Nusa Dua (Metrobali.com)-

Kemacetan parah yang melanda Pulau Bali benar-benar harus dicarikan jalan ke luarnya. Setahun lebih setelah disoroti majalah ternama “Time”, kemacetan di Pulau dewata belum menemukan solusi. Meski sedang dibangun jalan tol yang menghubungkan Benoa-Bandara Ngurah Rai-Nusa Dua dan jalan bawah tanah di Simpang Dewa Ruci, Kuta, tetap saja masih dianggap kurang. Hingga muncul ggasan membangun jalan layang di atas sawah seperti disampaikan Kabubdit Wilayah 2 C (Bali-NTB-NTT) Dirjen Bina Marga, Susalit Alusius.

Atas gagasan Susalit, Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto mendukung wacana pembangunan jalan layang di atas sawah di Bali. Jalan layang di atas sawah, kata Djoko,  merupakan solusi untuk mengatasi problem kemacetan tanpa harus mengorbankan lahan pertanian di Bali.

“Kalau terpaksa, itu mungkin saja. Ini tidak hanya di Bali, di mana saja bisa seperti itu,” ujar Djoko saat meninjau proyek jalan tol Benoa-Bandara Ngurah Rai-Nusa Dua, Kamis 27 September 2012.

Djoko menyatakan, jalan layang di atas sawah bisa dilakukan apabila proyek jalan itu memerlukan lahan yang cukup besar, dan lahan yang akan dipakai ada di jalur pertanian yang masih produktif.

“Kalau kita perlu jalan raya yang memerlukan pembebasan tanah yang besar padahal tanahnya sangat diperlukan untuk pertanian, ya salah satu jalan keluarnya ya buat jalan layang di atas sawah itu, seperti jembatan panjang, bisa saja terjadi, tapi nanti kita hitung-hitung dulu,” katanya.

Ide jalan layang di atas sawah ini, sebelumnya  disampaikan oleh Kasubdit Wilayah 2 C (Bali, NTB, NTT) Dirjen Binamarga, Susalit Alius, di Kuta.

Menurut Susalit, ada dua jalan layang di atas sawah yang saat ini sedang dalam tahap pengkajian. Pertama adalah jalan layang yang menghubungkan Kuta-Tanah Lot-Soka (perpanjangan Jalan Sunset Road Kuta) dan jalan layang di atas sawah yang menghubungkan Beringkit-Batuan-Purnama. Lebar jalan layang di atas sawah ini mencapai 30 meter dan terdiri dari 4 lajur. Jalan layang ini dibuat lebih rendah dari tinggi pohon kelapa mengikuti kearifan lokal masyarakat Bali.

Saat ini, kata Susalit, pihaknya baru akan membuat kajian yang diperkirakan akan memakan waktu 3 hingga 6 bulan. Kajian ini mencakup kajian RTRW dan kajian Perpres tentang tata ruang Sarbagita. Rencana pembangunan jalan layang di atas sawah ini juga sudah disampaikan kepada pihak Pemkab Badung dan DPRD Badung.

“Jalan layang di atas sawah ini nantinya semata-mata hanya untuk jalan, tidak untuk apapun (kepentingan lainnya). Oleh karena itu, jalan layang ini perlu dikunci oleh sebuah Perda dan aturan tata ruang supaya tidak ada pembangunan apapun di sekitarnya selama 25 hingga 30 tahun ke depan,” kata Susalit.

“Bentuknya nanti kira-kira seperti jalan yang mau menuju ke Bandara Sukarno-Hatta, Jakarta, ada tiang pancangnya. Di jalan layang di atas sawah ini, orang atau petani tetap bisa bertani di bawahnya. Dalam pembangunan jalan layang di atas sawah ini, tidak akan ada alih fungsi lahan dan juga akan bisa mengurangi dampak alih fungsi lahan. Yang ada hanya menambah jaringan jalan,” papar Susalit.

Tujuan yang ingin dicapai dari  pembangunan jalan layang di atas sawah ini, jelas Susalit,  adalah bagaimana agar terwujud jaringan jalan baru di Bali yang tidak merusak lingkungan. Sawah tetap ada dan bisa menjadi daya tarik wisata tersendiri.

“Rencana jalan layang di atas sawah ini mendukung program pro green  dan wisata hijau.  Satu-satunya daerah metro di Indonesia yang ada sawahnya cuma ada di Bali. Jadi mari  kita jaga agar metro Bali selalu hijau,” pungkas Susalit.