Jro Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma)

Rabu, 8 Mei 2024 raina Buda Kliwon Matal nemu raina Tilem Jiestha, rasanya patut Kita berefleksi terhadap fenomena prahara di Bumi Nusantara. Prahara yang antar lain bercirikan: ukuran etika moral dijungkir-balikkan, korupsi kekuasaan dipamerkan (tanpa lagi rasa bersalah dan rasa malu), mereka yang melakukan asuba karma menepuk dada sebagai pemegang klaim kebenaran. Memang Kita benar-benar hidup di Zaman Edan (Re Jangka Jayabaya).
Bagaimana semestinya manusia Nusantara “meniti buih” kehidupan di tengah prahara ini?.
Bumi Nusantara, memberikan sastra kehidupan yang sangat kaya, bak rangkaian “mutu manik manikam” kebijaksanaan, menyebut beberapa, pertama, ethos kerja kepemimpinan tidak mengenal kata menyerah, “tersungkur dan bangkit kembali” dalam menegakkan Dharma kehidupan. Kedua, dalam karya sastra berbahasa Jawa Kuno Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, simbolik MOMO SIMUKA adalah simbolik utusan Tuhan untuk menguji kekuatan dan kepagehan seorang ksatria dalam menemukan realitas Tuhan (karena ini sumber kekuatan dan pangkal penyebab kemenangan). Dalam konteks ke kinian, prahara yang sedang berlangsung, dianalogikan dengan krisis yang “dikirimkan” Tuhan untuk menguji tingkat keimanan manusia Nusantara dalam dharmanya mencapai realitas Tuhan. Kalau keamanannya kuat, tamsilnya “badai pasti berlalu”. Kalau lemah, prahara bisa menenggelamkan bumi Nusantara, layaknya tenggelamnya kerajaan Dwrawati (kerajaan yang ditinggalkan Sri Krishna). Ketiga, dalam kearifan budaya Bali dikenal ungkapan: “pekebeh mraga guru”, krisis kehidupan adalah guru kehidupan untuk menata ulang kembali totalitas tata pikir dan prilaku yang kemudian melahirkan viveka (kecerdasan pembeda) dalam mengarungi “badai” prahara kehidupan.

Jro Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma).