film

Denpasar (Metrobali.com)-

 

 Sebanyak 66 film dokumenter dari berbagai daerah di Tanah Air ambil bagian dalam kompetisi yang diselenggarakan Denpasar Film Festival (DFF) ke-6 tahun 2015. Karya-karya tersebut terbagi menjadi dua kategori yakni Kategori Umum (49 karya) dan Kategori Pelajar (17 karya). Kategori Umum berasal dari Banda Aceh, Medan, DKI Jakarta, Tangerang, Tasikmalaya, Purbalingga, Yogyakarta, Banyuwangi, Malang, Buleleng, Semarang, Pekalongan, Surabaya, Makasar, Mataram, Kendari, Samarinda, Ambon, dan Denpasar sendiri. Sedangkan karya untuk Kategori pelajar berasal dari Karangasem, Gianyar, Buleleng, Denpasar, Badung, Klungkung, dan Tabanan.

Karya-karya tersebut langsung masuk tahap seleksi awal oleh Dewan Kurator yang terdiri dari Tonny Trimarsanto, Putu Kusuma Widjaja, dan Gezon Ron Ayawaila. Tonny Trimarsanto adalah sineas asal Klaten, Jawa Tengah, yang memenangi sedikitnya lima penghargaan internasional di bidang dokumenter. Putu Kusuma Widjaja, alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Film Academie Amsterdam yang menetap di Buleleng, adalah sineas dokumenter yang juga familiar di sejumlah ajang film bertaraf internasional. Sedangkan Gerzon Ron Ayawaila, lulusan Universiteit van Amsterdam yang kini mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) adalah anggota Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang sangat getol memajukan film dokumenter di Indonesia.

Tentang tema yang diangkat dalam karya-karya dokumenter yang dilombakan tersebut, Direktur DFF, Agung Bawantara, mengatakan bahwa sebagian besar peserta mengangkat tema lingkungan khususnya yang berkaitan dengan air, sesuai tema DFF 2015 yakni “Air dan Peradaban.” Padahal menurut Agung, khusus untuk lomba film dokumenter, panitia membebaskan peserta mengangkat tema apa saja ke dalam karyanya. Hal itu didasari pertimbangan bahwa pada tahap penguatan gairah Sineas Nusantara untuk membuat film dokumenter saat ini, panitia tak ingin membatasi mereka untuk mengangkat isu-isu menarik dan penting di daerahnya masing-masing. Penetapan tema tertentu pada fase ini, akan membuat isu-isu yang tak sesuai dengan tema lomba, luput dari penggarapan.

“Pernah kami mewajibkan tema tertentu kepada peserta, namun setelah kami evaluasi hal itu membuat banyak isu penting dilewati oleh sineas karena mengejar kesesuaian tema yang ditetapkan oleh panitia festival. Karena itu kami membuka ruang seluas-luasnya bagi tema yang hendak diangkat sejauh tak membangkitkan sentimen SARA dan isu sensitif lainnya yang memecah persatuan bangsa,” ujar Agung.

Sebagaimana tersiar sebelumnya, Dewan Kurator akan memilih lima karya unggulan untuk masing-masing kategori. Hasil seleksi itu selanjutnya akan seleksi kembali oleh Dewan Juri guna menentukan satu film terbaik untuk kategori Umum dan tiga juara untuk kategori pelajar. Adapun Dewan Juri DFF tahun ini terdiri dari Bre Redana (Wartawan Senior Harian Kompas), Dr. Lawrence Blair (Antropolog, Produser Film Dokumenter), I Wayan Juniartha (Pengamat Budaya), Prof. Dr. I Made Bandem (Akademisi Seni), Rio Helmi (Fotografer), dan Slamet Rahardjo Djarot (Sutradara). Tahap Kurasi dilakukan dari tanggal 6 hingga 24 Juli 2015, sedangkan Tahap Penjurian dilakukan pada 29 Juli hingga 6 Agustus. Semua proses tersebut dilakukan secara mandiri oleh Kurator dan Juri di kediaman masing-masing.

“Baru pada 8 Agustus nanti para juri melakukan pleno di Denpasar untuk menentukan karya mana yang layak menyandang predikat terbaik dalam festival ini,” ungkap Agung.

Grant Program

Selain lomba, DFF 2015 menyelenggrakan Grant Program yakni pemberian dana hibah kepada sineas yang lolos seleksi untuk memproduksi sebuah film dokumenter bertema “Air dan Peradaban”. Seleksi program ini telah dilaksanakan pada bulan Maret lalu dan dimenangi oleh Dwitra J. Ariana yang mengangkat isu kelangsungan subak di kawasan perkotaan (Denpasar).

Sebagai pemenang seleksi, selain menerima dana produksi sebesar Rp25juta, Dwitra juga mendapat pendampingan teknis khususnya dalam penajaman gagasan oleh Slamet Rahardjo Djarot, Rio Helmi, Tonny Trimarsanto, dan I Wayan Juniartha. Diharapkan dari program pemberian dana hibah produksi ini akan lahir karya yang mumpuni dengan tema “Air dan Peradaban”. Karya ini rencananya akan difasilitasi untuk mengikuti berbagai festival film dokumenter di berbagai negara.

“Jadi semacam duta DFF di kancah internasional,” tegas Agung.

Acara lain dalam penyelenggaraan DFF tahun ini adalah Pemeran Foto Esai yang akan menampilkan empat fotografer muda yang tergabung dalam kelompok “Project 88” yang masing-masing akan menampilkan delapan buah foto yang saling berkait dilengkapi dengan narasi (teks) sepanjang delapan alenia. Rencananya, pameran akan digelar pada 13-21 Agustus di Danes Art Veranda, Tanjung Bungkak.

Selain pameran foto esai pada 13 – 16 Agustus akan digelar acara pemutaran film unggulan DFF 2015 dan beberapa film tamu. Di sela-selanya, yakni pada 14-15 Agustus akan diselenggarakan diskusi tentang Air dan Peradaban menghadirkan Sugi Lanus, Cok Sawitri, dr. Windu Segara Senet, dan Ayip Budiman sebagai narasumbernya. Puncak acara DFF 2015 akan diselenggarakan pada 18 Agustus ditandai dengan penobatan film terbaik dan penyerahan hadiah kepada pemenang. Seperti tahun lalu, film terbaik kategori umum mendapat hadiah trofi dan uang tunai sebesar Rp20juta. Para unggulan masing-masing mendapat uang tunai sebesar Rp3,5juta. Sedangkan para juara untuk kategori pelajar berturut-turut akan mendapat uang tunai sebesar, Rp4,5jt, Rp3jt, dan Rp2jt.

Tentang Denpasar Film Festival

Denpasar Film Festival (DFF) adalah sebuah ajang film dokumenter yang digelar oleh Yayasan Bali Gumanti dan didukung Pemerintah Kota Denpasar, untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap film dokumenter. Juga untuk menyuarakan isu-isu sosial agar menjadi suara bersama yang menggerakan perubahan menuju perbaikan. DFF menyakup berbagai kegiatan yakni: pelatihan, pemutaran film, pameran, diskusi, grant, penerbitan buku, dan lomba film dokumenter untuk peserta dari seluruh Indonesia.

DFF bermula dari sebuah lomba film dokumenter dalam Pesta Kesenian Bali 2010. Lomba tersebut disponsori oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Saat itu lomba hanya menyakup daerah Bali saja. Pada 2011, ajang ini diubah namanya menjadi Festival Film Dokumenter Bali (FFDB) dan cakupannya melebar ke tingkat Nasional. Pada 2012 FFDB tidak lagi didanai oleh Pemerintah Provinsi Bali dan tidak lagi menjadi agenda Pesta Kesenian Bali, melainkan disokong oleh Pemerintah Kota Denpasar dan Arti Foundation. Pada 2013 festival ini diubah namanya menjadi Denpasar Film Festival (DFF). RED-MB