja luar biasa.

Dikatakan, dalam masyarakat dengan tradisi paternalistik dengan orientasi vertikal, para pemimpin: politik, agama, budaya, ekonomi  semestinya berada di garda terdepan.

Editor : Hana Sutiawati