JARUM jam terus berputar dari detik dan menit terus bergerak hingga tak terasa duka dan jeritan derita tragedi kemanusiaan bom Bali yang merenggut 202 korban tewas dari 20 negara telah berlalu sebelas tahun silam.

Ledakan dahsyat di kawasan Legian Kuta meluluhlantakkan Sari Club dan Paddy’s Club pada malam hari, 12 Oktober 2002, mengakibatkan lebih dari 350 orang mengalami luka-luka, termasuk cacat tetap.

Meskipun peristiwa tragis itu kini tidak lagi diperingati secara khusus seperti tahun-tahun sebelumnya, Haji Agus Bambang Priyanto (53) tidak bisa melupakan pristiwa itu dalam hidupnya.

Salah seorang sukarelawan tragedi Bom Bali sebelas tahun silam itu menyempatkan diri berdoa dan meletakkan karangan bunga di Monumen Ground Zero di Legian, Kuta, Tugu yang memuat nama-nama korban bom Bali sebelas tahun tragedi kemanusiaan itu tidak begitu ramai. Namun, ada saja keluarga korban bom yang datang.

Sosok pria yang tinggal di kawasan Kuta yang kehidupannya berbaur dengan masyarakat setempat terus mengenang tragedi kemanusiaan itu meskipun tidak ada anggota keluarganya yang menjadi korban.

Pria energik pensiunan pegawai negeri yang kini mengabdikan dirinya dalam kegiatan sosial melalui Palang Merah Indonesia (PMI) Bali, keluarganya tinggal di Kuta sejak 88 tahun silam, ketika embahnya pada tahun 1925 mulai merantau ke Bali.

Tragedi bom Bali membuat dirinya merasa terpukul berat. Bahkan ketika menjadi saksi yang mengadili pelaku bom Bali di Pengadilan Negeri Denpasar tidak dapat menyembunyikan rasa syok dan kesedihannya.

Pensiunan PNS Dinas Perhubungan Kabupaten Badung itu berkali-kali meminta izin kepada ketua majelis untuk mengusap lelehan air mata dalam memberi kesaksikan.

Haji Bambang yang telah meluncurkan buku biografi setebal 228 halaman yang mengulas tentang perjalanan hidupnya sejak dalam kandungan hingga akhirnya setelah menjadi sukarelawan Bom Bali I dan melakukan berbagai misi kemanusiaan di Tanah Air.

Ia mengaku sering bertanya kepada dirinya sendiri kenapa Bali dibeginikan (dibom), apa salah kami, apa dosa Bali, sampai-sampai menjadikan porak poranda.

Atas kenyataan itu sosok pria yang ramah itu terus berada di lokasi untuk membantu korban bersama warga masyarakat Kuta dan petugas dari instansi terkait lainnya sejak bom meletus dalam menangani korban.

Pengalaman yang tidak pernah dilupakan, saat berada di tempat kejadian perkara (TKP) banyak menerima keluarga korban, bahkan tujuh orang keluarga korban asal Bali masing-masing menyodorkan kain putih (kain kase) meminta bisa diambilkan tanah di lokasi bom yang menurutnya tanah itu dianggapnya sebagai jasad keluarganya yang meninggal itu.

Bom Bali telah menjadikan periuk dapurnya kembang kempis karena saat itu Haji Bambang bersama keluarga menggantungkan hidup dari penghasilan sebuah art shop yang menjual berbagai jenis cendera mata.

Dapurnya bisa mengepul berkat tabungan yang disisakan sebelum tragedi bom. Namun, tidak bertahan lama karena terus diambil. Begitu tanda-tanda pariwisata mulai pulih kembali diserang Bom Bali II, 1 Oktober 2005, bahkan pariwisata Bali kembali terpuruk.

Meskipun demikian dia mengaku sangat bersyukur bisa hidup di Bali, kerukunan antarumat beragama sangat baik, satu sama lain hidup bedrdampingan secara mesra dan harmonis tanpa pernah ada masalah.

Bahkan ratusan calon anggota jemaah haji dari wilayah Kabupaten Badung ke Tanah Suci Mekah berkat sentuhan dari sektor pariwisata, tutur Haji Bambang.

Keikhlasan Menuntun Langkah Haji Agus Bambang Priyanto, sukarelawan tragedi Bom Bali 2002 telah meluncurkan buku biografi berjudul “Keikhlasan Menuntun Langkahku”.

Buku itu diharapkan mampu menjadi inspirasi bagi anak-anak muda dalam membantu sesamanya, khususnya dalam kegiatan sosial. Hal itu dinilai sangat penting karena zaman sekarang materialistis, segala sesuatu diukur dengan uang.

Oleh sebab itu. ke depan jika dalam melakukan misi kemanusiaan selalu berpikir materialistis, siapa yang akan melakukan pekerjaan sosial tersebut.

Ia mengharapkan muncul Haji Bambang-Haji Bambang lainnya, sehingga pada saat negara menghadapi tragedi atau bencana, ada sosok yang tampil melakukan pertolongan secara ikhlas dan sukarela.

Haji Bambang juga pernah mendapat kesempatan berbicara di depan forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. “Saya berbicara di forum PBB atas undangan Sekjen PBB Ban Ki-moon,” katanya.

Sebagai sukarelawan, sebagian besar halaman buku biografi itu memang mengisahkan Haji Bambang ketika pukul 23.00 Wita melakukan proses evakuasi korban dan berpuluh-puluh hari bersentuhan dengan tim investigasi.

“Waktu itu, saya diberikan kepercayaan oleh Karo Humas dan Protokol Pemprov Bali I Gede Nurjaya untuk memandu tamu-tamu VIP dari Jakarta maupun berbagai negara untuk menjelaskan tragedi itu kepada mereka yang mendatangi monumen peringatan tragedi (Ground Zero) di Kuta,” kenangnya.

Di tempat itu, Haji Bambang banyak memberi pengarahan kepada masyarakat yang datang bersimpati dan berdoa. Ketika tragedi bom yang meluluhlantakkan Sari Club dan Paddy’s Club pada malam 12 Oktober 2002, dia bisa cepat ke lokasi karena belum tertidur.

“Saya sedang membaca koran di rumah, di kawasan Kuta Permai, jaraknya 900 meter dari tempat kejadian. Dalam keadaan masih terjaga itulah yang menjadikan saya cepat ke lokasi untuk mencari tahu apa yang terjadi, awalnya saya kira bunyi ledakan berasal dari pesawat yang jatuh,” kenang Haji Bambang terhadap peristiwa sebelas tahun silam.

Sebagai kenangan semua peralatan yang digunakan untuk mengevakuasi korban seperti senter, HT, dan topi masih disimpan dengan baik dan rapi, tutur Haji Bambang yang menangani masalah kebencanaan PMI Bali.

PM Australia Perdana Menteri Australia Tony Abot serangkaian menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Negara Asia Pasifik (KTT APEC) di kawasan Nusa Dua, Kabupaten Badung menyempatkan diri mengunjungi Monumen Ground Zero di Legian, Kuta, Rabu (9/10).

Ia meletakkan karangan bunga sambil berdoa menundukkan kepala secara khidmat di monumen yang khusus dibangun untuk menghormati 202 orang korban meninggal dalam serangan teror yang sebagian besar adalah warga negara Australia.

Dari 202 korban meninggal, 88 orang di antaranya warga negara Australia.

Perdana Menteri Tony Abbott saat itu mengungkapkan rencana untuk memberikan kompensasi warga Australia yang menjadi korban serangan teror di luar negeri, termasuk keluarga mereka.

Korban serangan teror di luar negeri dan ahli warisnya dapat mengajukan kompensasi sebesar 75 ribu dolar Australia atau 70,700 dolar AS. Dalam rencana ini, pemerintah akan menyiapkan anggaran sekitar 30 juta dolar Australia.  * Sutika/Antara