orang utan

Jakarta (Metrobali.com)-

Aktivis perlindungan orangutan mengatakan masa depan Orangutan Sumatera sangat tergantung pada Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

“Orangutan Sumatera terancam punah dan jumlahnya semakin sedikit. Apalagi saat ini tempat tinggalnya terancam oleh alih fungsi lahan,” kata Direktur Program Konservasi Orangutan Sumatera Ian Singelton di Jakarta, Senin (22/9).

Dalam temu pers terkait desakan terhadap pemerintah untuk melindungi KEL, Ian mengatakan mayoritas orangutan Sumatera hidup di KEL.

Namun saat ini wilayah tempat tinggal mereka banyak beralih fungsi untuk perkebunan sawit.

“99 persen orangutan mati dalam proses pembukaan lahan sawit itu,” tambah Ian.

Bukan hanya orangutan, tapi juga sejumlah satwa yang dilindungi seperti badak, gajah dan harimau juga terancam hidupnya.

“Kita sering mendengar pembantaian gajah untuk diambil gadingnya. Sepuluh tahun lagi jika kondisi ini terus berlanjut, gajah tidak akan ada lagi,” kata dia.

Selain ancaman terhadap satwa, manusia juga terancam terutama masyarakat yang tinggal di sekitar KEL karena kerusakan lahan menyebabkan terjadinya tanah longsor dan banjir bandang yang menimbulkan korban jiwa.

Terancamnya kehidupan satwa dan manusia yang hidup di sekitar KEL karena Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang diusulkan Pemerintah Aceh dalam bentuk Qanun (peraturan daerah) nomor 19 tahun 2013 tentang Tata Ruang mengizinkan Kawasan Ekosistem Leuser jadi area penebangan kayu, pertambangan dan perkebunan.

Menurut Ian, isu tersebut sudah menjadi isu global sebab dampaknya akan dirasakan masyarakat dunia. Indonesia disebut sebagai negara penghasil emisi terbesar ketiga didunia setelah Amerika dan Tiongkok.

Emisi tersebut dihasilkan dari deforestasi dan kebakaran lahan gambut. Sedangkan hutan yang masih bagus kondisinya di Sumatera adalah KEL yang sebagian juga merupakan lahan gambut.

“Jika RTRW Aceh ini disetujui maka pemerintah akan sulit memenuhi target penurunan emisi 26 persen,” kata Ian. AN-MB