Denpasar (Metrobali.com)-

Sekelompok anak usia sekolah dasar itu dengan riangnya menarikan “barong bangkung”, diiringi alunan instrumen gamelan tradisional Bali yang ditabuh oleh rekan seusianya secara berkeliling dari satu rumah ke pintu lainnya.

Mereka secara bergantian menarikan barong bangkung itu, yang kadang kala harus berlari mengejar warga yang memanggilnya dengan sebutan “cit- cit-cit-cita”.

Begitu mendengar suara panggilan itu, sekelompok penari tersebut siap mengejarnya dengan alunan musik yang bertalu-talu.

Pementasan kesenian barong bangkung keliling desa itu mewarnai perayaan Galungan, hari raya terbesar umat Hindu di Bali untuk memeringati kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan) pada Rabu (23/10).

Namun pementasan kesenian “ngelawang” di daerah perkotaan atau di jalur lalu lintas yang cukup padat hanya dilakukan di tempat tanpa harus berlari ke sana-sini. Hal itu demi keamanan, namun tidak menghilangkan makna dan tujuannya.

Pementasan ngelawang keliling itu berlangsung di Banjar atau Dusun Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kabupaten Tabanan, sekitar 25 km barat laut Denpasar. Warga setempat menyambutnya dengan antusias penampilan seniman cilik itu dengan memberikan “sesari” (imbalan) secara ikhlas.

Dusun yang dihuni sekitar 215 kepala keluarga (KK) itu masih tergolong lestari, karena air irigasi pertanian tradisional (subak) di sekitarnya tampak jernih, mengalir lancar menyebar menggenangi sawah dan kolam ikan yang terbentang jauh dari keramaian kota.

Pada Hari Raya Galungan itu, masyarakat tumpah ruah ke jalan beraspal yang tidak begitu mulus dan juga sempit, hanya pas untuk satu kendaraan roda empat guna menyaksikan penampilan kesenian yang panggungnya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya (ngelawang).

Tradisi “ngelawang” yang diwarisi secara turun temurun itu bermakna untuk menetralisir alam semesta, menolak segala jenis penyakit yang mengganggu kehidupan manusia, termasuk secara niskala (tidak tampak) mengusir hal-hal jahat, mengganggu keamanan Bali pada Hari Raya Galungan.

Dengan demikian pementasan di masing-masing gerbang rumah penduduk itu, selain menyuguhkan hiburan, juga diyakini dapat memberikan vibrasi kesucian, dengan harapan penduduk terhindar dari marabahaya dan penyakit, tutur Ketua Program Studi Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr I Ketut Sumadi.

Eksotisme sebuah pentas seni komunal masing-masing di depan gerbang atau pintu masuk halaman rumah penduduk itu kini semakin langka tidak semeriah era 1980-an. Saat itu hampir di setiap banjar mementaskan hal yang sama.

Kini semakin jarang, namun masih tetap lestari, termasuk di banjar-banjar dalam wilayah Kota Denpasar.

Pementasan yang unik dan menarik itu berlangsung secara sporadis menyimak ruang dan menerobos waktu. Pentas tersebut berpindah-pindah, bahkan masuk ke gang dan halaman rumah penduduk.

Seni ngelawang memiliki makna melanglang atau mengelilingi lingkungan. Pada awalnya ngelawang adalah sebuah ritus sakral yang magis yang disangga oleh psiko-religi yang kuat.

Pentas Yang Ditunggu Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar I Kadek Suartaya, SS Kar, MSi menambahkan, benda-benda keramat yang disucikan seperti barong dan rangda antara Hari Raya Galungan dan Kuningan dulunya diusung ke luar pura berkeliling dalam lingkungan banjar atau desa.

Hal itu dimaknai sebagai bentuk perlindungan secara niskala kepada seluruh masyarakat di wilayah lingkungan tersebut. Tradisi itu hingga sekarang masih berlangsung di Banjar Petiga, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan maupun di Desa Payangan Kabupaten Gianyar.

Kehadiran benda-benda yang disucikan itu ditunggu-tunggu oleh masyarakat, bahkan warga yang dapat memungut bulu-bulu barong atau rangda yang tercecer, dengan penuh keyakinan, menjadikannya obat mujarab atau jimat bertuah.

Tradisi ngelawang dalam konteks sakral magis sebagai persembahan penolak bala seperti makna pentas ngelawang saat Hari Raya Galungan. Namun dalam perkembangannya masyarakat Bali yang kreatif tidak hanya ngelawang mengusung benda-benda sakral, namun dibuatkan tirualnya untuk disajikan sebagai ngelawang tontonan.

Dalam tradisi ngelawang Galungan tersebut, bentuk-bentuk seni “balih-balihan” seperti arja, janger, atau joged juga dapat disaksikan masyarakat sebagai hiburan. Masyarakat yang haus hiburan menstimulasi pentas ngelawang menjadi wahana berkesenian yang konstruktif.

Sebagai seni tontonan, ngelawang menurut Suartaya yang juga seniman andal asal Sukawati Kabupaten Gianyar itu, merupakan suguhan seni pentas yang serius, namun santai.

Untuk mengapresiasinya penonton tidak harus duduk kaku, namun bisa jongkok, berdiri atau bergelayutan di pohon, bersentuhan dan bergesekan sembari menikmati alam bebas.

Dengan demikian hampir tak ada jarak antara pelaku seni dengan penonton, semua lebur dan menyatu. Kehadiran seni pentas itu tidak terikat oleh tempat, ruang dan waktu.

Pertunjukan tari Topeng misalnya bisa terjadi di bawah pohon besar yang rindang. Pementasan barong bisa digelar di tepi sungai, kemudian drama tari arja hadir di jalan umum, bahkan di tengah keramaian pasar.

Atmosfer pentas seni tontonan nan komunal kini telah sayup-sayup menghilang. Begitu pula ngelawang dalam konteks sakral-magis agaknya semakin redup. Padahal tahun 1970-an, aura magis ngelawang itu masih berbinar.

Rumah-rumah penduduk didatangi sekaa atau grup Barong Kedingkling dan figur-figur topeng yang bersumber dari cerita pewayangan Ramayana. Hal ini disongsong dengan antusias oleh warga seisi rumah.

Kedatangannya diawali dengan sepotong tembang, misalnya tokoh punakawan Malen dan Merdah, lalu disusul tokoh Subali dan Sugriwa menari semenit dua menit di halaman merajan, tempat suci keluarga. Kendati singkat, umumnya masyarakat senang dan percaya aura ritual-magis yang dipancarkan ngelawang Galungan itu akan memberikan keselamatan dan perlindungan.

Hasrat hidup damai dan terlindung dari segala bencana itulah kiranya yang menjadi akar ngelawang. Diperkirakan ngelawang berkiblat dari sebuah mitologi Hindu, Siwa Tatwa. Alkisah ketika Dewa Siwa dan Dewi Uma bercinta tidak pada tempat dan waktunya, harmoni terguncang.

Akibatnya adalah kesengsaraan bagi umat manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Sadar akan kekhilapannya itu, Dewa Siwa mengutus para dewa untuk menenangkan dan menenteramkan kembali seisi alam.

Setiba di bumi, para dewa itu menciptakan dan mementaskan beragam bentuk kesenian. Lewat kasih pagelaran seni itu seisi jagat kembali damai. Makna ruwatan dalam mitologi Siwa Tatwa tersebut juga senafas dengan kandungan tolak bala dalam legenda hancurnya keangkaramurkaan Mayadanawa yang kemudian disyukuri atau jadi pijakan awal Galungan, perayaan kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (keburukan). SUTIKA/MB