PADA 11 April 2012 lalu, Kementrian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkominfo) bekerjasama dengan Pemprov Bali menyelenggarakan Pertemuan Forum Penguatan Literasi Media yang pertama di Bali. Tempatnya di Hotel Harris Kuta, diikuti sekitar 100 peserta dari kalangan akademisi, organisasi profesi, pengelola media, organisasi kewartawanan, tokoh masyarakat, tokoh agama, mahasiswa dan pejabat kehumasan provinsi serta kabupaten/kota se-Bali.

Dalam pertamuan sehari itu peserta berkesempatan langsung dialog dengan narasumber berkompeten diantaranya Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Tarman Azzam dan pakar Kemenkominfo RI Amir Sar Manihuruk. Melalui kegiatan seperti itu sudah tentu banyak sekali informasi dan kiat literasi media diserap peserta, apalagi momentum kegiatan masih hangat dengan suasana kasus pemberitaan antara Gubernur Bali Made Mangku Pastika dengan Bali Post.

Kasus pemberitaan Gubernur Made Mangku Pastika oleh Bali Post secara implisit dijadikan contoh bagus dalam forum itu. Pensiunan Wartawan Kompas, Raka Santeri bahkan dengan tegas mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu ragu, apalagi takut mengungkap kebenaran ketika berhadapan dengan media. Jangan dipersoalkan jika karena sikap berani karena benar itu pada keesokan harinya media itu akan memuat habis kejelekan penyuara kebenaran. Pertanyaannya, mengapa literasi media perlu di Bali?

 Kapitalis

Berikut adalah argumentasi perlunya literasi media itu. Pertama, sebagaimana kondisi nasional, pertumbuhan industri media dan perkembangannya di Bali begitu pesat. Pertumbuhan itu pada satu sisi dapat dimaknai secara positif membawa peningkatan pada kedewasaan berdemokrasi dan mekanisme kontrol masyarakat. Namun pada sisi lain, telah mengakibatkan persaingan semakin ketat dalam industri media dan mempertajam motif pencarian keuntungan sehingga menyebabkan terkikisnya nilai-nilai ideologis yang mendasari idealisme media. Hal ini menjauhkan sebagian media dari fungsi yang semestinya.

Media massa yang seharusnya menjadi sarana menciptakan masyarakat yang lebih baik, lebih cerdas, lebih dewasa, lebih kritis dan lebih berpikiran terbuka, justru sebaliknya telah menjadikan masyarakat yang lebih baik tetapi bukan untuk kepentingan masayarakat itu sendiri, melainkan untuk kepentingan kapitalis pemilik media. Masyarakat lebih sering menjadi semata-mata komoditas yang dijual untuk kepentingan profit atau keuntungan finansial dalam kancah persaingan industri media.

Kedua, di tengah himpitan motif keuntungan dan semakin pudarnya ideologi yang melingkupi industri media, masyarakat konsumen media menjadi sulit mengakses informasi yang tidak berpihak. Sajian media umumnya telah terkontaminasi oleh kapitalisme media dan mengakibatkan kesenjangan komunikasi antara pengelola lembaga media dengan publiknya, yaitu masyarakat.

Oleh karena itu, menghadapi orientasi media yang demikian itu, masyarakat membutuhkan literasi media agar tidak terombang ambing pesan berita yang tidak semestinya. Masyarakat perlu diberdayakan. Dan pemberdayaan itu dapat dilakukan melalui literasi media atau media literasi: pembekalan kemampuan memilah dan menilai isi media massa secara kritis sehingga masyarakat mampu memilah dan menilai isi media secara kritis.

Dengan literasi media, masyarakat akan dapat memilah berita media yang bermanfaat dan yang sekedar memenuhi kepentingan pemilik atau pengelolanya. Masyarakat juga mampu memilah berita yang sesuai fakta, berimbang, adil, independen dan tidak beritikad baik sebagaimana ketentuan Kode Etik Jurnalistik dan berita yang merugikan dirinya, bahkam merugikan sendi-sendi persatuan dan kesatuan, kejujuran, dan kebenaran. Dengan begitu, masyarakat mengurangi ketergantungannya terhadap media.

Media literasi ini sangat penting untukBali. Pertama, karena banyak media (secara nasional) kurang seimbang dalam memainkan fungsi dan perannya di masyarakat. Kedua, literasi media relatif sangat rendah di masyarakat, dan Ketiga, media massa berikut sumber daya manusianya perlu meningkatkan tanggungjawabnya terhadap upaya-upaya peningkatan mutu dan kemajuan bangsa dan negara.

Harapan yang ingin diwujudkan media literasi adalah : Pertama, masyarakat yang faham isu-isu liputan media. Kedua, masyarakat yang menyadari bahwa media memiliki kemampuan memengaruhi gaya, sikap dan nilai. Ketiga, masyarakat mampu bersikap kritis terhadap pesan media. Keempat, mengembangkan sikap kritis masyarakat terhadap isu media karena berkaitan dengan kebudayaan dan pluralisme. Kelima, mendidik masyarakat memahami aspek kepemilikan, finansial dan regulasi media berpengaruh terhadap industri dan pesan media. Keenam,  mendidik masyarakat memperhitungkan peran media dalam membuat keputusan individual; dan Ketujuh, mengajak masyarakat mampu memengaruhi media.

Jika masyarakat mampu berikap dan bertindak seperti itu, maka media literasi bertujuan mengajak media bermitra dengan masyarakat untuk kembali pada orientasi awalnya yaitu menyajikan pemberitaan yang mendidik, mencerahkan, dan memberdayakan. Berita dan tayangan media bersifat meredam konflik serta membangun ruang publik yang sehat demi optimalisasi partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan kelangsungan hidup dan kesejahteraan industri media itu sendiri.

 

Boikot

            Bagaimana jika media tetap ngelupeng (mbalelo)? Amin Sar Manihuruk mengatakan masyarakat dapat melakukan tiga hal. Pertama, secara perorangan mengirim surat elektronik (e-mail), surat pembaca, facebook, twitter, youtube, dll. Kedua, secara berkelompok memboikot media yang tidak profesional, kemudian mendorong peran legislatif agar peduli kondisi media massa sampai dengan menuntut secara hukum. Dan ketiga, membangun opini publik dengan menulis artikel, publikasi-publikasi tercetak, dan diskusi di media massa.

Lebih lanjut Amin Sar mengatakan, penyimpangan media tidak boleh dibiarkan. Membiarkan penyimpangan sama dengan membiarkan pembohongan publik dan itu merupakan pembusukan demokratisasi. “Tanpa media literacy, publik yang aktif, dan bersedia melakukan kontrol serta kritik terhadap media, sama halnya  membiarkan adanya bentuk baru kezaliman dan pembodohan. Itulah pembusukan demokrasi,” urai Amin.

Sementara Kemenkominfo RI sendiri menetapkan tiga cara media literasi. Pertama, mendorong peningkatan profesionalisme di lingkungan media. Kedua, meningkatkan literasi masyarakat terhadap media di mana masyarakat dibekali pengetahuan dan pedoman mengikuti media secara cerdas. Ketiga, memfasilitasi masyarakat melakukan pengawasan dan koreksi kepada media yang akan menjadi masukan bagi Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), maupun industri media secara langsung.

* Dewa Rai Anom

* Peserta Pertemuan Forum Penguatan Literasi Media