Nyoman Dhamantra dalam sosilisasi dan sima krama di Banjar Serongga Kaja, Desa Serongga, Gianyar

Gianyar (Metrobali.com)-
Pengelolaan anggaran negara adalah suatu aktivitas ekonomi politik yang sebenarnya sangat sederhana. Namun, menjadi (dibuat) rumit karena beberapa keputusan yang diambil sarat muatan politik. Dimana, sejumlah ‘rekayasa’ anggaran dilakukan dalam mendukung popularitas pemimpin atau penguasa, melalui program jangka pendek seperti hibah, bantuan sosial (Bansos) dan sejenisnya, yang mengabaikan tujuan jangka panjang yakni kesejahtraan, kemandirian ekonomi dan berkebudayaan Indonesia.

Demikian catatan Nyoman Dhamantra dalam sosilisasi dan sima krama di Banjar Serongga Kaja, Desa Serongga, Gianyar, yang dihadiri  Kepala Desa, A.A Udayana, Bendesa Adat Serongga Ida Bagus Semara Putra, Kelian Adat Br. Serongga Kaja I Nyoman Sadra, serta Kelian Dinas Br.Serongga Kaja, Ida Bagus Eka Ananda dan ratusan warga.

Dalam kesempatan tersebut Nyoman Dhamantra menyatakan, Indonesia menamakan “anggaran negara” dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tingkat pusat dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk tingkat daerah. APBN dikuatkan dengan undang-undang, suatu aransemen kelembagaan sangat tinggi di Indonesia di bawah konstitusi negara; sedangkan APBD dikuatkan dengan peraturan daerah (Perda), juga aransemen kelembagaan tinggi di daerah. “Dengan keluarnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka ke depan akan disusun APBDES, dan disahkan dalam Peraturan Desa (Perdes). Dalam penyusunan ini, perlu partisipasi aktif segenap komponen Desa, dan punya komitmen menjaga kemandirian desa adat,” katanya, menganjurkan.

Lebih jauh, Nyoman Dhamantra menjelaskan secara umum bahwa, anggaran Negara memiliki tiga fungsi strategis, yakni: Pertama, fungsi referensi, maksudnya anggaran negara berfungsi sebagai panduan pengambilan keputusan negara bagi individu, rumah tangga dan dunia usaha dalam mengambil keputusan strategis dalam aktivitas konsumsi dan produksi barang dan jasa yang bermanfaat bagi perekonomian.

Kedua, fungsi stimulus, artinya  anggaran negara didorong untuk mampu menggerakkan tingkat permintaan agregat untuk merangsang investasi dan produksi barang dan jasa.

Ketiga, fungsi keadilan, adalah bahwa anggaran negara berfungsi sebagai pemenuhan hak-hak dasar (HAM), karena negara berkewajiban “to provide, to preserve and to protect” hak tersebut, bagi peningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Menurut Dhamantra, selama lima belas tahun terakhir perjalananan era reformasi, anggaran negara di Indonesia sangat sulit memenuhi ketiga fungsi di atas, apalagi secara sekaligus. “Faktor yang utama dari buruknya kinerja anggaran negara menjalankan ketiga fungsi di atas adalah karena kinerja pengelolaan anggaran memang sangat jauh dari memadai, dari perencanaan, perumusan, pembahasan, legislasi, pelaksanaan, monitoring dan pengawasan. Kedepan, hal ini membutuhkan perhatian serius dari segenap komponen (stake holder) pembangunan,” ajak Nyoman Dhamantra

Sebelum memiliki kekuatan hukum tetap, suatu anggaran negara didahului oleh suatu “rencana” sehingga lazim digunakan istilah RAPBN, RAPBD, dan nantinya RAPBDES. Umumnya diantarkan oleh seorang kepala eksekutif pemerintahan di depan sidang para wakil rakyat di lembaga legislatif disetiap tingkatan. “Harus dicegah alokasi yang bersifat normatif dan urusan rutin, atau belanja pemerintah lebih tinggi dari biaya pembangunan. Bagaimana mencapai kesejahteraan, kemandirian dan kedaulatan ekonomi, jika komposinya jomplang dan berjangka pendek? Hal ini harus diatasi bersama,” katanya, sambil mengakhiri Simakrama.  RED-MB